Ketika intoleransi sudah tertanam di sekolah
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Dampak Pilkada DKI pun menjalar ke anak-anak sekolah. Tugas Gubernur Jakarta yang baru adalah memulihkan apa yang telah terkoyak.
JAKARTA, Indonesia – Semarak Pilkada DKI Jakarta yang diwarnai isu SARA memang telah berakhir, namun belum berdampak apa-apa. Baru-baru ini, Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo menemukan kejadian serupa di tingkat sekolah.
Dalam kunjungannya ke beberapa daerah di luar Jakarta beberapa waktu lalu, ia menemukan ada siswa dan guru yang menilai agama menjadi faktor penting dalam memilih ketua OSIS. “Ada keengganan anak dipimpin oleh ketua OSIS yang berbeda agama,” ujarnya saat konferensi pers di Komnas HAM, Selasa, 2 Mei.
Basis data tersebut ia peroleh dari penelitian Puslitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Juli-September tahun lalu di Singkawang dan Salatiga. Sebanyak 160 responden yang terdiri dari siswa, guru, kepala sekolah, petugas pendidikan dan akademisi harus menjawab 7 pertanyaan terkait keberagaman. Termasuk soal kepemimpinan OSIS.
Meski kecil, rata-rata di bawah 4 persen, namun ada yang menganggap kesetaraan agama itu penting, seperti ketua OSIS harus dari agama mayoritas, ketua harus seagama, jadi tidak boleh selamat berlibur bagi orang-orang yang berbeda agama. Henny melihat beberapa penyebabnya, seperti sempitnya pemahaman nilai-nilai kebangsaan di sekolah, pendidikan agama yang eksklusif, dan ajaran dalam keluarga yang memiliki ikatan leluhur yang kuat.
Namun penelitian tersebut tetap menempatkan kedua sekolah tersebut sebagai sekolah yang toleran, karena masyarakat yang tidak setuju bahwa faktor agama penting dalam pemilihan pemimpin dan hubungan juga tinggi.
Namun masih ada bibit-bibit intoleransi di lingkungan pendidikan yang perlu dibenahi, ujarnya.
Disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan adil serta tidak boleh bersifat diskriminatif. Ia kemudian menyarankan agar setiap lembaga pendidikan menaati pasal tersebut dalam mengambil kebijakan atau evaluasi.
Begitu pula dengan Ujian Kompetensi Guru hendaknya dikaitkan dengan prinsip-prinsip tersebut agar para pendidik dapat menyebarkan nilai-nilai keberagaman. Indikator ditentukan berdasarkan ruang pertemuan yang tercipta dalam kehidupan sehari-hari.
“Toleransi saja tidak cukup, namun harus dibarengi dengan langkah memberikan ruang kerja sama. “Nah akibatnya praktik atau kebijakan yang tidak selaras itu adalah pelanggaran,” ujarnya.
Sejauh ini diskriminasi berbasis agama masih ditemukan dalam proses pembelajaran dan materi pengajaran. Hasil penelitian SETARA Institute menunjukkan 65 sekolah telah melakukan tindakan diskriminatif. Pada tahun 2014, Wahid Institute juga mendapatkan dukungan dari guru dan siswa atas tindakan pelaku perusakan dan penyegelan tempat ibadah.
Intervensi pemerintah
Meski tak bertanggung jawab atas segala tindakan intoleransi yang terjadi di sekolah, Gubernur terpilih DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan disebut punya tugas berat. Henny melihat strategi kemenangannya yang memanfaatkan masjid dan simbol agama, serta menggaet dukungan ormas radikal, berdampak besar.
“Pekerjaan rumah awalnya adalah memutuskan hubungan dengan semua ormas yang pro kekerasan, dan merebut kepercayaan komunitas pro keberagaman,” ujarnya.
Anies harus menunjukkan bahwa dirinya tidak mendukung tindakan atau tindakan intoleran dan bersikap tegas meski saat ini ia lebih banyak bungkam.
Sementara itu, Direktur KAPAL Perempuan Misiyah juga mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama untuk memperbaiki sistem pendidikan, kurikulum, dan bahan ajar yang ada saat ini. Ia meminta agar konten-konten diskriminatif dalam bahan ajar dihilangkan.
“Memberikan sanksi hukum yang tegas kepada lembaga pendidikan yang melanggar nilai-nilai kesetaraan gender, penghormatan terhadap keberagaman yang berdampak mendorong diskriminasi,” ujarnya. Mereka yang kedapatan melanggar bisa dipecat sebagai guru, atau ditutup lembaganya.
@JennyJusuf @habibthink Kemarin di TPS saya ada anak kelas 5 SD yang berkata “oh itu sampah yang memilih Ahok orang kafir cina” Ibunya yang berjilbab hanya tertawa
— hanya aku (@lotek30) 20 April 2017
@JennyJusuf @habibthink Khakk, ini adik sepupuku yang sebenarnya kelas 5. Aku pulang sekolah sambil menangis. Kak, aku mau operasi mata. Kata temanku, kalau kamu kurus, kamu akan masuk neraka 🙁
— Kamu (@shintararadianti) 20 April 2017
Permasalahan intoleransi pada anak harus disikapi secara serius karena merekalah yang akan membangun peradaban bangsa di masa depan. Akankah toleransi memudar seiring berjalannya waktu? –Rappler.com