• November 29, 2024

Kesaksian mantan sandera Abu Sayyaf: Sering diancam akan dieksekusi

Kelompok Abu Sayyaf datang dengan dua speedboat dan berpakaian ala polisi Filipina.

JAKARTA, Indonesia – Kepala kapal tunda Brahma 12, Julian Philip, tak menyangka perjalanannya mengangkut ribuan ton batu bara ke Filipina selatan berjalan mulus. Saat berada di kawasan bernama Selat Aris, Malaysia, kapal mereka tiba-tiba didatangi dua speedboat.

Kedua speedboat tersebut membawa 8 orang berpakaian ala polisi Filipina. Oleh karena itu, Julian dan 9 awak kapal lainnya tidak curiga bahwa mereka adalah kelompok milisi Abu Sayyaf.

“Mereka langsung menyandera kami. “Dia naik perahu dan menodongkan pistol,” kata Julian saat ditemui di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Senin, 2 Mei.

Philip bercerita, peristiwa itu terjadi pada Senin 25 Maret sekitar pukul 15.25 waktu setempat. Persenjataan yang dibawa kelompok Abu Sayyaf cukup lengkap. Mulai dari M14, M16 dan peluru berukuran besar.

“Kami terikat dan dibelenggu. Namun kami mohon tidak diperlakukan seperti ini karena kami sudah menyatakan tidak akan melakukan perlawanan, kata Julian yang mengenakan kemeja putih.

Usai menguasai kapal, anggota Abu Sayyaf menuntut agar kapal tersebut dilepaskan. Sedangkan kapal tunda diarahkan ke Tawi-Tawi.

“Kami ingin melepas jangkar setelah tongkang dimuati batu bara. Namun hal itu tidak diperbolehkan karena Abu Sayyaf tidak ingin petugas patroli Filipina mengetahui keberadaan mereka, ujarnya.

Sesampainya di utara Tawi-Tawi, 10 awak kapal tersebut diminta pindah ke dua speedboat. Kemudian mereka berlabuh di sebuah pulau tak dikenal.

“Kami belum tahu nama pulaunya. “Kami tidak tahu pulau mana yang akan kami tuju karena kami tidak membaca petanya,” ujarnya.

Selama disandera selama 36 hari, Abu Sayyaf memperlakukan 10 awak kapal dengan baik. Meski demikian, hal ini menjadi tantangan tersendiri karena setiap beberapa hari sekali posisi mereka berubah.

Demi keamanan, kata Julian, 10 awak kapal tersebut sengaja dibagi menjadi beberapa kelompok. Menurut Julian, Abu Sayyaf tidak ingin ada awak kapal WNI yang terluka atau terbunuh.

“Mungkin mereka mengira jika salah satu sandera meninggal, mereka tidak bisa mendapatkan uang tebusan,” ujarnya.

Julian pun mengaku stres karena kerap diancam akan dieksekusi. Lantas, benarkah ada pembayaran uang tebusan dari perusahaan pemilik kapal tersebut kepada para penculik? Julian mengaku tidak tahu.

Tiba-tiba kami diantar, langsung diberikan mobil dan diminta mencari sendiri rumah Gubernur Sulu, ujarnya.

Akui bahwa Anda telah masuk Islam

Sementara itu, nakhoda kapal tunda Brahma 12, Peter Tomsen Barahama mengaku, demi keselamatan, beberapa awak kapal yang beragama Kristen terpaksa mengaku telah masuk Islam.

“Ini bukan untuk memprovokasi negara kita. “Karena mereka selalu bilang sedang perang agama,” kata Peter yang ditemui di tempat yang sama.

Diakuinya, selama disandera Abu Sayyaf, ia dan 9 awak kapal lainnya terpaksa beradaptasi dengan kehidupan di hutan. Hanya tidur di atas daun kelapa.

“Kalau mereka tidur di tanah, kami juga tidur di tanah. Kami juga mengikuti apa yang mereka makan,” ujarnya.

Lantas, apakah dia juga mendapat ancaman saat disekap? Petrus tidak membantah. Ia mengaku kerap diintimidasi dengan diberi ultimatum.

“Mungkin maksudnya kita bisa dibeli dengan cepat (dengan uang),” ujarnya.

Peter pun mengaku tidak trauma setelah mengalami kejadian pembajakan tersebut. Ia mengaku siap menjalankan profesinya sebagai kapten.

“Tergantung, oke? “Kalau perusahaan menelepon lagi, saya akan pergi,” katanya.

Kesepuluh awak kapal asal Indonesia tersebut akhirnya dibebaskan pada Minggu 1 Mei. Penyerahannya dilakukan di depan kediaman Gubernur Sulu.

Kesehatan mereka diperiksa dan dipertanyakan. Kesepuluh awak kapal tersebut kemudian dibawa dengan helikopter militer dari Zamboanga City menuju Manila.

Mereka kemudian dibawa dengan jet pribadi dari Manila dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma pada Minggu malam pukul 23.30. Setelah hasil pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) diperiksa, 10 awak kapal tersebut diserahkan pemerintah kepada keluarga masing-masing.

Pemerintah Indonesia membantah membayar uang tebusan sebesar 50 juta peso atau setara Rp 14,3 miliar. Padahal sebelumnya, Menteri Koordinator Hukum, Politik, dan Keamanan Luhut Panjaitan membenarkan perusahaan pemilik kapal, PT Patria Maritime Lines, sudah menyiapkan uang tebusan. – Rappler.com

BACA JUGA:

Data Hongkong