Kampanye modal besar menyebabkan korupsi kepala daerah
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
“Praktik bermain uang itu menjijikkan dan buruk, juga akan menghasilkan pemimpin yang buruk.”
JAKARTA, Indonesia – Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengaku akan terbuka soal dana kampanye. Menurutnya, transparansi dana kampanye penting bagi seluruh pasangan calon.
“Saya harap semuanya bisa dibuka secara terang-terangan, sehingga masyarakat bisa melihat betapa besar kerugian yang harus ditanggung oleh demokrasi kita. Agar demokrasi ke depan tidak membebani perekonomian, kata Sandiaga, Sabtu 8 Oktober 2016 di Jakarta.
Sandiaga akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta bersama Anies Baswedan. Keduanya didukung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Mohamad Taufik memperkirakan modal kampanye yang dibutuhkan untuk kampanye Anies-Sandi bisa mencapai Rp 100 miliar. Estimasinya Rp75 miliar hingga Rp100 miliar, ujarnya Taufik.
Angka tersebut tak jauh berbeda dengan dana yang disiapkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang didukung Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Berapa biaya modal untuk menjadi Gubernur DKI?
Sementara itu, calon presiden saat ini, Basuki “Ahok” Thajaja Purnama, mengaku belum menghitung berapa dana yang dibutuhkan untuk biaya kampanye. Saya kira paling Rp 10-15 miliar saja sudah cukup,” kata Ahok.
Mahalnya biaya kampanye menjadi celah korupsi
Busyro Muqoddas, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pernah menghitung biaya pencalonan Gubernur tidak kurang dari Rp100 miliar. Sedangkan biaya keikutsertaan dalam pemilihan Bupati atau Walikota sebesar Rp 20 miliar.
“Tahun lalu saya menghitung pilkada tingkat 2 (bupati/wali kota) sedangkan pilkada (gubernur) tingkat 1 dihitung oleh mantan Mendagri,” kata Busyro tanpa menyebut siapa Mendagri yang dimaksudnya. hingga pada hari Rabu, 5 Oktober.
Tingginya biaya kampanye inilah yang menjadi penyebab maraknya kasus korupsi di kalangan kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat sepanjang 2004-2016, terdapat 63 kepala daerah yang terdiri dari 52 bupati/walikota dan 11 gubernur yang terlibat kasus korupsi.
Kasus korupsi tersebut, lanjut Busyro, terjadi karena adanya kesenjangan yang sangat besar antara modal yang dikeluarkan saat kampanye dengan pendapatan yang nantinya diterima pasangan calon setelah terpilih menjadi kepala daerah.
Busyro mengatakan, gaji kotor yang dibawa pulang bupati atau wali kota setiap bulannya berkisar Rp100 juta per bulan atau Rp1,2 miliar per tahun dan sekitar Rp6 miliar dalam lima tahun. Sedangkan biaya kampanye menjadi Bupati atau Walikota tidak kurang dari Rp 20 miliar.
“Lalu darimana perbedaannya? Dari sini lubang korupsi terbuka. (Modusnya) akan selesai perizinan, perizinan hotel, pertambangan dan lain sebagainya. Saya yakin itu akan terjadi, karena ada bukti empirisnya, dan itu diterima secara umum.” kata Busyro.
Oleh karena itu, dia mengimbau pemilih memperhatikan integritas pasangan calon. Ia juga meminta masyarakat tidak termakan isu sara yang kerap muncul saat musim kampanye. Praktek bermain uang itu menjijikan dan kotor, juga akan melahirkan pemimpin yang kotor, kata Busryo. —dengan laporan ANTARA/Rappler.com