Kebuntuan itu disebut rekonsiliasi
- keren989
- 0
Artikel ini saya tulis (untuk blog) setelah saya membuat laporan sendiri mengenai perkembangan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk tragedi pembantaian tahun 1965.
Saya merasa bertanggung jawab untuk menginformasikan kepada Anda, khususnya generasi muda, mengenai perkembangan terkini dalam proses pengungkapan kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Pertama, saya meminta Anda untuk membaca terlebih dahulu tulisan yang saya tulis. Judulnya: Keluarga Korban Pelanggaran HAM Usul Pembentukan Komisi Presiden.
Ya, baru-baru ini muncul ide pembentukan komisi presidensial di bawah Presiden yang terhormat, Pak. Joko “Jokowi” Widodo.
Namun perlu Anda ketahui, sebelum adanya wacana pembentukan komisi presiden untuk mengungkap kebenaran dan memulihkan korban, proses hukum pelanggaran HAM sangatlah rumit.
Berikut kronologinya.
Komnas HAM telah menyelidiki pelanggaran HAM berat di masa lalu sejak awal tahun 2000. Mulai dari Talangsari, hingga kasus tahun 1998. Selanjutnya tautan lengkap
Selain itu, Komnas HAM juga melakukan penyidikan terhadap tragedi pembantaian massal tahun 1965. Penyelidikan menghasilkan temuan dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung.
Terakhir pada tanggal 10 Juli 2012, Komnas HAM dengan surat no. 164/TUA/VII/2012 menyerahkan hasil penyidikan peristiwa tersebut kepada Kejaksaan Agung.
Jaksa Agung kemudian mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM dengan surat no. R-126/A/F.6/10/2012 tanggal 25 Oktober 2012 beserta petunjuk tidak cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Begitu seterusnya, setiap Komnas HAM memberikan laporan, Kejaksaan Agung mengatakan: Tidak lengkap.
Apakah ini benar-benar tidak lengkap? Silakan pelajari sendiri Di Sini.
Oleh karena itu, temuan penyelidikan tidak pernah ditingkatkan menjadi penyelidikan. FYI, tugas penyidikan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
Sehingga hingga saat ini, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak pernah dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
Saya pribadi baru-baru ini rutin mewawancarai Jaksa Agung HM Prasetyo, alasan yang selalu diberikan kepada kami para jurnalis adalah: Bukti sulit ditemukan, terlalu lama, dan sebagainya.
Perlu Anda ketahui, segala upaya investigasi dilakukan Komnas HAM untuk menyelesaikan masalah tersebut secara hukum atau hukum.
Nah, kemudian muncul wacana pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini secara non-yudisial. Apa itu? Melalui rekonsiliasi.
Apa itu rekonsiliasi? Konsep rekonsiliasi tersebut belum jelas, hingga saat ini pemerintah belum menjelaskan tujuan dari rekonsiliasi tersebut. Akankah rekonsiliasi ini menunjukkan kebenaran?
Sebab seperti yang dikatakan Hendardi, Koordinator Setara Institute yang juga mendampingi keluarga korban penghilangan paksa dan Semanggi, tidak akan ada rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran.
Sumarsih, salah satu keluarga yang selamat, juga menolak upaya rekonsiliasi. Katanya, harus jelas siapa yang minta maaf, kepada siapa, apa kesalahannya? Bukan berarti presiden akhirnya meminta maaf.
Jauh sebelum isu non-yudisial berupa rekonsiliasi ini muncul, sudah ada wacana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC). Namun yang tak disangka, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) justru dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga harus diganti dengan undang-undang baru.
Undang-undang ini juga diprotes karena alih-alih memenuhi unsur keterbukaan kebenaran, justru dikhawatirkan malah membuat pelaku pelanggaran HAM mendapat impunitas. Baca selengkapnya Di Sini.
Oleh karena itu, muncullah ide untuk membentuk komisi presidensial untuk mengungkap kebenaran dan memulihkan korban.
Namun bisakah komisi ini mengungkapkan kebenaran dalam semua kasus?
Karena seperti yang saya sebutkan di berita saya sebelumnya, bisa jadi kasus 1965 akan ‘ditinggalkan’ karena itu adalah kasus pelanggaran HAM yang akan ditutup-tutupi setidaknya 50 tahun yang lalu. Bagaimana dengan kasus 65? Belum ada kepastian apakah hal ini akan masuk dalam agenda komisi.
Nah, begitulah perkembangan proses hukum yang sedang berjalan. Hari semakin gelap, dan harapan kita untuk mengungkap kebenaran tentang tragedi pembunuhan massal ini semakin menipis.
Entah lagi bukti apa yang hilang, berbagai berita dan temuan mengenai kuburan massal telah terungkap, bahkan para sejarawan memberikan kesaksian di persidangan Pengadilan Rakyat Internasional tahun 1965. Namun tetap saja itu belum cukup.
Pergerakan pemerintah juga sulit dibaca. Terakhir saya dengar dari Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan pemerintah akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Akan ada pernyataan resmi dari pemerintah pada 2 Mei.
Namun apakah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu akan memenuhi rasa keadilan bagi para korban? Setidaknya mengungkap kebenaran, minimal siapa yang bersalah, siapa yang dirugikan, meminta maaf atas perbuatan apa?
Ketakutan bahwa para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu akan dituntut hukum dengan demikian tidak terjadi.
Akhiritu dari saya. Akankah pemerintah mampu menunjukkan kepada generasi ketiga dan seterusnya, generasi kita, bahwa mereka bisa menyelesaikan kasus ini dengan tetap berpegang pada prinsip mengatakan kebenaran? Ataukah pemerintah hanya mampu menawarkan jalan buntu bernama rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenarannya?
Kami menunggu 🙂
Artikel ini sebelumnya diterbitkan untuk Remember65. Komunitas anak muda yang sedang merekam kenangan mereka tentang sejarah tragedi pembantaian tahun 1965.
Febriana Firdaus adalah jurnalis Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan pekerja migran. Selain aktif sebagai jurnalis, ia juga menjadi produser Podcast di Remember65. Febro, sapaan akrabnya, bisa disebutkan @febrofirdaus.