Kisah bayi Deborah yang ditolak berobat ke rumah sakit karena tidak punya uang
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Kisah warga kurang mampu yang kesulitan mendapatkan fasilitas yang layak kembali terulang. Henny Silalahi kehilangan bayinya Tiara Debora yang baru berusia 4 bulan karena tidak diberikannya bantuan pihak rumah sakit pada Minggu, 3 September dini hari sekitar pukul 09.30 WIB.
Kisah bayi Debora ditulis Birgaldo Sinaga di media sosial pada Jumat 8 September. Birgaldo mengaku sudah bertemu langsung dengan Henny dan punya bukti bahwa cerita keluarga itu benar adanya.
Berikut rekaman video kesaksian Birgaldo Henny:
Debora dilarikan ke rumah sakit karena tiba-tiba mengalami sesak napas. Dia juga batuk berdahak. Khawatir terjadi sesuatu, Henny membangunkan suaminya dan memintanya untuk membawanya ke rumah sakit.
Naik tumpangan dari rumah sakit, Henny dan Debora memberanikan diri menyusuri udara dingin ibu kota menuju RS Mitra Kalideres. Wajah Baby Deborah terlihat semakin pucat sehingga Henny meminta suaminya segera tancap gas.
Sekitar pukul 03.40 WIB, Henny dan suaminya tiba di rumah sakit. Mereka juga meminta petugas medis segera memberikan pertolongan.
“Langkah-langkah darurat telah diterapkan. Baby Debora memeriksakan suhu tubuhnya. “Kemudian diberikan penguapan untuk mengencerkan lendirnya,” tulis Birgaldo.
Selama pemeriksaan dilakukan, ayah Debora, Rudianto, diminta mengurus administrasi pasien. Setelah dilakukan pemeriksaan awal, dokter mengatakan agar Debora segera dibawa ke ruang PICU. Apalagi kondisinya semakin parah.
Rudianto dan Henny mengangguk cemas. Dokter kemudian menyarankannya untuk segera pergi ke bagian administrasi.
Betapa terkejutnya Rudianto saat menyerahkan formulir berisi uang muka Rp 19,8 juta.
“Permisi Pak. Anda harus membayar uang muka sebesar Rp 19,8 juta agar anak Anda bisa masuk PICU,” kata petugas administrasi bernama Ifa.
Rudianto kemudian menyampaikan kepada petugas administrasi bahwa mereka memiliki fasilitas kartu BPJS.
“Tolong masukkan dia ke PICU dulu. “Selamatkan anak-anak kami,” kata Rudianto.
Namun petugas administrasi menolak kartu BPJS yang ditawarkan Rudianto dengan alasan rumah sakit tersebut belum memiliki fasilitas kerja sama dengan BPJS.
“Tolong selesaikan uang mukanya terlebih dahulu agar anak Anda bisa segera masuk ke ruang PICU,” kata petugas administrasi lainnya bernama Tina.
Henny kemudian meminta suaminya segera pulang dan mengambil uang yang dimilikinya. Sayangnya, setelah mengambil uang di mesin ATM, mereka hanya punya uang Rp 5 juta. Rudianto ingin meminjam uang ke tetangga dan kerabatnya, namun saat itu tidak ada orang yang bersedia.
“Tapi, maaf Pak. “Itu (uangnya) masih kurang dari uang muka PICU,” kata Tina lagi.
Rudianto kembali menghimbau rasa kemanusiaan petugas administrasi. Dia berjanji akan mencari sisa defisit tersebut ke pihak lain.
Tina kemudian menghubungi pimpinannya dan sayangnya lamaran Rudianto juga ditolak.
“Maaf pak, bos saya tidak mengizinkan anak bapak ditempatkan di ruang PICU sampai bapak menyelesaikan uang muka. “Saya kembalikan lima jutanya,” kata Tina.
Rudianto dan Henny bingung dengan reaksi pihak rumah sakit. Alhasil, Henny meminta bantuan rekan-rekannya. Ada beberapa teman yang merespon dan mengatakan ada ruang PICU di RS Koja. Sayangnya, sebelum Debora dirujuk ke RS Koja, kondisinya semakin parah hingga ia menghembuskan nafas terakhir.
Situasi ini membuat Henny semakin terpukul. Apalagi yang meninggal adalah anak kedua mereka.
Penjelasan rumah sakit
Kisah yang ditulis Birgaldo akhirnya menjadi viral dan menjadi perbincangan publik. Lebih dari 20 ribu orang berbagi kisah bayi Deborah yang meninggal karena tidak mendapat perawatan memadai dari rumah sakit.
RS Mitra Keluarga akhirnya memberikan klarifikasi melalui pernyataan tertulis. Perwakilan rumah sakit mengatakan Deborah tiba di sana dalam keadaan tidak sadarkan diri dan tubuhnya tampak membiru. Pasien tersebut, kata pihak rumah sakit, memiliki riwayat kelahiran prematur, penyakit jantung bawaan (PJK), dan gizi buruk.
Pemeriksaan menunjukkan nafas berat dan dalam, banyak lendir, saturasi oksigen sangat rendah, denyut nadi 60 kali per menit, dan suhu tubuh 39 derajat Celcius, kata manajemen rumah sakit.
Mereka membantah membiarkan kondisi Debora semakin buruk. Bahkan, tindakan penyelamatan jiwa yang dilakukan berupa penyedotan lendir, pemasangan selang ke dalam lambung dan intubasi, kemudian kantung (memompa oksigen dengan tangan melalui selang pernapasan), infus, suntikan obat, dan pengencer lendir.
“Pemeriksaan laboratorium dan radiologi segera dilakukan,” kata mereka.
Kondisi Deborah sedikit membaik meski kondisinya masih sangat kritis. Dokter kemudian menyarankan perawatan lebih lanjut di ruang ICU khusus.
Namun ibu pasien keberatan dengan biaya rawat inap, karena kondisi keuangannya.
“Ibu pasien mengaku memiliki kartu BPJS, sehingga dokter menawarkan bantuan kepada ibu pasien untuk merujuknya ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS, untuk melihat efisiensi dan efektivitas biaya perawatan pasien. Ibu pasien setuju,” kata mereka.
Meski RS Mitra Keluarga tidak menjelaskan alasan merujuk Debora ke tempat lain, namun mereka mengisyaratkan pihak rumah sakit tidak bekerjasama dengan BPJS.
Sayangnya, sekitar pukul 09.15 WIB, perawat melaporkan kondisi Debora semakin parah hingga akhirnya meninggal dunia.
“Setelah melakukan resusitasi jantung paru selama 20 menit, segala upaya gagal menyelamatkan nyawa pasien,” kata mereka.
RS Mitra Keluarga Kalideres mengimbau masyarakat tidak mudah menelan informasi tanpa memahami permasalahannya.
Namun pada dasarnya menolak pasien karena tidak mempunyai biaya bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1. Dalam undang-undang tersebut tertulis bahwa setiap pasien yang dalam keadaan darurat harus dirawat terlebih dahulu untuk mencegah kondisi tersebut. menjadi lebih kritis.
“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan untuk menyelamatkan nyawa pasien dan mencegah kecacatan.” itulah yang dikatakan artikel itu.
Jika demikian, siapa yang harus bertanggung jawab? – Rappler.com