Kisah Awal Penerapan UU Penodaan Agama
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Pasal 156 a KUHP atau lebih dikenal dengan pasal penodaan agama kembali menjadi sorotan usai sidang Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Presiden Sukarno awalnya mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 untuk meredam konflik sosial antara warga konservatif dengan masyarakat tidak beragama, beriman, dan ateis.
Dalam laporan Human Rights Watch (HRW) bertajuk “Atas Nama Agama”, perseteruan antara kalangan konservatif dan penganut paham mistik – salah satunya Sunda Wiwitan – berada pada titik tertinggi sepanjang masa sejak awal tahun 1960-an. Ajaran ini dianggap Islam yang lembut.
Saat itu banyak bermunculan tindakan-tindakan sektarian yang melanggar hukum, memecah belah persatuan bangsa, dan merugikan agama. Kalangan Muslim konservatif kemudian membujuk Sukarno untuk bertindak.
Akhirnya pada tanggal 27 Januari 1965, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang melarang setiap orang melakukan pelecehan agama atau ikut serta dalam penodaan agama. Tak hanya itu, ia juga menyatakan bahwa pemerintah akan mengatur aliran keagamaan dan memberikan hukuman maksimal 5 tahun penjara terhadap orang yang berniat “tidak menganut agama apapun yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa”.
“Dari sinilah lahirlah 6 agama resmi,” kata Usman.
PNPS ini disahkan menjadi undang-undang pada era Soeharto. Pasal ini disebut-sebut hanya melindungi enam agama mayoritas dari penodaan.
Perubahan fungsi
Pada masa Orde Baru, penggunaan undang-undang ini lebih banyak diubah untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berpendapat. Namun, ia sendiri menikmati manfaat pasal penistaan tersebut, sebagai pembenaran atas pembantaian tahun 1965.
Menurut Usman, ruang sempit yang diberikan kepada pemeluk agama minoritas, keyakinan, dan ateis semakin mengecil. Citra anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikaitkan dengan ateisme menjadi pembenaran bahwa orang-orang tersebut pantas dibunuh. Namun, hal ini tidak terjadi.
Setelah Soeharto lengser, Usman melihat minat masyarakat terhadap agamanya semakin meningkat. Data SETARA Institute menunjukkan jumlah kasus meningkat drastis. Jika sebelum reformasi hanya tercatat 9 kasus, maka pasca reformasi jumlahnya melonjak menjadi 88 kasus hingga tahun 2017.
Saat ini sudah ada 6 orang yang ditahan atau dipenjarakan akibat pasal 156 a. Mereka adalah Ahok, Otto Rajasa, Andrew Handoko Putra, Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis, dan Andry Cahya. (BA: Mereka yang terjerat pasal penistaan agama)
Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani menjelaskan mengapa isu keagamaan ini semakin membuahkan hasil. Pertama, karena adanya kekuatan ketiga yang tidak mempunyai kekuatan politik, namun bertumpu pada demokrasi dan badan-badan yang ada.
“Kekuatan ketiga ini tidak punya modal politik kecuali agama,” ujarnya.
Gerakan mereka dibarengi dengan upaya politik untuk mencapai keseragaman atas nama moralitas. Mereka yang berbeda pandangan dan keyakinan akan langsung dicap tidak bermoral dan sesat. Parahnya lagi, Anda akan dijerat pasal 156 a tentang penodaan agama jika berpendapat berbeda.
Persoalan suku, agama, dan ras seringkali menyebabkan emosi seseorang menjadi tinggi dan rasionalitas menjadi kabur, sehingga dukungan buta pun mudah didapat. Salah satu contohnya terlihat pada Pilkada DKI Jakarta lalu, isu SARA marak dimainkan.
“Jangan kaget kalau ada yang mengungkit masalah agama. “Karena mereka yang beragama minoritas sangat mudah menjadi sasaran,” kata Usman.
Situasi ini semakin diperburuk dengan banyaknya pemimpin agama yang menyebarkan eksklusi terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan, gender, dan seksualitas. Agama yang seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman, malah menjadi sumber diskriminasi.
“Ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup besar, dimana setiap orang bisa mendapatkan tempat yang nyaman dalam beragama. “Banyak tokoh agama juga yang menyebarkan keseragaman yang semakin tidak memberikan ruang bagi mereka,” ujarnya.
Eliminasi
Peneliti Indonesia Legal Resource Center (ILRC) Siti Aminah Tardi mengatakan, beberapa kejadian belakangan ini semakin menegaskan pentingnya penghapusan pasal tersebut karena adanya perubahan fungsi. Kasus penghinaan agama tidak harus bersifat pidana, melainkan perdata.
Atau yang sifatnya mendamaikan, kata Siti.
Belakangan ini, pasal tersebut tidak lagi bertujuan untuk melindungi agama atau Tuhan, melainkan untuk membenarkan perasaan tersinggung seseorang. Pasal ini juga mengakomodasi kelompok massa tertentu dalam mencapai tujuannya.
Hasil riset lembaganya menunjukkan, kasus-kasus yang berakhir pada kasus pidana seringkali dibarengi dengan aksi massa yang masif. Jika tidak ada, penyelesaiannya cenderung di luar pengadilan.
Belum lagi, pasal-pasal yang bersifat preventif atau peringatan juga tidak lagi diberlakukan. Padahal, nama asli PNPS adalah ‘Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama’. Pasal 2 PNPS Tahun 1965 menyebutkan, langkah pertama yang dilakukan adalah mendapat peringatan keras dalam keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Usman juga mengatakan Indonesia telah mengadopsi Kovenan Hak Sipil dan Politik yang melindungi ekspresi seseorang.
“Perjanjian ini melindungi entitas nyata, yaitu masyarakat. “Tidak abstrak seperti ide atau simbol,” ujarnya.
Pada dasarnya suatu undang-undang harus dimulai dari hak asasi manusia, dimana keselamatan dan perlindungan hak seseorang menjadi kriteria utamanya. – Rappler.com