• October 4, 2024

Kasus Terompet Alquran, Siapa yang Paling Bertanggung Jawab?

JAKARTA, Indonesia—Tahun baru ini, publik dihebohkan dengan sampul Alquran edisi terompet yang beredar luas sejak akhir Desember lalu.

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng menyita tanpa mitigasi 2,3 ton kertas kado Al-Quran yang diduga digunakan sebagai bahan baku pembuatan terompet yang beredar di Kabupaten Kendal.

“Disita dari produsen di Klaten,” kata Kabid Humas Polda Jateng Kompol. Liliek Darmanto di Semarang, Senin.

Selain Kendal, lanjutnya, terompet bermasalah tersebut diyakini banyak dijual di wilayah Blora, Klaten, Demak, Pekalongan, Batang, dan Wonogiri.

Dari mana asal terompet ini?

Belakangan, media memberitakan, perolehan sampul Al-Quran untuk dijadikan bahan baku terompet Tahun Baru rupanya bermula dari proyek Kementerian Agama pada 2013. Saat itu, Suryadharma Ali masih menjabat sebagai menteri.

Dalam rapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Rabu lalu, 30 Desember, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah Ahmad Daroji menjelaskan alur perolehan kitab Al-Quran di era SDA.

“Sampul Alquran terompet ini sempat membuat heboh sejumlah daerah karena bahan dasarnya dari kitab Alquran sisa proyek Kementerian Agama. Sampul yang digunakan adalah yang disimpan di CV Aneka Ilmu, kata Daroji.

Pemilik CV Aneka Ilmu Suwanto ini mengaku sampul Alquran yang dijadikan bahan baku terompet merupakan produksinya. “Iya benar itu produksi perusahaan kami tahun 2013,” kata Suwanto.

Namun CV Aneka Ilmu tak mau disalahkan, dengan alasan CV Aneka Ilmu terkendala karena harus menunggu Suryadharma, Menteri Agama saat itu, yang sedang menunaikan ibadah haji untuk membubuhkan namanya di halaman buku. Pada tahun yang sama kantor percetakannya kebanjiran.

Benarkah semua kesalahan CV Aneka Ilmu?

Sekretaris Dirjen Bimas Islam Kemenag, Profesor Muhammadiyah Amin membenarkan, lembaran terompet tersebut berasal dari sisa cetakan yang dipesan lembaganya dari CV Aneka Ilmu.

Amin mengatakan, Kemenag sempat menjalin kesepakatan bisnis dengan CV Aneka Ilmu pada tahun 2013. Perjanjian tersebut mengatur bahwa CV Aneka Ilmu harus mencetak kitab suci sebanyak 1,6 juta eksemplar.

“Tetapi hingga akhir tahun 2013, kami hanya mampu mencetak 700.000 eksemplar. Artinya masih tersisa 900.000, katanya kepada Rappler, Sabtu 2 Januari.

Terakhir, perjanjian tersebut diperbarui dengan perpanjangan kontrak untuk menyelesaikan sisa pencetakan sebanyak 900.000 eksemplar hanya dalam waktu 20 hari.

“Setelah 20 hari tidak selesai karena banjir, kami hanya mampu menyelesaikan 400.000 eksemplar, masih ada 400.000 lagi,” ujarnya. Secara total, CV Aneka Ilmu mampu menyelesaikan lebih dari 1,1 juta eksemplar hingga tahun 2014.

Amin mengklaim Kementerian Agama menanggung biaya pencetakan 1,1 juta eksemplar CV Aneka Ilmu.

Amin mengaku tak tahu menahu soal kegunaan sisa mesin cetak di CV Aneka Ilmu hingga pemberitaan terompet tahun baru dari halaman depan Al-Quran muncul di media massa.

Setelah kabar tersebut tersebar, Direktorat Jenderal Pembinaan Islam yang membawahi Bagian Agama yang melakukan akuisisi tersebut langsung menghubungi CV Aneka Ilmu. “Sesuai informasi rekanan, sisa cetakannya sudah terjual. “Kita tanya lagi, katanya dijual dengan syarat dihancurkan atau dipotong,” ujarnya.

Namun perjanjian dengan pihak ketiga itu tidak tertulis, hanya lisan, ujarnya lagi.

Absennya warna hitam di atas putih membuat pihak ketiga tidak merasa berkewajiban untuk memusnahkan halaman depan Al-Quran sehingga akhirnya dijadikan bahan baku terompet.

Padahal, pasal 5 Peraturan Menteri Agama (PMA) No. agar mereka tidak disalahgunakan.

MUI mempertanyakan pengawasan Kementerian Agama

//

Yusnar Yusuf, Ketua Bidang Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia, menyoroti kasus ini bukan hanya akibat kelalaian perusahaan mitra, tapi juga pengawasan Direktorat Jenderal Pembinaan Islam Kementerian Agama.

“Menurut saya ini kelalaian, kelalaian, kekhilafan Kementerian Agama,” ujarnya saat dihubungi Rappler.

Padahal, dalam PMA 1957 sudah jelas bahwa sisa cetakan harus dimusnahkan, bahkan pelatnya pun harus dikembalikan. “Sisa cetakan baik per lembar maupun per buku harus dimusnahkan bersama berita acara, begitulah seharusnya,” ujarnya.

“Kenapa begitu? Kalau piringnya masih di mesin cetak, bisa disalahgunakan,” ujarnya, karena digunakan sebagai bahan loyang kue yang akhir-akhir ini banyak beredar di kalangan masyarakat.

Dengan kejadian demi kejadian ini, kata dia, Kemenag tidak serius melakukan pengawasan.

Yusnar meminta Kementerian Agama segera memanggil ormas Islam untuk berdiskusi dan berdiskusi mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Apakah murni pengawasan Kementerian Agama?

Amin menanggapi pernyataan Ketua MUI tersebut. Menurut Amin, saat mencuatnya kasus ini, Kementerian Agama meminta pertanggungjawaban CV Aneka Ilmu.

Namun alih-alih mendapat jawaban memuaskan, pihak perusahaan justru berdalih tidak melanggar PMA. “Itulah masalahnya, sisanya tidak kami bayar, kami tidak bayar,” kata Amin.

Kemenag hanya membayar cetakan yang sudah jadi yaitu 1,1 juta eksemplar, sisanya 400.000 eksemplar diakui milik CV Aneka Ilmu.

Klaim ini menyulitkan agensi untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan mitra sepenuhnya atas insiden ini.

Jika demikian, siapa yang harus disalahkan? —Rappler.com

Pengeluaran Sydney