Ketika minyak dan gas habis, pendidikan menjadi senjata utama Qatar
- keren989
- 0
DOHA, Qatar – Anda tentu tidak terpikir untuk mendapatkan gelar sarjana dari universitas ternama Barat di Timur Tengah, bukan?
Pendidikan di Timur Tengah lebih identik dengan studi Islam di negara-negara yang menganut sistem syariah. Misalnya saja Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang menjadi salah satu tujuan utama mahasiswa Indonesia untuk mempelajari agama lebih mendalam.
Namun kini negara-negara Timur Tengah lainnya, seperti Qatar, mulai bertransformasi menjadi pusat pendidikan di kawasan tersebut. Sistem pendidikan di Qatar kini dikatakan sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan website Kemenristekdikti menyebut Qatar sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, bersama Finlandia dan Swiss.
Qatar adalah negara kecil namun kaya akan sumber daya mineral minyak dan gas. Mengapa negara yang dipimpin Emir Tamim bin Hamad Al Thani ini rela mengeluarkan investasi sebesar itu untuk memperbaiki sistem pendidikannya?
Prioritaskan pendidikan
“Saya mengunjungi Doha beberapa tahun lalu, dan takjub melihat Doha saat ini,” kata Fareed saat menyampaikan pidato utama pada World Innovation Summit for Education (WISE) 2017 di Qatar National Convention Center (QNCC) pada November lalu.
“Ketika Anda mengunjungi negara-negara Teluk, Anda akan selalu terkejut dengan perkembangan fisik kota-kota mereka. Gedung-gedung tinggi, hotel-hotel canggih. Namun yang menakjubkan dari Qatar adalah perkembangan kota ini sebagai pusat intelektual.”
Hal ini menunjukkan komitmen Qatar sebagai pusat pendidikan di Timur Tengah, seperti yang diungkapkan istri mantan pemimpin negara tersebut, Sheikha Moza binti Nasser saat pembacaan pidato pembukaan WISE 2017.
Sheikha Moza mencontohkan Irak yang memiliki sistem pendidikan terbaik di kawasan pada tahun 1990-an, sebelum perang saudara pecah pada tahun 2003. Irak berada dalam kehancuran selama 13 tahun, meskipun negara tersebut hampir mencapai tujuannya untuk memberantas buta huruf.
Blokade Qatar yang dilakukan sejumlah negara di kawasan Teluk Persia sejak Juni 2017 juga membuka peluang kehancuran negara berpenduduk 2 juta jiwa tersebut.
“Beberapa negara bermaksud mempersulit kita, namun mereka hanya menambah kerumitannya sendiri,” kata Sheikha Moza.
Mereka ingin kita berubah, tapi kita tetap sama.
Di sinilah, menurut Sheikha Moza, pentingnya pendidikan bagi warganya agar mampu bertahan hidup sendiri, meski hubungan diplomatik dan sosial dengan negara tetangga terputus.
Meski suatu saat Qatar tidak bisa lagi mengandalkan minyak dan gas sebagai sumber utama pemasukan negara, mereka berharap bisa bertahan melalui sumber daya manusia yang merupakan aset penting yang tidak boleh diabaikan.
“Keuntungan dari minyak dan gas tidak akan bertahan selamanya, fokus pada sesuatu yang berkelanjutan adalah hal yang lebih penting,” kata Sheikh Abdulla bin Ali Al Thani, salah satu anggota keluarga penguasa Qatar. kepada media.
Kota Pendidikan
Sheikha Moza melalui Qatar Foundation kemudian membangun Education City, di pinggiran Doha. Terdapat beberapa universitas luar negeri ternama seperti:
- Virginia Commonwealth University di Qatar School of the Arts (Amerika Serikat)
- Weill Cornell Medical College di Qatar (Amerika Serikat)
- Texas A&M University di Qatar (Amerika Serikat)
- Universitas Carnegie Mellon di Qatar (Amerika Serikat)
- Sekolah Dinas Luar Negeri Universitas Georgetown di Qatar (Amerika Serikat)
- Universitas Northwestern di Qatar (Amerika Serikat)
- Sekolah Studi Komersial Tingkat Lanjut Paris (HEC Paris) (Prancis)
- University College London (Inggris)
Selain universitas, terdapat juga dua universitas Qatar yaitu:
- Fakultas Studi Islam Qatar
- Universitas Hamad bin Khalifa
Qatar menilai tidak mungkin mencapai sistem pendidikan berkualitas dalam semalam, oleh karena itu mereka mengundang sejumlah universitas dari negara-negara Barat yang sudah memiliki reputasi baik untuk membuka cabang di sana.
Hal ini juga merupakan komitmen Qatar dalam memperbaiki sistem pendidikan di kawasan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berulang kali mengkritik negara-negara Arab karena pendidikan di negara-negara tersebut dinilai masih terbelakang dibandingkan wilayah lain di dunia.
Pendidikan di negara-negara Arab umumnya tidak mendapat suntikan dana dari pemerintah, gedung sekolah yang sudah tua dan sistem pendidikan yang sangat kaku. Belum lagi minimnya kesempatan bagi perempuan, baik anak-anak maupun orang dewasa.
Kritik ini mendapat perhatian khusus dari Sheikha Moza dan suaminya, Sheikh Hamad, yang mengundurkan diri pada tahun 2003. Posisinya digantikan oleh putranya, Tamim, yang mengambil alih kepemimpinan saat usianya masih 33 tahun.
Sheikh Hamad dan Sheikha Moza belajar di universitas-universitas Barat.
Kursus-kursus di universitas-universitas di Qatar juga ditawarkan dalam bahasa Inggris dan Arab sehingga mahasiswa mempunyai kesempatan untuk menggunakan ilmunya dalam skala besar di dunia global.
Ambisi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan asing. Oleh karena itu, pekerja dari seluruh dunia, dosen, guru, dan konsultan dibayar tinggi oleh Qatar untuk mencapai standar pendidikan internasional yang berkualitas.
Belajar di Doha
Febrariska Armen (28 tahun) adalah warga negara Indonesia yang sedang belajar di Qatar. Ia pindah ke negara ini pada tahun 1996 bersama keluarga ayah dan ibunya yang bekerja di sebuah perusahaan minyak.
Di Qatar, dia bersekolah di Al Khor International School. Orang tuanya tidak perlu khawatir soal biaya sekolah karena semuanya—termasuk buku, alat tulis, biaya les, dan lain-lain—ditanggung oleh perusahaan tempat orang tuanya bekerja hingga ia lulus SMA.
Febrariska yang sedang menempuh pendidikan sarjananya di Perth, Australia, mengatakan pendidikan gratis di Qatar sangat bermanfaat baginya.
“Untuk kertas tulis pun kami harus membelinya sendiri di Australia. “Kami juga menyediakan perlengkapan alat tulis secara gratis di Qatar,” ujarnya kepada Rappler.
Salah satu alasan mengapa ia tidak melanjutkan pendidikannya di universitas di Qatar adalah karena ia bersekolah di Doha dari awal sampai akhir, ia ingin bepergian ke negara lain.
Selain itu, menurut Febrariska, saat itu, sekitar awal tahun 2000-an, pemerintah dan Qatar Foundation belum terlalu mempromosikan manfaat dari universitas dalam negerinya sehingga masyarakat awam belum terlalu mengetahui manfaatnya.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, Qatar Foundation telah memulai transformasi besar-besaran pada sistem pendidikan dan hasil yang akan mereka capai di tahun-tahun mendatang. —Rappler.com