Kemenristekdikti akan menindak dosen penyebar radikalisme
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Menristek juga meminta pimpinan perguruan tinggi mendata dosen dan mahasiswa yang cenderung radikal
BANDUNG, Indonesia – Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir menyatakan akan menindak dosen dan dosen yang menyebarkan paham radikal di kampus. Untuk itu, dia meminta rektor untuk melakukan pemetaan terhadap dosen dan mahasiswa yang melakukan tindakan tersebut.
Nasir menjelaskan, dosen yang bekerja di perguruan tinggi negeri dan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) terikat dengan peraturan PP 53 tentang disiplin pegawai. Sedangkan dosen yang mengajar di perguruan tinggi swasta akan dituntut oleh rektor kampus terkait.
“Saya akan menindak rektor (kampus swasta) nanti. Perguruan tinggi swasta mempunyai izin yang terdaftar di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. “Jadi bagaimana dengan status akreditasi dan izinnya, akan kita kontrol terus,” kata Nasir di Bandung, Jumat, 14 Juli.
Permintaan pendaftaran data mahasiswa dan dosen yang diduga menyebarkan ideologi radikal, kata Nasir, sudah disampaikan ke seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
“Saya katakan rektor sebaiknya melakukan pemetaan terhadap dosen dan mahasiswa, maksudnya kalau ada dosen yang cenderung radikal, (memiliki kaitan) terorisme, silakan didata terlebih dahulu. Siswa juga melakukannya. “Setelah ini kita tunggu aturannya setelah keluarnya Perppu (tentang ormas),” ujarnya.
Nasir berada di Bandung untuk mengikuti Deklarasi Anti Radikalisme di Aula Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran. Aksi ini dihadiri oleh beberapa rektor universitas dan pejabat terkait, seperti Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Sekretaris Jenderal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen Gautama Wiranegara, dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
Para rektor berjanji akan melawan radikalisme dan mencegahnya berkembang di kampus. Rektor Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung mewakili 44 rektor membacakan Deklarasi Anti Radikalisme.
Menurut pemerintah, langkah deklarasi tersebut diperlukan mengingat kampus dan lingkungan akademik menjadi sasaran empuk pihak-pihak yang menyebarkan paham radikal. Selain itu, ormas yang kini ditutup oleh pemerintahan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini juga disebut memiliki basis yang kuat di lingkungan kampus.
Pemerintah menutup ormas tersebut karena bermaksud mengubah prinsip negara Pancasila dan UUD 1945 menjadi khilafah.
Memperkuat daya tahan
Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Herry Suhardiyanto, mengatakan ada dua hal penting yang harus dilakukan perguruan tinggi pasca deklarasi anti radikalisme. Pertama, lingkungan kampus harus memperdalam potensi radikalisme dan kedua, membangun ketahanan seluruh civitas akademika terhadap derasnya arus informasi yang menyebarkan pemikiran radikal.
“Bagaimana kita tetap menggalakkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 dan menjaga NKRI, di tengah serangan negara lain, dari pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan itu semua. “Yang kita lakukan adalah resiliensi dan memperkuat ketahanan kita,” kata Herry.
Ia meyakini jika lingkungan kampus sudah memiliki daya tahan dan pengamalan keagamaan yang kuat, tantangan apa pun yang dihadapi tidak akan efektif. Selain itu, Herry menyarankan agar tidak ada penilaian terhadap pegawai di lingkungan akademik yang memiliki pemikiran radikal.
Padahal, pimpinan perguruan tinggi perlu menggunakan pendekatan yang lebih lembut agar bisa mengikis pemahaman tersebut.
“Rektor harus memahami bahwa kita bisa melakukan pendekatan kepada dosen, tenaga pengajar, pegawai, mahasiswa atau kelompok kegiatan. Kita harus bersedia menemani. “Kita akan mendalami betul bagaimana mereka bisa mempunyai pola pikir seperti itu,” ucapnya. – Rappler.com