• November 25, 2024

Kicak, kue khas Ramadhan warisan Nenek Wono

Kicak hampir bisa ditemukan di setiap penjual kue di pasar sore Ramadhan di Gang Kauman, Yogyakarta

YOGYAKARTA, Indonesia – Malam itu, gang kecil di Jalan KH Ahmad Dahlan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta mulai dipenuhi banyak pengunjung. Di gang yang dikenal dengan nama Kauman, puluhan penjual kue dan makanan berbeda berkumpul sebelum buka selama Ramadhan.

Salah satu jajanan khas yang paling banyak dicari adalah Kicak. Kue warisan Mbah Wono kini bisa ditemukan hampir di setiap penjual kue di pasar sore Ramadhan di Gang Kauman.

“Kicak sudah ada sejak kecil. “Dulu ibu saya membantu Mbah Wono membuat kicak, berjualan kicak, dan makanan lainnya,” kata Sidar, pembuat kue kicak di kediaman mendiang Mbah Wono, Kamis 1 Juni.

Wanita paruh baya itu bersama ketiga rekannya mulai membuat aneka kue dan makanan dari dini hari hingga siap membeli sekitar pukul 15.00 WIB setiap harinya. Setidaknya ada 20 jenis makanan yang dimasak Sidar dan ketiga rekannya. Tak lupa, anak Mbah Wono pun mengikuti jejak ibunya dalam membuat kue. “Itu sudah diwariskan dari generasi ke generasi. “Mula-mula Mbah Wono yang melakukannya, lalu yang lain ikut-ikutan melakukan tendangan,” ujarnya.

Kue kicak terbuat dari bahan dasar ketan, kelapa parut, santan dan irisan nangka. Rasa manis dan asinnya tidak berlebihan. Tekstur ketan matang yang dibalut kelapa parut terasa lembut di lidah.

Tidak ada yang tahu pasti kapan Mbah Wono mulai membuat kicak. “Seingat saya, tahun 1986 sudah ada kicak, saya sudah di sini. Kemudian pasar Tiban (pasar Ramadhan) baru muncul pada tahun 1995. Kicak hanya dijual saat Ramadhan karena rasanya manis, sehingga laris manis saat puasa,” ujarnya.

Sidar memasak di rumah yang sama. Rumah berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu di Gang Kauman. Rumah tersebut merupakan rumah Mbah Wono yang meninggal tiga tahun lalu di usia 81 tahun. “Anak itu sengaja diam di sini dan tidak bergerak,” ujarnya.

Mbah Wono menikah dengan seorang mantri atau dokter yang bekerja di RS PKU milik ormas Muhammadiyah, tak jauh dari Malioboro. Mbah Wono sehari-hari berjualan makanan di kediamannya. Pelanggannya sebagian besar adalah perawat, dokter, komandan dan pegawai rumah sakit. Dulu, jajanan manis seperti Kicak dan Wajik paling digemari saat Ramadhan.

“Dulu ada juga ketupat, tapi sekarang tidak karena kalah dengan kue lainnya. Nama kicak itu berasal dari mana saya tidak tahu. Dulu Mbah Wono lupa kalau ditanya namanya berasal dari mana, lanjutnya.

Tradisi berjualan kicak masih berlanjut hingga saat ini. Bedanya, jika dulu seluruh proses memasak kicak dilakukan oleh Mbah Wono dan anak-anaknya, kini sebagian bahannya disediakan oleh pembuat kue lain.

“Kamu beli jadah (ketan) dari penjual jadah, sekarang kamu tidak kuat lagi membuat jadah sendiri. Rata-rata, antara 10 dan 15 kilogram jadah dikonsumsi per hari. Namun kelapa parut kami tetap berbeda dengan yang lain. “Kelapa di sini dimasak dulu,” ujarnya.

Obrolan populer

BERLEBIHAN.  Suasana pasar Ramadhan Kauman, Yogyakarta.  Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Setelah pasar Ramadhan muncul, kicak tak hanya dijual oleh penerus Mbah Wono. Banyak pedagang lain yang mulai meramaikan pasar Ramadhan dengan kicauannya masing-masing. Supangat merupakan salah satu penjual yang berasal dari Gamping, Sleman. Selama lima tahun terakhir, perempuan berusia 53 tahun ini juga berkicau hingga berjualan di lapaknya.

“Pertama saya beli, lalu saya makan, lalu saya mulai membuat kicak,” kata perempuan yang sudah 25 tahun berjualan berbagai makanan ini. Berbeda dengan kicak yang ada di warung Mbah Wono, kicak Supangat ini dibungkus dengan kotak plastik. Namun rasanya serupa, manis dan gurih. Rata-rata Supangat bisa menjual kicak hingga 50 porsi per hari dengan harga Rp 2.000 per porsi.

Hingga saat ini Kauman dianggap sebagai pusat kicak. Meski bisa ditemukan di tempat lain, namun belum lengkap rasanya jika tidak membelinya di Kauman. Pembelinya bukan hanya umat Islam yang sedang berpuasa. “Saya suka setiap Ramadhan karena saya bisa membeli kicak di sini. Padahal saya tidak puasa,” kata Wiwid, perempuan paruh baya yang tinggal tak jauh dari Kauman. Wiwid mengaku menyukai rasa manis kicak dan hidangan lain yang tidak didapatnya di luar Ramadhan.

“Ada garangasem, ayam yang dibumbui santan. Ini masakan Jawa Timur, tapi di sini juga tersedia. “Rasanya juicy dan pedas,” kata Wiwid. Sore itu ia membeli lima bungkus kicak dan berbagai lauk pauknya dari warung Supangat.

OVEN DAN ARANG.  Proses memasak di kediaman Mbah Wono menggunakan kompor dan arang.  Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Tidak hanya dari seluruh Yogyakarta, pembeli kicak juga datang dari luar provinsi. Seperti Silvi, pembeli asal Surabaya yang datang ke Kauman khusus membeli kicak. “Saya membacanya di koran jadi saya penasaran. “Saya ke sini mencari burung penyanyi,” kata Silvi yang berada di Yogyakarta untuk menjenguk anaknya. “Ngomong-ngomong, anakku kuliah di sini, jadi aku mencari kicauan,” lanjutnya.

Banyaknya penjual tendangan baru tidak membuat anak-anak keturunan Nenek Wono resah. Mereka terus berjualan makanan untuk meneruskan warisan Nenek Wono. Cucu Nenek Wono berjualan kicak berdampingan dengan penjual kue lainnya di Pasar Kauman.

Kado istimewa bagi jurnalis Yogyakarta yang ingin mencoba Kicak langsung dari warisan Mbah Wono. Menggunakan Kode Promo UBER untuk membuat perjalanan lebih terjangkau!

—Rappler.com

Baca juga artikel Yummy Ramadan lainnya:

link sbobet