• October 12, 2024

Kisah anak muda Tiongkok memasuki bisnis ‘e-commerce’ di Indonesia

JAKARTA, Indonesia – Pertumbuhan jumlah pengguna Internet di Indonesia ikut melambungkan industri ini perdagangan elektronik. Bagaimana tidak, berdasarkan data Sendiri, jumlah pengguna Internet di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.

Pada tahun 2015, dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, terdapat 93,5 juta pengguna internet. Bahkan diprediksi angka tersebut akan terus melonjak hingga di atas 102 juta orang pada tahun 2016. Apalagi, separuh pengguna internet di Indonesia berusia di bawah 30 tahun.

Hal serupa juga diakui oleh dua CEO rintisan perusahaan teknologi di Indonesia yaitu Joseph Aditya dan Ryan Gondokusumo yang ditemui Rappler di tempat dan waktu berbeda.

CEO Sribu, Sribu Lancer & Halo Diana, Ryan Gondokusumo,mengatakan masyarakat di Indonesia kini sudah teredukasi dan sadar akan hal itu perdagangan elektronikApalagi setelah brand besar seperti Zalora dan Lazada masuk ke Tanah Air.

“Namun, bukan berarti ketika pasar sudah lebih siap, kita bisa menjalankan bisnis ini dengan mudah. Dibutuhkan teknik khusus saat berjualan on line,” kata Ryan yang ditemui Rappler di kantornya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat malam, 5 Februari.

Sementara itu, CEO Ralali.com Joseph Aditya menilai bisnis tersebut perdagangan elektronik Indonesia akan menjadi lebih cerah dalam 5-10 tahun ke depan.

Namun untuk bisa mengembangkan pasar perdagangan elektronik, masyarakat di Indonesia tidak hanya bisa melihat dari sudut pandang jual beli di dunia maya saja, namun bagaimana industri ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara. Hal ini, kata Adit, juga terjadi di China dan India.

Kedua wirausahawan ini adalah potret pemuda Tionghoa yang sukses di Indonesia. Terlahir sebagai orang Tionghoa bukan lagi sebuah wabah di Indonesia. Bahkan, Ryan dan Aditya mengaku tidak pernah mengalami diskriminasi saat memulai bisnis ini, hanya karena keduanya keturunan Tionghoa.

Bersemangatlah untuk melihat peluang

Ryan dan Aditya punya cerita unik saat memulai bisnis perdagangan elektronik. Konsep bisnis keduanya bermula dari kecerdikannya melihat peluang.

Awalnya Ryan merilis produk pertamanya yaitu www.sribu.com dari cerita kantornya saat itu yang membutuhkan desain kalender. Dia menggunakan tim desainer di kantornya. Namun setelah desainnya selesai, bos Ryan tidak puas dengan hasilnya.

Akhirnya ia terpikir untuk mencoba membuat lomba desain kalender di media sosial dengan hadiah berupa telepon genggam. Hasilnya di luar ekspektasi, dalam tujuh hari ia mendapatkan lebih dari 300 desain kalender. Dari situlah ia kemudian berpikir untuk berbisnis dan mengembangkan ide tersebut. Jadi, www.sribu.com resmi diluncurkan pada pertengahan tahun 2011.

“Di website Sribu, pelanggan bisa memesan desain logo, brosur dan sejenisnya. Kemudian mereka dapat memilih paket yang tersedia. “Setelah pembayaran, desain akan dilelang dan dikerjakan oleh komunitas Sribu,” jelas Ryan.

Hasilnya, klien akan menerima banyak masukan pada desain dengan satu harga. Untuk desain yang dipilih oleh pelanggan, ia berhak menerima dana untuk proyek tersebut. Untuk paket logo, kata Ryan, dibanderol mulai dari Rp 2,5 juta.

“Desainer yang desainnya terpilih berhak mendapatkan dana sebesar Rp 2,5 juta,” ujarnya.

Setelah diluncurkan pada tahun 2011, responnya sangat positif. Rupanya, Sribu saat ini telah menangani lebih dari 4.000 pelanggan. Sementara jumlah desainer yang tergabung dalam komunitas Sribu mencapai 60 ribu orang.

Sribu awalnya hanya menangani proyek UMKM namun kini memberikan layanan merek layanan internasional seperti DHL dan Baidu.

“Pesanan desain tidak hanya datang dari Indonesia, tapi juga luar negeri. “Total pesanan dari 50 negara sudah kami tangani, meski masih ada lagi permintaan desain dari pelanggan dari Indonesia,” ujar pria berkacamata itu.

Dari website jasa desain produk, Ryan kemudian melebarkan sayapnya dengan meluncurkan produk www.sribulancer.com. Konsep produknya adalah membantu klien mencari freelancer dari berbagai bidang mulai dari jurnalis, editor, ilustrator, entri data, dan lain-lain. Para freelancer ini hanya perlu mendaftar di situs Sribulancer secara gratis.

“Nantinya mereka bisa bersatu menawarkan proyek yang dipresentasikan oleh klien,” kata Ryan.

Jika proyek sudah selesai, klien dan freelancer bisa sama-sama mengevaluasinya dengan memberi bintang. Semakin banyak bintang yang dimiliki seorang freelancer, semakin banyak nama mereka yang akan muncul di daftar teratas ketika pitching proyek selesai.

Pelanggan juga dapat dievaluasi tetapi tidak diungkapkan ke situs. Setelah berjalan 1,5 tahun, Sribulancer pun semakin berkembang. Kini mereka memiliki 50 ribu freelancer dan ribuan klien.

Dari Sribulancer, Ryan kemudian meluncurkan produk ketiga pada September 2015 bernama Halo Diana. Melalui website www.halodiana.com pelanggan bisa meminta dan menanyakan apa saja, seperti meminta bantuan asisten pribadi.

Produk ini dimulai dari kategori bantuan swasta yang ada di website Sribulancer. Saat dievaluasi, jenis pekerjaan yang dilakukanmenawarkan pelanggan yaitu membeli kopi dan tiket bioskop. Di sana naluri bisnisnya mengatakan bahwa pertanyaan ini bisa ditanggapi serius oleh produk lain.

Alhasil, hanya empat bulan setelah situs Halo Diana diluncurkan, pesanan sudah mencapai 20 ribu. Agen Diana dapat menjawab pertanyaan melalui pesan singkat. Namun, permintaan untuk layanan tertentu diteruskan aplikasi seluler.

“Untuk pertanyaan seperti beli kado ulang tahun di mana, pelanggan tidak dikenakan biaya. “Tapi kalau mereka minta beli sesuatu, kita tagih di sana,” kata Ryan.

Ia mengaku tidak pernah ada pertanyaan atau permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh Diana. Sebab, mereka telah bermitra dengan 40 pemasok.

Dengan suksesnya pengelolaan tiga produk tersebut, nama Ryan pun dilirik investor East Ventures. Mereka pun menggelontorkan uang untuk pengembangan bisnis Ryan, namun dengan nominal yang tidak bisa diungkapkan.

Diakuinya, pengelolaan ketiga produk tersebut tidak terlalu sulit. Karena sudah ada bagian tim untuk setiap produknya.

“Total anggota tim untuk ketiga produk tersebut berjumlah 38 orang. “Untuk produk Sribu dan Sribulancer sudah ada tim khusus, jadi saya bisa lebih fokus pada pengembangan Halo Diana,” ujarnya.

Berbeda dengan kisah Aditya yang mulai terbentuk pasar B2B untuk alat industri bernama Ralali.com. Ia mendirikan Ralali pada tahun 2013 dengan menjual barang MRO (pemeliharaan, perbaikan dan pengoperasian).

“Awalnya kami hanya terpikir untuk mengumpulkan barang-barang MRO dan menghubungkannya dengan dunia industri yang membutuhkannya,” kata Aditya yang ditemui di salah satu kafe kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 4 Februari.

Dengan motto “Mudah untuk melakukan bisnis“Pasar merespon baik kehadiran Ralali.com. Hal ini tidak lepas dari koneksi yang dimiliki Aditya setelah menjadi pemasok ke instansi pemerintah dan industri selama 10 tahun.

“Peluang di bidang ini sangat besar karena belum banyak orang yang menggarapnya. Yang membedakan kami dengan situs serupa adalah target pasar kami bisnis ke bisnis (B2B) dan jenis produk yang ditawarkan,” jelas Aditya.

Bisnis yang dirintis Aditya ini dinilai sukses bahkan menarik investor dari Beenos Plaza dan CyberAgent Ventures untuk menggelontorkan dana senilai US$2,5 juta atau setara Rp34 miliar. Jumlah karyawannya pun bertambah, dari empat orang menjadi 150 orang.

Perlu insentif dari pemerintah

Baik Aditya maupun Ryan sepakat jika ingin industri ini maju maka perlu insentif dari pemerintah. Adit mengatakan di beberapa negara maju, industri berbasis teknologi mendapat dukungan dari pemerintah. Pelaku industri mendapatkan dana dan tidak dikenakan pajak.

“Sementara di Indonesia, perdagangan elektronik Sebaliknya, mereka ingin mengaturnya dalam peraturan pemerintah (PP) yang sebenarnya memungut pajak dari para pelaku industri. “Di negara lain, pemerintah hanya mengambil kebijakan agar ada transparansi di dunia siber,” jelas Aditya.

Artinya sebelum melakukan transaksi, pelanggan harus diberikan informasi yang jelas tentang produk atau jasa yang ditawarkan dalam sebuah website.

Sementara itu, Ryan mengatakan jumlahnya semakin banyak rintisan di lapangan perdagangan elektronik dapat berdampak pada pertumbuhan perekonomian suatu negara. Semakin banyak lapangan kerja yang tercipta, otomatis tingkat kejahatan pun akan menurun.

“Sebenarnya untuk memulai bisnis ini, kami sebenarnya lebih banyak kendala. Pemerintah mempertimbangkan bisnis on line adalah sesuatu yang seksi dan banyak uang. Padahal, marginnya sudah tipis dan kena pajak juga, keluh Ryan.

Orang Tiongkok juga bisa melakukannya

Terlahir sebagai bagian dari komunitas Tionghoa tidak menyurutkan semangat Aditya dan Ryan untuk merintis usaha di bidang tersebut perdagangan elektronik. Bagi keduanya, ketika berbisnis di bidang yang melibatkan teknologi, perbedaan sudah tidak terlihat lagi. Artinya siapa pun, termasuk orang Tionghoa, bisa memulai bisnis di bidang tersebut perdagangan elektronik.

Keduanya pun mengaku tidak mendapat perlakuan diskriminatif hanya karena berkewarganegaraan Tiongkok.

“Saya merasa beruntung karena pelanggan Sribu cukup baik membuka. Mereka tidak memperhatikan latar belakang saya,” kata Ryan.

Jadi apa pendapatnya mengenai sentimen negatif yang terus dialami Tiongkok? Ryan menjawab, butuh waktu untuk mengedukasi masyarakat.

“Saya tidak bisa bilang 100 persen semua ras di Indonesia sudah bercampur, tapi kalaupun hidup terlalu terkotak-kotak, tidak akan berkembang,” kata Ryan yang mengaku tidak punya ritual khusus saat Imlek. Perayaan tahun.

Sementara itu, Aditya mengaku tak peduli jika disebut sebagai Tionghoa atau keturunan Tionghoa. Dalam benaknya, Aditya masih menganggap dirinya adalah warga negara Indonesia.

itu tidak masalah orang-orang memanggilku apa saja. Karena saya tidak bisa memilih di keluarga mana saya akan dilahirkan. “Kalaupun ke luar negeri, saya tetap disebut orang Indonesia,” kata Aditya.

Ia menjelaskan, perayaan Tahun Baru Imlek merupakan hal yang cukup besar di keluarganya. Mirip dengan Idul Fitri. Oleh karena itu, sejak akhir pekan kemarin, ia kembali ke kampung halamannya di Semarang untuk bertemu dengan keluarganya.

“Karena saya juga sudah menikah, biasanya saya kasih angpao. “Tahun baru Imlek mirip Idul Fitri, hari pertama berkumpul bersama keluarga, selebihnya digunakan untuk liburan,” ujarnya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Keluaran Sidney