Kasus teror 2016: Solo masih menjadi hotspot
- keren989
- 0
SOLO, Indonesia – Beberapa kejadian terkait aksi terorisme terjadi di berbagai wilayah Indonesia sepanjang tahun 2016. Insiden tersebut berkisar dari bom bunuh diri hingga penembakan terhadap terduga teroris.
Dari sekian banyak kota, Solo tampaknya masih menjadi wilayah utama penyebaran ekstremisme yang diilhami kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Lalu kenapa Solo masih populer? hotspot untuk teroris? Pengamat terorisme sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengatakan, Solo dan sekitarnya memiliki faktor kuat yang menyebabkan gerakan ekstremis terus tumbuh subur, yakni sejarah, aktor, dan lingkungan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kota ini menjadi “hotspot” gerakan radikal di Indonesia.
“Secara historis, Solo merupakan tempat lahirnya gerakan jihadis Jemaah Islamiyah dan jaringannya. “Masih banyak aktor atau aktivis jihad berpengaruh yang tinggal di sana,” kata produser film ‘Jihad Selfie’ itu kepada Rappler, Rabu 28 Desember.
Noor Huda juga diketahui memiliki latar belakang mantan santri di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki dan pernah tinggal di Solo. Alasan lainnya, menurut Noor Huda, karena Solo memiliki lingkungan sosial yang cukup mendukung untuk menyemai benih radikalisme, seperti sekolah, pondok pesantren, kajian agama, penerbitan buku-buku jihad, termasuk menjamurnya ormas-ormas radikal dan Islam. lashkar.
“Dari mereka (Ormas radikal) muncul pelaku teror. “Mereka pindah ke dalam lemari,” kata Noord Huda lagi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menempatkan Solo sebagai agenda utama program deradikalisasinya, selain Poso. Fokusnya tidak hanya pada mantan narapidana (narapidana) kasus teror yang telah bebas dan dikembalikan ke masyarakat, namun juga penyebaran ideologi radikalisme yang mulai menyasar calon pelaku amaliyah baru yang berusia lebih muda.
Berikut peristiwa penting kasus terorisme selama tahun 2016 dan terkait dengan basis gerakan jihad di Solo dan sekitarnya:
1. Bom Thamrin dan Nama Bahrun Naim
Bom yang meledak di Jalan Thamrin depan Plaza Sarinah, Djakarta pada 14 Januari menandai awal tahun dengan awal yang mengerikan. Delapan orang tewas, empat di antaranya merupakan pelaku.
Salah satu pelaku, Afif alias Sunakim, merupakan mantan narapidana yang pernah menjadi anak buah ideolog ISIS sekaligus pimpinan Jamaah Anshor Daulah (JAD), Aman Abdurrahman. Aman sendiri masih duduk bersama di Lapas Nusakambangan.
Namun polisi segera menyimpulkan bahwa dalang serangan teroris bom adalah Bahrun Naim Anggih Tamtomo (33 tahun), pemuda asal Solo yang diduga mendanai “konser” di Jakarta. Bahrun ditangkap di Solo pada tahun 2010 karena kepemilikan ratusan peluru dan divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surakarta.
Usai dibebaskan, lulusan Ilmu Komputer Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu menghilang. Ia pun dikabarkan membawa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) asal Demak, Siti Lestari, ke Suriah.
Keberadaan Bahrun saat ini masih menjadi misteri, meski polisi yakin dia sudah berada di Raqqa, Suriah. Dari Suriah, ia juga mengendalikan serangan teroris dari negara Bashar Al Assad. Orang tuanya yang tinggal di Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, mengaku putranya sudah lama jauh dari rumah dan tidak pernah berhubungan dengan keluarganya.
Anggota Densus 88 antiteror gagal menemukan Bahrun Naim. Namun mereka berhasil menangkap puluhan orang di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang diyakini terkait dengan aksi bom tersebut.
2. Kematian Fonda
Pencarian teroris di Poso, Sulawesi Tengah, membuahkan hasil sejak awal tahun ini. Petugas gabungan polisi dan TNI berhasil membunuh Fonda Amar Solihin alias Dodo (22 tahun), tangan kanan Amir Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso alias Abu Wardah, dalam baku tembak di Torireh pada 28 Februari lalu. gunung mati. .
Fonda juga merupakan anak dari Joko Parkit yang sebelumnya ditangkap Densus 88 pada 2013 atas keterlibatannya dalam persembunyian gembong teror Noordin M Top di Mojosongo, Solo. Noordin kemudian tewas di tangan Densus 88 saat penggerebekan pada tahun 2009.
Jenazah Fonda yang disebut-sebut merupakan menantu Santoso dipulangkan dari Palu. Di rumahnya di Purwosari, Laweyan, Solo, Fonda dipuji sebagai mujahid syahid oleh pendukung khilafah.
Keluarga dan aktivis Islam garis keras di Solo melihat kondisi jenazah tersebut dan menduga kematian Fonda tidak wajar serta mengalami penyiksaan atau kekerasan. Sebagai bukti, ditemukan beberapa gigi hilang dan bekas luka di tubuhnya.
Lima bulan kemudian, giliran Santoso yang ditembak mati aparat saat berburu di Hutan Poso.
3. Meninggalnya Siyono
Berita lainnya, pada 8 Maret lalu, salah satu orang yang disebut polisi merupakan petinggi Neo Jemaah Islamiyah, Siyono (34 tahun), ditangkap di rumahnya di Desa Pogung, Cawas, Klaten. Tiga hari kemudian dia dipulangkan ke rumah dalam keadaan tak bernyawa. Wanita tersebut, Suratmi, kemudian menerima dua bungkusan senilai Rp 100 juta dari polisi sebagai uang duka cita.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menduga ada pelanggaran prosedur penangkapan dan interogasi yang berujung pada pelanggaran HAM. Mereka mencium sesuatu yang aneh dalam kematian Siyono yang tidak wajar.
Berdasarkan informasi polisi, Siyono tewas setelah kelelahan akibat berkelahi dengan anggota Densus 88 di dalam mobil. Kepalanya berdarah akibat benturan di dalam mobil.
Komnas HAM bekerja sama dengan PP Muhammadiyah melakukan penyelidikan independen atas kematian Siyono. Selain pendataan, mereka juga melakukan otopsi jenazah dengan membongkar kuburan setelah 14 hari penguburan.
Hasilnya, tim dokter forensik dari beberapa perguruan tinggi di Jawa Tengah dan Yogyakarta menyimpulkan, Siyono meninggal karena patah tulang rusuk hingga jantungnya pecah, bukan karena pendarahan di kepala. Meski demikian, polisi tetap menolak hasil pemeriksaan Komnas HAM dan tetap berpegang teguh pada hasil pemeriksaan Dokter Polri.
Aktivis ormas Islam radikal memanfaatkan Komnas HAM dan Muhammadiyah, ormas Islam terbesar dan tertua di Indonesia, untuk menjalankan agenda lamanya, yakni pembubaran Densus 88 yang mereka anggap sebagai musuh terbesarnya.
Kematian Siyono dan kematian Fonda di dekatnya memicu protes di Solo. Masyarakat kemudian menuntut pembubaran Densus 88 karena dianggap sebagai mesin untuk menyiksa dan membunuh umat Islam, terutama teman-temannya.
Dua anggota Densus dibebastugaskan dan dipindahkan ke satuan lain. Sementara itu, istri Siyono, Suratmi, tidak senang dan melanjutkan gugatannya ke Polres Klaten atas kematian suaminya.
4. Bom Mapolres Surakarta
Aksi bom bunuh diri tersebut terjadi secara tak terduga di halaman Mapolresta Surakarta, pada penghujung bulan Ramadhan, tepatnya 5 Juli, atau tepat satu hari menjelang Idul Fitri. Pelaku tewas seketika dengan kondisi tubuh terkoyak akibat ledakan tersebut. Sedangkan anggota polisi Brigadir Pol Bambang Adi Cahyono mengalami luka-luka.
Pelakunya adalah Nur Rohman, warga Solo yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) jaringan teror Bekasi. Dia lolos dari penangkapan pada bulan Desember 2015 dan bersembunyi di beberapa kota.
Nur Rohman merupakan anggota kelompok Hisbah Solo yang setia kepada ISIS dan juga diduga terafiliasi dengan jaringan Aman Abdurahman.
Ia melakukan amaliyah sendirian dengan mengendarai sepeda motor matic melewati pintu gerbang Mapolrestabes Surakarta. Ia juga merancang sendiri bom jenis casing pressure cooker atau desain bom panci dengan daya ledak rendah yang terbuat dari kalium nitrat, belerang, dan ratusan peluru.
Densus 88 kemudian menangkap sejumlah orang di wilayah Solo yang diduga membantu Nurrohman di tempat persembunyiannya.
5. Bom Pot Bekasi
Pada 10 Desember, Densus 88 menangkap tiga terduga teroris di Bekasi yang berencana mengebom Istana Kepresidenan. Pelaku berencana melakukan aksi teror pada 11 Desember di depan Istana Negara saat tugas Paspampres diubah.
Mereka adalah pasangan suami istri Muhammad Nur Solihin serta Dian Yulia Novi dan Agus Supriadi. Dian ditangkap di kos-kosan kawasan Bintara Jaya, sedangkan Solihin dan Agus ditangkap di bawah perlintasan Kalimalang.
Sekali lagi, polisi menyimpulkan bahwa Bahrun Naim adalah dalang yang mengendalikan mereka, mengajari mereka cara membuat bom, dan mendanai mereka dari Suriah.
Tim Gegana meledakkan barang bukti berupa bom pot – diyakini memiliki daya ledak tinggi – di rumah kos. Bom pot tersebut dikumpulkan di rumah Suyanto alias Abu Izzah, seorang petani di Matesih, Karanganyar, yang ditangkap Densus 88 pada hari yang sama.
Sedangkan istri kedua Dian Solihin asal Cirebon bersedia menjadi “pengantin” pelaku bom. Sementara itu, Agus Supriadi yang tinggal di Grogol, Sukoharjo berperan membantu menyewa mobil sewaan dan mengantarkan bom ke Bekasi.
Densus 88 kemudian menangkap istri pertama Solihin, Arinda Putri Maharani, di rumah orangtuanya di Pajang, Solo, yang diduga mengetahui penyimpanan bahan peledak, serta penerima dana pembuatan bom. Solihin tinggal di Solo bersama Arinda dan bayinya yang berusia enam bulan.
Solihin, 26 tahun, ketua kelompok ini mengumpulkan bom bersama Khafid Fathoni, teman kampusnya di IAIN Surakarta, di rumah Suyanto di Karanganyar. Khafid ditangkap sehari kemudian di Ngawi, Jawa Timur.
Polisi juga menggeledah rumah kontrakannya di Kartasura, Sukoharjo dan menemukan puluhan botol cairan kimia yang diduga bahan pembuat bom.
Polisi juga menangkap tersangka lainnya, Wawan Prasetyawan, di Klaten yang berperan membantu penyimpanan bahan peledak.
Sebelumnya, Solihin merupakan aktivis masjid. Berdasarkan keterangan warga, ia diketahui pernah menjadi takmir masjid di perumahan Purbayan, Baki, Sukoharjo, dan rajin mengikuti pengajian keliling dari rumah ke rumah. Dia menghilang dari masjid sejak menikah. – Rappler.com