KCIC bekerja sama dengan BPPT untuk melakukan transfer teknologi pada proyek kereta cepat
keren989
- 0
Transfer teknologi diperlukan karena merupakan syarat yang ditetapkan pemerintah dan melibatkan banyak teknologi baru dalam proyek kereta kecepatan tinggi.
JAKARTA, Indonesia — PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan proses alih teknologi pada proyek kereta cepat rute Jakarta-Bandung.
Transfer teknologi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi Peraturan Presiden RI No. 13 Tahun 2015.
Direktur PT KCIC Hanggoro Budi Wiryawan mengatakan, proses transfer teknologi diawali dengan pengiriman sebagian tim ke China untuk lebih memahami teknologi kereta api berkecepatan tinggi. Pengiriman dilakukan dalam dua tahap, yaitu 20 orang pada bulan Maret dan 19 orang pada bulan Mei.
“Tapi untuk nyata-Bahkan, KCIC akan menandatangani nota kesepahaman dengan BPPT, kata Hanggoro, Kamis malam, 30 Juni, saat memberikan keterangan kepada media.
Ia menjelaskan, proses transfer teknologi diperlukan karena teknologi yang digunakan dalam proyek ini tergolong baru. Beberapa teknologi baru yang dibahas meliputi sistem persinyalan dan keselamatan.
“Teknologi sinyal ini belum pernah ada di Indonesia. Dari informasi yang kami ketahui secara teknis, tingkat indeks keamanannya naik nilai 4, yang tertinggi di dunia, dan duludidukung oleh perusahaan dari Jerman,” kata Hanggoro.
Sementara itu, sistem sensor yang juga dibenamkan pada kereta berkecepatan tinggi ini mampu mendeteksi bencana alam dan petir dengan baik.
“Kami berharap setelah Idul Fitri, nota kesepahaman dengan berbagai kementerian sudah siap,” ujarnya.
Direktur Pusat Teknologi Sistem dan Prasarana Transportasi (PTSPT) BPPT Rizqon Fajar mengaku pihaknya siap mendukung proyek KCIC. Meski demikian, diakuinya pihaknya tidak bisa melakukan alih teknologi sendirian.
“Ada dua jenis transfer teknologi yang kami maksud, yaitu dari segi sistem dan peningkatan kemampuan kapasitas. “Karena ini merupakan teknologi baru yang belum ada di Indonesia, tentu memerlukan acuan standar dan sertifikasi dari BPPT,” kata Rizqon.
Meski demikian, Rizqon berharap ada juga teknologi yang bisa diproduksi di Indonesia, sehingga tidak harus mengimpor semuanya dari China.
Pendanaan
Masalah lain yang dihadapi KCIC saat ini adalah pendanaan. Pemerintah sejak awal menolak mengeluarkan satu sen pun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mereka bahkan mengatakan tidak akan memberikan jaminan finansial.
Akibatnya, pendanaan bergantung pada pembiayaan utang luar negeri yang ditawarkan oleh China Development Bank (CDB). Staf khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Sahala Lumban Gaol, pernah mengatakan 75 persen pembiayaan proyek atau setara Rp 57 triliun berasal dari pinjaman ke CDB.
Mereka memberikan jangka waktu pelunasan utang hingga 40 tahun dengan masa tenggang 10 tahun.
Sisa dananya sebesar 25 persen atau sekitar Rp 19 triliun berasal dari modal PT KCIC. Itu masih terbagi menjadi dua. Salah satunya PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar 15 persen yang diwakili oleh 4 BUMN Indonesia yakni Wijaya Karya, PT KAI, PTPN VIII, dan Jasa Marga.
Sedangkan sisa pendanaan sebesar 10 persen diperoleh dari China Railway Corporation.
“CDB meminta pernyataan kapasitas dari konsorsium untuk dapat memenuhi kewajibannya, termasuk yang berkaitan dengan suntikan ekuitas pada periode 2016, 2017, 2018 dan 2019. Kami menyetujui hal ini satu atau dua minggu lalu,” kata Hanggoro.
Menurutnya, Wijaya Karya memberikan pendanaan dalam bentuk uang tunai, Jasa Marga memberikan kombinasi pendanaan dalam bentuk tunai dan pemanfaatan potensi lahan, PTPN VIII memberikan modal berupa lahan seluas 1.270 hektare, dan PT KAI akan menyediakan modal dalam bentuk tunai.
Hanggoro mengatakan, PT KCIC selanjutnya akan menyerahkan hasil kajian tersebut untuk dianalisis oleh lembaga penilai independen dari Indonesia dan internasional.
“Ini adalah prosedur normal dan harus diikuti oleh peminjam. “Kami berharap (CDB) bisa menyepakati dalam bulan depan atau akhir Juli,” ujarnya.
Harapan serupa juga disampaikan PT KCIC kepada Kementerian Perhubungan agar segera menerbitkan izin mendirikan bangunan. PT KCIC mengaku telah menyelesaikan review desain dan berbagai aspek yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan proyek tersebut.
Lahan yang siap dibangun sudah mencapai 60 persen atau 84 kilometer, kata Hanggoro.
Sementara sisanya masih dalam proses pembebasan lahan. Salah satunya terletak di kawasan Halim. PT KCIC, kata Hanggoro, beberapa kali bertemu dengan TNI AU dan Kementerian Pertahanan untuk mendapatkan izin membangun di kawasan tersebut.
“Mudah-mudahan kita bisa segera diberikan lampu hijau oleh Kementerian Pertahanan,” ujarnya.
Pembebasan lahan di kawasan Halim menjadi perhatian publik karena 5 pekerja asal Tiongkok kedapatan melakukan pengeboran di kawasan tersebut tanpa izin.
PT KCIC membantah kelima pekerja asal Tiongkok tersebut dipekerjakan oleh mereka. Sementara Direktorat Jenderal Imigrasi telah menetapkan status tersangka kepada kelima orang tersebut. —Rappler.com
BACA JUGA: