• October 2, 2024

Ketika para ibu tanpa sadar menaburkan benih-benih korupsi pada anak-anaknya

BANDUNG, Indonesia – Yiyin Hadiani terbangun seperti baru saja ditampar. Kecintaannya yang mendalam pada anak tunggalnya itu seperti menabur benih korupsi.

Yiyin mengatakan siap melakukan apapun untuk buah hatinya, termasuk mencari jawaban atas pertanyaan yang sulit dijawab. Hal ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu teman sekolah anaknya.

“Jadi kita Ya punya grup di BB (BlackBerry) dan WA (WhatsApp). Jika ada PR dan anak tidak bisa menjawab, biasanya kami bertanya dalam kelompok. Nah, bunda yang akan tahu jawabannya Membagikan dalam grup. Saya akan memberikan jawaban kepada anak itu. Jadi yang mana menipu bukan anaknya, tapi ibunya,” kata Yiyin kepada Rappler sambil tertawa.

Yiyin kemudian menyadari bahwa tindakannya secara tidak langsung mengajarkan anak-anak untuk tidak jujur. Anak juga tidak menjadi mandiri, tidak bekerja keras dan tidak bertanggung jawab. Lebih parah lagi, perbuatannya itu seperti menanam benih korupsi pada anaknya.

“Ternyata kecurangan itu sebenarnya adalah benih korupsi. Kita tidak pernah menyadarinya. Tapi karena sudah menjadi kebiasaan, kita tidak menyadari bahwa itu salah.”

Kesadaran tersebut muncul setelah Yiyin mengikuti seminar “Anti-Corruption Parenting” yang diselenggarakan oleh 123Education4kids di SDN Sabang, Jalan Sabang Bandung pada awal Desember 2015.

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Antikorupsi Internasional yang diinisiasi oleh Konsorsium Komunitas Festival Antikorupsi 2015 dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam Anti Korupsi Parenting, sekitar 40 orang tua yang hadir mendapatkan materi tentang pola asuh yang baik dan nilai 9+1 integritas yaitu kejujuran, kepedulian, kemandirian, tanggung jawab, kerjasama, kesederhanaan, keberanian, keadilan dan kesabaran. Nilai-nilai tersebut diyakini dapat mencegah terjadinya korupsi.

Para orang tua yang semuanya ibu-ibu terlihat antusias mengikuti seluruh kegiatan pelatihan yang difasilitasi oleh Iip Fariha. Iip menyampaikan materi melalui games, diskusi dan video sehingga pelatihan bertajuk “Menabur Benih Integritas” ini menarik.

Iip mengatakan tujuan dari pelatihan ini adalah agar para orang tua menyadari bahwa pola asuh akan mempengaruhi perkembangan anak, terutama dalam pembentukan akhlak anak.

“Yang terpenting ada di sana wawasan (mengerti) bahwa masalah korupsi besar itu berkaitan dengan unit terkecil di rumah, dari hal-hal sederhana di rumah, seperti meminjam barang atau meminta izin untuk menggunakan sesuatu,” jelas Iip yang juga seorang psikolog.

Menurut perempuan berkacamata itu, tindakan korupsi yang dilakukan seseorang merupakan akhir dari pendidikan yang ia terima sejak kecil. Bisa jadi, ada kesalahan dalam pendidikan yang diberikan orang tuanya. Oleh karena itu, para orang tua peserta Anti Korupsi Parenting mendapatkan materi tentang pendidikan yang layak.

Iip menjelaskan ada empat pola asuh yang pertama kali dikembangkan oleh Diana Baumrind pada tahun 1967, yaitu pola asuh otoritatif, otoriter, permisif, dan lalai. Berikut penjelasannya;

Pola asuh yang otoritatif

Orang tua yang menerapkan pola asuh ini adalah orang tua yang hangat, rasional, mengutamakan kepentingan anaknya, namun tidak segan-segan mengontrolnya.

Orang tua tipe ini juga realistis terhadap kemampuan anaknya, dan tidak terlalu berharap yang melebihi kemampuan anaknya. Pola asuh seperti ini akan menghasilkan ciri-ciri anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, memiliki hubungan yang baik dengan teman, dapat mengatasi stress, memiliki minat terhadap hal-hal baru dan bergaul dengan orang lain.

Pola asuh seperti ini dapat menghindari perilaku koruptif.

Pola asuh otoriter

Tipe ini kebalikan dari otoritatif. Orang tua otoriter cenderung menetapkan standar mutlak yang harus diikuti, biasanya diikuti dengan ancaman. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum jika anak tidak mau melakukan apa yang dikatakannya. Komunikasi biasanya satu arah.

Pola asuh otoriter akan menghasilkan ciri-ciri anak yang pemalu, pendiam, introvert, tidak berinisiatif, suka menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan pendiam, pemalu dan kurang percaya diri untuk mencoba hal baru. hal-hal.

Pola asuh yang permisif

Pola asuh seperti ini memanjakan anak dan memberikan pengawasan yang sangat longgar. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak ketika anak dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka.

Namun, orang tua tipe ini biasanya hangat sehingga sering disukai oleh anak-anak. Pola asuh yang permisif akan menghasilkan karakteristik anak yang impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, berpendirian keras, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial.

Keturunan yang ditinggalkan

Orangtua tipe ini umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim kepada anaknya. Biasanya dilakukan oleh orang tua yang bekerja. Ibu yang depresi biasanya juga tipe ini. Mereka tidak dapat memberikan perhatian fisik atau psikologis kepada anak-anak mereka.

Pola asuh yang lalai akan mencirikan anak yang apa adanya mudah marahimpulsif, agresif, tidak bertanggung jawab, keras kepala, rendah diri, sering bolos sekolah dan bermasalah dengan teman.

Materi tentang parenting juga diberikan kepada 30 guru SD yang mengikuti acara Parenting Antikorupsi untuk guru. Seorang peserta, Nita Suherneti, mengatakan materi pelatihan ini melengkapi para guru dalam memberikan pendidikan antikorupsi kepada siswanya.

Kesembilan nilai integritas tersebut sebenarnya termasuk dalam pendidikan karakter yang sudah masuk dalam kurikulum sejak tahun 1994.

“Materinya bagus karena kami libatkan anak-anak, sehingga sembilan nilai integritas bisa diterapkan di sekolah. Benang merahnya sangat kuat dengan pendidikan budi pekerti luhur yang diberikan sejak tahun ’94,” ujar Nita.

Menurut Nita, kegiatan seperti ini harus diadakan setiap tahun menjelang peringatan Hari Antikorupsi, apalagi ada kegiatan yang melibatkan anak-anak.

“Harapan saya tidak hanya kadang-kadang. Walikota juga harus mengeluarkan peraturan (peraturan walikota) agar sekolah memiliki kekuatan untuk membangun karakter. Tahun depan kegiatan seperti ini bisa diadakan lagi, jadi perayaannya tidak hanya tahun ini saja,” ujar Nita.

Koordinator Program Konsorsium Komunitas Festival Antikorupsi 2015, Permata Andhika Rahardja mengatakan, keterlibatan orang tua, guru dan anak menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam kampanye nilai integritas 9+1.

bicara Persoalan nilai integritas yang paling utama dalam keluarga tidak hanya anak dan orang tua, tetapi juga lingkungan terdekat yaitu sekolah dan guru, sehingga bersifat holistik. Jadi nilai-nilai itu bisa dibagi,” kata Permata.

Keterlibatan ketiga pihak inilah yang diharapkan dapat menyemai benih integritas dan bukan benih korupsi. —Rappler.com

BACA JUGA:

Result Sydney