• November 23, 2024
Keluarga korban pelanggaran HAM mengusulkan pembentukan komisi presiden

Keluarga korban pelanggaran HAM mengusulkan pembentukan komisi presiden

JAKARTA, Indonesia – Keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu meminta Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo membentuk komisi presiden untuk membantu Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengungkap kasus dan melakukan validasi data dan mengawasi proses penyidikan dan penyidikan.

“Kami menyarankan pemerintah membentuk semacam komisi presidensial yang beranggotakan orang bijak (orang bijak – Merah) seperti Pak. Syafii Maarif, Mustofa Bisri, Romo Magnis dan Ny. Kemala Candra Kirana,” kata Ketua Dewan Pengurus Setara Institute Hendardi saat mendampingi keluarga korban menemui dua anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Selasa 29 Maret.

Jika dibentuk, komisi tersebut, menurut Hendardi, harus bertanggung jawab dan bekerja di bawah presiden. Tugas utamanya membantu Komnas HAM dan kejaksaan dalam memvalidasi data. Hasilnya bersifat mengikat, bukan sekedar rekomendasi.

Mengapa komisi presidensial?

Menurut Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, untuk menyelesaikan kasus HAM sebelumnya, ada dua undang-undang yang dirujuk. Pertama, undang-undang nomor 26 tahun 2002 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua, undang-undang nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC).

Namun UU KKR dibatalkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga harus diganti dengan undang-undang baru.

“Karena UU KKR belum ada, kami mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk semacam komisi presidensial menggantikan KKR,” kata Bonar.

Tujuan komisi ini adalah mengungkap kebenaran dan membawa penyelesaian ke ranah yudisial, bukan sekadar non-yudisial dan apologetika.

“Karena rekonsiliasi hanya merupakan hasil proses yudisial dan non yudisial. “Tidak ada rekonsiliasi tanpa terungkapnya kebenaran,” tambah Hendardi.

Setara Institute dan keluarga korban pun menolak usulan tim gabungan kejaksaan dan TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Mengapa? “Dulu mereka adalah bagian dari masalah, kenapa mereka disuruh menyelesaikan masalah? Kami tidak bisa menerima gagasan seperti ini. Oleh karena itu kita membutuhkan komisi yang terdiri dari menunjukkan pria,” dia berkata.

Prioritas komisi presiden ini adalah membawa ke pengadilan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak kemerdekaan, atau setidaknya 50 tahun lalu.

Menolak rekonsiliasi tanpa mengatakan yang sebenarnya

Lalu bagaimana kemajuan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu? Hendardi mengatakan, proses penyelesaian saat ini belum ada kemajuan.

Proses perkara HAM berat di masa lalu diawali dengan penyidikan oleh Komnas HAM, jika selesai akan diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan.

Komnas HAM juga sebelumnya membentuk tim ad hoc Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) periode 1997-1998 dan menyimpulkan dalam laporan setebal 301 halaman bahwa tim Mawar paling bertanggung jawab atas penculikan tersebut. puluhan aktivis.

Tim Mawar merupakan tim yang dibentuk di bawah Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup IV berdasarkan perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu, Mayjen TNI Prabowo Subianto.

Pada tahun 2006, Komnas HAM juga menyerahkan laporan tersebut ke Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Namun Kejaksaan Agung menolak dengan dalih menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Hingga saat ini, kejaksaan belum pernah melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat.

Belakangan, pemerintah menyatakan sedang mempertimbangkan opsi non-yudisial dengan rekonsiliasi, yakni meminta maaf. Keluarga korban telah menyatakan penolakannya terhadap rencana tersebut.

Terkait rekonsiliasi tersebut, Jaksa Agung HM Prasetyo pernah mengatakan kepada Rappler pada pertengahan tahun 2015 bahwa lembaganya sedang menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat terhadap 13 aktivis tahun 1998 yang melibatkan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

“Yang kami garis besarkan adalah pendekatan penyelesaiannya bersifat non-yudisial atau konsiliasi,” kata Prasetyo, Sabtu, 30 Agustus.

Kejaksaan Agung, menurut Prasetyo, mengajak pihak lain mempertimbangkan opsi konsiliasi ini agar kasus ini cepat selesai.

Mengapa memilih jalan rekonsiliasi? Karena kasus ini sudah lama terjadi, yakni pada tahun 1997. Mencari bukti tidak mudah, ujarnya.

Menanggapi sikap Jaksa Agung, keluarga korban tidak setuju. Hendardi dan Bonar van Setara mengatakan, itulah sebabnya komisi presiden dibentuk, untuk memastikan kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan hanya dengan meminta maaf.

18 tahun menunggu keadilan

Sementara itu, Sumarsih, Ruyati Darwin, dan Yayan yang merupakan keluarga korban pelanggaran HAM berat mengaku masih menaruh harapan pada Presiden Jokowi.

Oleh karena itu, mereka meminta dua anggota Watimpres, Sidarto Danusubroto dan Sri Adiningsih, mengingatkan presiden akan janji nawacitanya.

Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak hanya tercantum dalam salah satu agenda prioritas pemerintah atau Nawa Cita poin 4 dan poin 9, namun juga tertuang dalam visi dan misi pemerintah yang berbunyi:

“Kami berkomitmen untuk menyelesaikan secara adil kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terus menjadi beban sosial politik bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei (1998), Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa (1997) -1998), Talangsari-Lampung (1989), Tanjung Priok (1984), Tragedi 1965-1966.”

Menurut Sumarsih, ibu salah satu korban tragedi Semanggi I, sebaiknya Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres untuk segera membentuk pengadilan ad hoc. Ia pun meminta Jokowi mengundang pejabat yang berkuasa saat itu untuk dimintai keterangan, seperti BJ Habibie, Wiranto, dan Kivlan Zein.

Yayan, ayah Ucok, salah satu korban penghilangan paksa, juga menunggu langkah tegas presiden untuk menyelesaikan kasus ini. “Kami secara khusus meminta kepada Wapres untuk lebih tenang, hanya mengatakan apakah anak kami meninggal atau tidak.

Sementara itu, Ruyati Darwin yang merupakan salah satu orangtua pelaku tragedi Mei 1998 juga mengaku sudah menunggu keadilan selama 18 tahun, namun penyidikan di Kejaksaan Agung belum juga digelar.

“Pemerintah harus bertanggung jawab karena banyak ibu dan ayah korban yang meninggal di tengah perjuangan keadilan. “Semua ibu-ibu korban tragedi 1998 kecewa, lelah dan tidak mendapat kepastian selama 18 tahun,” ujarnya.

Saya berharap Pak Jokowi memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti berkas tersebut, ujarnya.

Apakah presiden akan tergerak? —Rappler.com

BACA JUGA

Data Hongkong