Kaos Gus Dur dan Ijtihad Lintas Batas
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — “Bu, ini dua kaos favorit saya yang ingin saya sumbangkan ke GKJW untuk dilelang. Mohon diterima,” kataku sambil menyerahkan dua buah kaos GUSDUR edisi terbatas kepada Mbak Susmaya, ketua panitia perayaan pengunduhan, Minggu 10 Juni. Tak lama kemudian, kedua kaos tersebut dilelang di hadapan puluhan jemaah GKJW Jombang.
Download-download merupakan perayaan khas tahunan yang bermula dan tumbuh di Gereja Kristen Jawi Wetan, sebuah denominasi Protestan yang hanya ada di Jawa Timur, sejak tahun 1930. Melalui perayaan ini, jemaah melakukan gerakan filantropi internal dalam rangka kemerdekaan.
Setiap jamaah dipersilahkan menawarkan barang dalam bentuk apapun untuk dilelang di depan jamaah. Hasil lelang digunakan sebagai sumber pendapatan untuk mendanai program kerja tahunan mereka. “Rata-rata kami bisa menggalang dana sebesar Rp 170 juta setiap tahunnya,” kata Moh. Sholeh, guru Alkitab GKJW Pasamuan Jombang yang menemani saya pagi itu.
Mengunduh dari sudut pandang Warneck, seorang misiolog Jerman, adalah salah satu bentuknya ijtihad mendewasakan suatu komunitas. Warneck sendiri sangat dalam Sejarah Misi Protestan (1901), berpendapat bahwa ada 3 syarat yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat dapat bertahan hidup, yaitu mampu berorganisasi, membiayai dan mengembangkan diri. Ketiga kondisi ini dikenal dengan triad Warneck.
Karakter antagonis
Relasi Islam-Kristen dalam khazanah kajian hukum Islam klasik ditempatkan pada posisinya versus seekor ikan dan antagonis. Ayat terakhir Alquran yang menegaskan kesempurnaan Islam dipahami secara luas oleh umat Islam sebagai kewajiban pemeluk dua agama sebelumnya untuk masuk Islam. Kalau belum siap, cap kekafirannya akan tercetak di atasnya.
Islam klasik juga sangat memperhatikan perpindahan agama. Cara kerjanya mirip dengan bisnis multi level marketing. Oleh karena itu, berbagai kebijakan diskriminatif dilakukan terhadap non-Muslim – bahkan ancaman perlawanan – hingga mereka masuk Islam.
Belakangan, hukum Islam klasik dirumuskan dengan motivasi yang cukup represif sehingga tidak memungkinkan berkembangnya non-Muslim. Pertumbuhan gereja diamputasi. Bagi yang sudah berdiri, segala upaya dilakukan untuk memastikan bahwa mereka dapat disingkirkan, setidaknya jika tidak berfungsi (Tritton AS 1930).
Singkatnya, gereja dan ornamen-ornamennya dianggap sebagai simbol arogansi umat Kristiani terhadap Islam sehingga sebaiknya dihindari. Membantu apapun yang berhubungan dengan gereja dipandang sebagai membantu orang kafir dan meneguhkan iman mereka. Hal ini menurut Islam klasik dikategorikan bertentangan dengan perintah Tuhan dan melemahkan Islam. Hukum itu haram dan merupakan perbuatan berdosa.
Ayat yang sering dikutip untuk membenarkan tindakan ini adalah QS. al-Maidah 2, “Dan tolong menolong satu sama lain dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan dan janganlah saling membantu dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Dampak ayat ini sangat merusak karena digunakan untuk melanggengkan berbagai kebijakan yang bersifat diskriminatif, misalnya pendirian tempat ibadah, pemilihan pejabat publik non-Muslim, dan penyediaan fasilitas pendidikan bagi siswa non-Muslim yang tidak setara. . di beberapa daerah mayoritas Muslim.
Saya pernah mencoba mengajukan beasiswa bagi santri Kristen miskin di sebuah lembaga filantropi milik sebuah pesantren besar yang dikenal pluralistik. Saya tidak pernah menyangka lamarannya akan ditolak karena alasan agama. “Duh, Kang. Kenapa Christian? Ya. Maaf Aku tidak bisa,” katanya.
Jadi, berdasarkan penalaran Islam klasik seperti ini, kebaikan versi Islam sudah tidak universal lagi. Sebaliknya, hal ini direduksi menjadi prasangka ekstrem: agama lain memiliki status lebih rendah dari Islam dan tidak pantas mendapatkan kebaikan dari umat Islam. Alih-alih ikhlas, kebaikan dalam konteks ini dimaknai sangat politis, yakni mengikat tali agar terjadi perpindahan agama. Di tangan para pendukung Islam klasik, jargon “Islam Rahmatan lil’alamin” jika diartikan secara reduktif berarti Islam Rahmatan Lil Muslimin -Islam hanya berkah bagi umat Islam.
Penafsiran ulang
Perspektif klasik ini, oleh banyak sarjana Islam modern, mendapat perhatian serius. Mereka berupaya mengembalikan semangat Islam sebagai agama yang tidak lagi bermusuhan dengan agama lain. Sebaliknya, sifat substantif Islam menurut mereka adalah bekerja sama secara terbuka dengan agama lain untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian di alam semesta.
Yang mengejutkan, Profesor Nurcholish Majid menjadi tokoh rujukan yang berhasil memberikan landasan teologis-akademik yang dapat dijadikan acuan melalui karya-karyanya untuk gerakan tersebut, misalnya Fiqh Across Religions (2003).
Dalam aspek implementasinya, bangsa ini juga mempunyai patron yang sangat patut ditiru, yaitu Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menafsirkannya hifdz al-dinelemen penting dalam tujuan Syariah (maqashid al-syariah), tidak lagi sebatas pemahaman tentang kewajiban umat Islam untuk memelihara agama Islam dalam perspektif Islam klasik. Sebaliknya, ia memperluasnya sebagai seruan suci bagi umat Islam untuk melindungi, memelihara dan memajukan kebebasan beragama/berkeyakinan.
Secara teoritis, baik Gus Dur maupun Nurcholish Majid mencerminkan semangat pembebasan yang merupakan karakter dasar Islam, dengan semangat kemanusiaan universal, sejalan dengan kerangka intelektual yang dikembangkan oleh ulama Islam terkemuka Tunisia, Muhammad al-Tahir Ibnu Ashur ( d.1973).
Melalui karyanya, Maqāṣid al-Sharīʻah al-Islāmīyah, Ibnu Ashur mengutarakan perlunya perlakuan yang sama bagi seluruh masyarakat dan kewajiban membela diri (bagi umat Islam) hanya jika mengalami penindasan.
Dalam rangka menjaga keberagaman agama di Indonesia, ciri utama gerakan Gus Dur adalah lebih mengedepankan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan dirinya sendiri. Ia meyakini kebesaran Islam hanya bisa diraih dengan kepedulian terhadap penderitaan kelompok yang diperlakukan tidak adil, terutama yang berbeda agama.
Aktivisme Gus Dur, saya yakin, sepenuhnya berdasarkan perintah Tuhan dalam QS. al-Nahl 90, “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik, memberikan pertolongan kepada keluarga, dan Dia melarang (melakukan) kekejian, kedengkian, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu mengambil pelajaran. ”
Dua buah kaos Gus Dur yang saya sumbangkan untuk GKJW Jombang untuk diunduh kemungkinan besar merupakan sumbangan umat Islam yang pertama dalam sejarah perayaan ini sejak tahun 1930. Kaos sederhana ini juga akan menjadi tonggak baru bagi keterlibatan umat Islam Jombang dalam hal yang lebih konstruktif. hubungan. Selain itu, hal ini juga menunjukkan adanya pergeseran perspektif Islam klasik yang terlalu sempit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang majemuk.
“Hawe! Kedua kaos ini dijual seharga Rp 750 ribu dan milik Pak Haris. Berikut ini penanak nasi, kita buka dengan harga….” Samar-samar aku mendengar suara juru lelang di atas panggung. Saya sangat senang pagi itu.
—Rappler.com