• April 8, 2025
Kemarahan Publik atas Meninggalnya YY, Akankah Ini Jadi Tonggak Sejarah Baru?

Kemarahan Publik atas Meninggalnya YY, Akankah Ini Jadi Tonggak Sejarah Baru?

Puluhan tahun yang lalu, sebagai mahasiswa psikologi, saya mengunjungi Lapas Wirogunan di Yogyakarta dan menyelidiki mengapa seseorang melakukan pemerkosaan? Oleh karena itu, saya bertemu dengan beberapa aktor dalam diskusi terfokus. Takut. Itulah yang saya rasakan sebelum saya bertemu mereka raksasa ini. Saya membayangkan mereka para psikopat dengan masalah mental. Ternyata tidak. Kelima remaja yang kutemui itu sama saja denganku, biasa saja. Mereka berbicara dengan suara pelan sambil terkadang menunduk.

Ceritakan kisah mengapa pemerkosaan tidak sendirian. “Kami mabuk, kami menonton film BF (pornografi), saya pergi dengan seorang teman.” Inilah jawaban mereka. Dalam perjalanan pulang saya masih tidak mengerti mengapa mereka memperkosa dan laki-laki lain? Saya tidak menemukan antusiasme Orang yg membenci wanita, kebencian terhadap wanita di dalamnya. Mengapa? Mungkin teman laki-laki saya yang harus memimpin pembicaraan karena saya tidak mengerti ‘bagaimana menjadi laki-laki’.

April ini, publik marah. Empat belas pemuda di sebuah kota kecil di wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, memperkosa dan kemudian membunuh seorang siswa SMA (Y). Dua dari 14 remaja masih duduk di bangku SMP, bahkan senior di kelas Y. Selebihnya adalah anak-anak putus sekolah, hingga usia 20 tahun. Pelaku dan korban tinggal satu kota, tentunya saling kenal. Kekejaman pelaku bermula dari pengumpulan uang Rp 40.000 untuk pesta tuak, dilanjutkan dengan mengunjungi di jalan yang biasa dilalui Y ke sekolah.

Saya bertanya-tanya bagaimana remaja remaja ini setuju untuk melakukan pemerkosaan? Tidak ada yang menolaknya, termasuk dua kakak kelas Y. Ini dia kultus maskulinitas? gank mendukung anggotanya dalam mengambil risiko kekerasan. Sebagai wujud kejantanan, memaksa korban melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya. Y adalah korban yang rentan. Gadis itu, sendirian, pulang melalui taman, jauh dari keramaian.

Sebagai korban, Y tidak sendiri. Pusat Krisis Perempuan Cahaya Perempuan melaporkan 84 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Rejang Lebong pada tahun lalu. Komisi Nasional Perempuan Pada tahun 2015 disebutkan bahwa di Indonesia setiap 2 jam 3 perempuan mengalami kekerasan seksual. Atau setiap harinya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Mengapa pemerkosaan beramai-ramai?

Penelitian terbaru ‘Mengapa sebagian laki-laki menggunakan kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana kita mencegahnya?, Studi Multi-Negara PBB tentang Laki-Laki dan Kekerasan di Asia dan Pasifik’ (2013) menunjukkan hasil yang mengejutkan. Sekitar 10-62% responden di enam negara mengaku melakukan pemerkosaan terhadap perempuan (pasangan dan bukan pasangan), 1-14% responden terlibat dalam pemerkosaan. dulunya petani atau pemerkosaan berkelompok. Di Indonesia, antara 6-23% responden mengaku pernah melakukan pemerkosaan.

Penelitian tersebut dilakukan dengan mewawancarai lebih dari 10 ribu pria berusia 18-49 tahun di Bangladesh, Tiongkok, Indonesia, Papua Nugini, Sri Lanka, dan Kamboja.

Tampaknya lebih mudah bagi laki-laki untuk mengakui telah melakukan pemerkosaan dibandingkan perempuan untuk mengaku sebagai korban. Karena laki-laki tidak harus menanggung stigma dan penderitaan sosial sepanjang hidupnya atau akibat hukumnya. Sebagaimana dinyatakan dalam penelitian ini, mayoritas pelakunya tidak pernah dihukum. Di Indonesia, 76-78% responden yang mengaku melakukan pemerkosaan tidak dihukum.

Penelitian ini menegaskan bahwa alasan laki-laki melakukan kekerasan sangatlah kompleks. Kombinasi pengalaman pribadi, norma masyarakat dan tatanan sosial. Tapi itu bermuara pada satu hal: klaim seksual. Mereka merasa berhak atas seks, dengan atau tanpa paksaan. Kekerasan digunakan untuk menunjukkan kendali, kekuasaan, kecakapan seksual, dan dominasi.

Alasan besar lainnya adalah untuk ‘bersenang-senang’ atau ‘bosan’. Selanjutnya kemarahan dan keinginan untuk menghukum, terutama pemerkosaan yang dilakukan terhadap pasangannya. Meski ‘mabuk’ sering dijadikan alasan, alkohol diakui sebagai faktor terkecil penyebab kekerasan.

Pelaku pemerkosaan khususnya mempunyai gambaran demografis yang juga sarat dengan kekerasan. Seperti melakukan kekerasan fisik terhadap pasangan perempuan, melakukan transaksi seks, berganti-ganti pasangan, terlibat dalam hubungan seks gang atau perkelahian antar laki-laki menggunakan senjata.

Pelaku pemerkosaan juga dikaitkan dengan ketidakmampuan berempati, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, serta tekanan terhadap status sosial dan ekonomi. Sayangnya, laki-laki yang menjadi korban kekerasan emosional, fisik, dan seksual saat masih anak-anak mempunyai kemungkinan besar melakukan kekerasan terhadap perempuan di kemudian hari. Separuh responden dari 6 negara yang melakukan pemerkosaan mengaku melakukannya saat masih remaja, di bawah 20 tahun.

Pertanyaan saya puluhan tahun lalu telah terjawab. Rupanya itu adalah ekspresi kejantanan dan kegagahan seksual yang perlu ditunjukkan. Mereka tampaknya belajar untuk menunjukkan kekuatan, menjadi Orang yg membenci wanita. Berusahalah menjadi manusia sesuai dengan norma dan kebiasaan yang dipelajari. Dan prosesnya dimulai sejak mereka masih anak-anak atau remaja.

Kini di tahun 2016 situasinya kurang lebih masih sama. Kita semua masih hidup dalam ekspresi agresi dan seks yang tidak berubah, permisif terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan. Untuk memahami dan memaafkan perilaku kekerasan laki-laki terhadap perempuan ‘karena laki-laki memang seperti itu’. Menyalahkan perempuan sebagai pemicunya, ‘kenapa pakai baju seperti itu? Mengapa kamu berjalan sendirian?’

Menyukai maskulinitas, memungkinkan agresivitas. Pada saat yang sama, ia tidak peduli dengan penderitaan anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Kelonggaran kami terhadap pemerkosaan dan agresivitas didengar oleh semua orang, bahkan oleh para pemimpin.

Marzuki Alie, mantan Ketua DPR, pernah menyalahkan rok mini penyebab pemerkosaan. Menyikapi rencana Sekretariat Jenderal DPR yang mengatur tata cara berpakaian di DPR. “Kita tahu banyak terjadi pemerkosaan, kasus asusila, karena perempuan tidak berpakaian pantas sehingga menyebabkan keinginan laki-laki berubah. Inilah yang sebaiknya dihindari. Namanya laki-laki, pakaian yang tidak pantas menarik perhatian laki-laki, akhirnya melakukan sesuatu” (2012).

Lebih lanjut tentang rok mini. mantan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo didukung oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia saat itu, Amidhan, juga dikritik atas pernyataannya tentang pemerkosaan terhadap siswi di transportasi umum dengan mendorong perempuan untuk tidak memakai rok mini.

Ya, masih sama. Setiap hari, hubungan sosial kita masih didominasi oleh pesan klaim seksual untuk pria. Berkontribusi pada budaya yang mendorong agresi seksual.

Kerusuhan publik dan tonggak sejarah baru

Saya melihat kemarahan masyarakat atas pemerkosaan dan kematian Y kali ini berbeda. Karena sekarang saya melihat lebih banyak pria yang marah. Mungkin karena itu bukan pemerkosaan biasa. Pemerkosaan dan pembunuhan beramai-ramai. Berbagai kalangan pemuda dan pemudi dari berbagai kalangan mengecam tindakan tersebut. Mereka mengatakan kisah Y bisa terjadi pada siapa saja: anak-anak kita, saudara-saudari kita, atau pasangan kita. Kemungkinan lainnya karena laki-laki juga ‘kesal’ dengan dominasi maskulinitasnya.

Salah satu kendala utama dalam perjuangan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan adalah kurangnya dukungan dari laki-laki. Tidak hanya di Indonesia, namun hampir di seluruh dunia. Dukungan laki-laki sangatlah penting, sama pentingnya dengan dukungan agar perempuan berani bersuara tentang pengalaman kekerasannya. Untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, kita harus menghentikan budaya yang melestarikannya. Paham kenapa pelaku melakukan hal tersebut? Mengapa kita terus mereproduksi pelakunya?

Gerakan perempuan menimbulkan keprihatinan serius mengenai pemeliharaan keadilan. Mendesak agar RUU Kekerasan Seksual segera disahkan, tanpa mengabaikan atau memaafkan lebih lanjut. Saya menambahkan, keselamatan setiap individu tanpa ancaman tidak dapat dijamin hanya oleh penegakan hukum. Hubungan sosial kita juga harus berubah. Di sinilah dukungan laki-laki menjadi penting.

Saya sangat berharap kemarahan kolektif ini menjadi tonggak baru dalam mengakhiri kekerasan seksual di Indonesia. Termasuk segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi terhadap 35 perempuan setiap harinya.

Namun lebih dari itu, ini merupakan tonggak sejarah baru bagi hubungan yang lebih sehat dan manusiawi antara pria dan wanita. Jadilah pria normal dan wanita normal. —Rappler.com

Sinta Dewi adalah seorang feminis, bekerja sebagai spesialis gender dalam pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim, dan tinggal di Bonn.

Keluaran HK Hari Ini