Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyoroti uji materi terhadap tiga pasal UU 32/2009
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Asosiasi Pengusaha Kehutanan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Konstitusi. Pengadilan diajukan.
Mereka menggugat tiga pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2009, yakni Pasal 69 ayat (1) dan (2), Pasal 88, Pasal 99 UU. Padahal, pasal-pasal tersebut menjadi kunci bagi pemerintah untuk menangkap perusahaan-perusahaan nakal yang kerap melakukan pembakaran hutan.
Pasal 88 misalnya memuat prinsip Tanggung jawab yang ketat. Prinsip ini adalah penggugat tidak perlu membuktikan kesalahan tergugat. Penggugat hanya perlu membuktikan bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan tergugat menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.
Tak heran, permintaan peninjauan kembali mendapat perhatian dari APHI dan GAPKI. Misalnya, lembaga pengawas lingkungan hidup WALHI menyebut tinjauan ini sebagai peringatan bahaya bagi lingkungan.
Sorotan juga datang dari Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani. Menurut Ridho, peninjauan yang dilakukan APHI dan GAPKI merupakan upaya mereka untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas ketidakmampuan korporasi dalam mencegah dan menangani kebakaran hutan.
“Kebakaran hutan dan lahan yang meluas seolah-olah terjadi di konsesi perusahaan akibat praktik kearifan masyarakat lokal (Pasal 69 ayat 2),” kata Ridho Sani dalam keterangan tertulis yang diterima Rappler, Kamis, 8 Juni 2017.
Ridho mengatakan, korporasi diberi keistimewaan untuk mengelola puluhan ribu, bahkan jutaan hektar lahan hutan karena dinilai memiliki sumber daya dan kemampuan mengatasi berbagai permasalahan dalam konsesi, termasuk pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan.
“Namun, korporasi tidak serius dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran. Bayangkan ada satu konsesi lahan yang terbakar lebih dari 80 ribu hektare, dibandingkan luas Jakarta yang sekitar 60 ribu hektare, kata Ridho Sani.
Padahal, sebagai pemegang izin, korporasi harus mempunyai kemampuan mencegah dan menanggulangi kebakaran di konsesinya. Jadi, jika terjadi kebakaran, patut diduga hal tersebut disengaja untuk menghemat biaya pembukaan lahan dan meningkatkan kualitas lahan.
Ridho mengatakan, saat ini ada 42 pemegang izin yang dikenakan sanksi administratif, mulai dari pembekuan hingga pencabutan izin. Selain itu, 115 korporasi juga telah diberikan peringatan untuk melengkapi sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran. Sebanyak 10 korporasi lainnya juga dituntut secara perdata dan 26 korporasi dituntut secara pidana.
Penegakan hukum, lanjut Ridho Sani, akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan perilaku dan kinerja pengelolaan lingkungannya. Salah satu senjata yang digunakan untuk menjerat korporasi adalah penegakan hukum Tanggung jawab yang ketat yang tertuang dalam Pasal 88 UU32/2009.
“Pertanggungjawaban yang ketat memudahkan penggugat dalam mengajukan tuntutan ganti rugi dan/atau pelaksanaan tindakan perbaikan lingkungan hidup,” kata Ridho.
Karena dengan tanggung jawab yang ketat, penggugat tidak harus membuktikan kesalahan tergugat. Penggugat hanya perlu membuktikan bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan tergugat menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dengan menggunakan B3, menghasilkan limbah B3, atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.
“Dalam tanggung jawab tegas, tergugatlah yang harus membuktikan bahwa ia bertanggung jawab atau bersalah atau tidak atas bahaya atau kerugian yang terjadi.”
Beberapa kasus perdata yang didorong oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menggunakan pertanggungjawaban ketat antara lain kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Waringin Agro Jaya, PT. Palmina Utama, dan PT. Ricky Kurniawan Kertapersada.
Sedangkan gugatan KLHK menggunakan pertanggungjawaban murni, PT. Waimusi Agroindah (Proses Persidangan di PN Palembang) dan PT. Agro Tumbuh Gemilang Abadi (Proses Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara).
Beberapa gugatan KLHK lainnya yang dikabulkan pengadilan antara lain gugatan terhadap PT. Merbau Pelalawan Lestari (dikabulkan Mahkamah Agung/Kasasi sebesar Rp 16,2 triliun), PT. Kalista Alam (dikabulkan Mahkamah Agung/Kasasi sebesar Rp 360 miliar), PT. Jatim Jaya Perkasa (dikabulkan oleh Mahkamah Agung DKI Jakarta sebesar Rp 491 miliar) dan PT. Sagu Prima Nasional (diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebesar Rp 1,072 triliun).
Ridho mengatakan, dari putusan tersebut jelas berlakunya pasal ‘sakti’ 88 UU32/2009 yang memuat asas Tanggung jawab yang ketat. Tak heran jika APHI dan GAPKI meminta Mahkamah Konstitusi menguji pasal tersebut.
Padahal, Ridho menilai korporasi mendapat saksi administratif, perdata, atau pidana bukan karena pasal-pasal suci tersebut, melainkan karena tidak menaati larangan dan memenuhi kewajibannya.
Ridho melihat Peninjauan kembali yang disampaikan APHI dan GAPKI sebagai cerminan ketakutan mereka terhadap tindakan tegas pemerintah terkait kejahatan pembakaran hutan dan lahan yang mereka lakukan selama ini.
“Sebagai asosiasi, APHI dan GAPKI harus bermitra dengan pemerintah dalam membangun perilaku korporasi yang taat hukum, bukan menyalahkan pasal dalam undang-undang dengan mengeksekusi JR,” ujarnya.
Ridho mengatakan pihaknya mendukung keberadaan pasal 88, pasal 99 UU No. 32/2009 dan Pasal 49 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan penting untuk memastikan bahwa korporasi bertanggung jawab dan bertindak secara konstitusional untuk mewujudkan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sedangkan Pasal 69 Ayat (2) UU No/32/2009 merupakan bentuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan hukum terhadap kearifan masyarakat adat yang sudah ada sebelum korporasi ada.
“Untuk tumbuh berkelanjutan dan berkeadilan sosial, kita membutuhkan korporasi dan investasi yang berkualitas, bukan korporasi yang tidak bertanggung jawab,” kata Ridho. —Rappler.com