Ketika aliran sesat muncul di Indonesia, bagaimana seharusnya pemerintah menyikapinya?
- keren989
- 0
Pemerintah Indonesia harus menjamin kebebasan beragama bagi siapa pun, termasuk penganut agama minoritas. Pelaku kekerasan, termasuk penyerang kubu Gafatar, harus diadili.
Di sebuah kabupaten kecil di Kalimantan Barat, Indonesia, lebih dari 1.000 anggota sekte agama baru bernama Gafatar telah membentuk jemaah dalam setahun terakhir. Kebanyakan dari mereka, termasuk seorang dokter umum yang dilaporkan hilang bersama putrinya pada akhir Desember, telah pindah dari Jawa dalam satu tahun terakhir.
Pada akhir Januari massa menyerang dan membakar rumah mereka. Aktivis hak asasi manusia mengutuk serangan itu dan menyerukan kepada pemerintah melindungi anggota Gafatar.
Namun banyak orang di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, juga terkejut dengan berita bahwa para profesional muda bergabung dengan aliran sesat yang diyakini memadukan unsur-unsur Islam, Kristen, dan Yudaisme.
Gafatar terjerumus ke dalam apa yang oleh para ulama disebut sebagai “gerakan keagamaan baru”. Mengapa dan bagaimana gerakan-gerakan tersebut muncul? Dan bagaimana seharusnya pemerintah menangani aliran sesat yang muncul sambil memastikan kebebasan beragama bagi semua warga negara?
Gerakan keagamaan baru
Gerakan keagamaan baru, seperti Gafatar, biasanya memenuhi kriteria berikut:
-
merupakan kolektif dengan pemimpin yang karismatik;
-
secara aktif namun diam-diam merekrut anggota baru;
-
memiliki struktur hierarki yang mirip dengan agama tradisional;
-
mempunyai doktrin agama yang cenderung berbeda dengan agama konvensional; Dan
-
mengisolasi diri dari masyarakat arus utama dengan membangun tatanan kehidupan baru (seperti yang dilakukan Gafatar dengan pindah ke Mempawah).
Beberapa ahli menganggap gerakan-gerakan ini mewakili interpretasi baru terhadap agama-agama yang sudah mapan. Peneliti lain melihatnya sebagai respons terhadap kekecewaan terhadap kondisi sosial dan politik.
Di Indonesia, peralihan dari rezim otoriter Suharto ke sistem demokrasi saat ini telah menciptakan suasana ketidakpastian dan ketidakstabilan. Ketidakstabilan sosial semacam ini dapat mempengaruhi munculnya kelompok-kelompok yang menawarkan perbaikan cepat dalam bentuk hubungan pribadi dan janji-janji eskatologis, menghilangkan atau setidaknya mengurangi perasaan ketidakpastian.
Beberapa orang mungkin tertarik pada kelompok ini karena mereka percaya bahwa agama yang sudah mapan telah gagal. Mereka mungkin merasa agama-agama tersebut hanya terfokus pada masa lalu dan tidak bisa lagi menjadi pedoman dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Selain itu, mereka mungkin merasa agama yang sudah mapan mempunyai aturan yang kaku, tidak menarik, dan sempit.
Gerakan keagamaan baru biasanya berkembang dalam pola tertentu. Mereka memulainya dengan menawarkan penyegaran pemahaman masyarakat terhadap doktrin agama. Hal ini diikuti dengan usulan cara baru dalam memandang agama yang sudah mapan. Kemudian mereka membenarkan kemungkinan adanya pandangan yang berbeda dengan agama yang sudah mapan. Pada akhirnya, pemeluknya didorong untuk memisahkan diri dari agama induknya.
Hampir semua gerakan keagamaan baru mengalami metamorfosis ini. Ada pula yang berhasil menjadi agama baru yang mapan, seperti Baha’ismenamun seringkali gerakan-gerakan tersebut hilang seiring dengan kematian pemimpinnya, konflik internal, atau karena dilarang oleh suatu rezim.
Menghadapi gerakan keagamaan baru
Ada banyak jenis gerakan keagamaan baru. Beberapa dari mereka adalah penganut paham pasifis, yang fokus pada mobilisasi pengikut dengan cara damai. Beberapa di antaranya ekstremis.
Amerika Serikat Cabang sekte Daud dipimpin oleh David Koresh di Waco, Texas, atau Aum Shinrikyosekte yang dipimpin oleh Shoko Asahara di Jepang menunjukkan bagaimana gerakan-gerakan ini dapat mengambil tindakan ekstrem ketika mereka tidak dapat menemukan kompromi dengan agama atau otoritas yang sudah mapan.
Branch Davidians memilih konflik bersenjata dengan polisi. Aum Shinrikyo melepaskan racun sarin di kereta bawah tanah Tokyo.
Aliran sesat ini mampu memobilisasi masyarakat untuk melakukan tindakan ekstrem akibat ketaatan pengikutnya terhadap pemimpin. Inilah salah satu kekhawatiran munculnya gerakan keagamaan baru: potensi kerugian akibat kepercayaan buta terhadap pemimpin karismatik yang dapat timbul dari gerakan tersebut.
Meski demikian, pemerintah Indonesia harus menjamin kebebasan beragama bagi siapa pun, termasuk penganut agama minoritas. Pelaku kekerasan, termasuk penyerang kubu Gafatar, harus diadili.
Pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum yang membiarkan kekerasan terjadi hanya dengan berdiam diri, atau yang secara aktif terlibat dalam penyerangan, harus dihukum.
Hukum di Indonesia memperbolehkan pemerintah untuk melakukan hal tersebut mengatur kehidupan beragama di ranah publik. Pemerintah dapat membatasi kebebasan tertentu dalam urusan publik jika diperlukan. Namun hal itu harus dilakukan sesuai dengan kepentingan umum dan keadilan.
Dalam menghadapi gerakan keagamaan baru, pemerintah harus menyelidiki apakah suatu gerakan berpotensi membahayakan ketertiban umum sebelum mengambil tindakan.
Pemerintah harus melarang organisasi yang mendakwahkan kekerasan, mengizinkan pernikahan anak atau inses, menyatakan niat separatis, atau bertujuan mengubah konstitusi negara menjadi konstitusi agama.
Seringkali, penyerang dari sekte agama yang tidak ortodoks lolos dengan melakukan kekerasan. Sementara kelompok seperti Gafatar akhirnya dihadapkan pada tangan besi. Pemerintah seringkali melarang aliran agama tanpa bukti kuat bahwa aliran tersebut melanggar ketertiban umum.
Tindakan represif tidak efektif mengendalikan munculnya gerakan keagamaan baru. Melarang kelompok akan membuat mereka menjadi martir. Pada akhirnya, hal ini hanya akan melahirkan gerakan-gerakan keagamaan baru dengan model dan bentuk yang berbeda. – Rappler.com
Artikel ini pertama kali diterbitkan pada Percakapan. Imatu Ropi adalah Dosen Senior dan Direktur Penelitian Pusat Kajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.