
Kisah dibalik penahanan tiga tokoh Gafatar
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Penahanan mantan pimpinan Gafatar ini diprotes keras, karena dianggap berlebihan.
JAKARTA, Indonesia—Usai organisasinya dibubarkan, mantan pimpinan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) ini diburu. Mereka dipanggil dan dijadikan tersangka dengan tuduhan menghina agama dan makar terhadap pemerintah.
Polisi melakukan penangkapan pada Rabu malam, 25 Mei. Mereka ditahan di Mabes Polri. Mereka adalah Mahful Muis Tumanurung, Andri Cahya dan guru spiritual Ahmad Mosaddeq. Setelah ditahan, ketiganya ditetapkan sebagai tersangka.
Beberapa pekan sebelumnya, ketiganya sudah diperiksa sebagai saksi.
Penahanan ketiga tokoh ini langsung ditanggapi oleh salah satu kuasa hukumnya, Asfinawati.
“Penahanan terhadap ketiganya seharusnya tidak perlu dan berlebihan, karena tidak ada alasan mengapa mereka harus ditahan,” kata Asfi, Kamis, 26 Mei.
Klaim aneh penyidik polisi
Asfi mengatakan, ketiga tokoh tersebut dipanggil pada Rabu dini hari pukul 09.00 untuk diperiksa sebagai tersangka penodaan agama. Mereka kemudian datang ke Mabes Polri pada pukul 08.00.
Namun setelah diselidiki, pasal yang digunakan polisi bertambah. “Mereka digugat berdasarkan pasal 156A KUHP karena penodaan agama. Lalu sesampainya di sana, tiba-tiba ada pasal gangguan negara pasal 106 KUHP, ujarnya.
Asfi menambahkan, saat diperiksa, pertanyaan yang diajukan penyidik sama persis dengan pertanyaan yang diajukan saat ketiganya diperiksa sebagai saksi. Artinya ujian pertama adalah ujian agama. Ini penipuan,” katanya.
Selain itu, penyidik juga memasukkan kasus tahun 2007 yang telah diselesaikan secara hukum.
Saat itu, Ahmad Mosaddeq tergabung dalam organisasi aliran bernama Al Qiyadah Al Islamiyah.
Namun masyarakat tersebut akhirnya dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2007. Dari surat MUI nomor 4 tahun 2007 dijelaskan bahwa Al Qiyadah Al Islamiyah dinyatakan sesat karena adanya tambahan syahadat yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna tetap Al Mau’ud Rasul Allah.”
Dalam syahadat MUI disebutkan, Al Qiyadah mengakui keberadaan nabi atau rasul setelah Muhammad dinilai bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya.
Mossadeq kemudian diadili dan dipenjara pada tahun 2008 hingga 2011 bersama dua rekannya yang berasal dari Padang. Mereka dianggap melakukan penodaan agama terhadap agama Islam.
Menurut Asfi, perkara itu tidak perlu disebutkan lagi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sebab jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS (Keputusan Presiden) Tahun 1965, Mossadeq baru bisa didakwa jika mengulangi perbuatannya.
“Padahal Mossadeq setelah itu tidak melakukan kegiatan apa pun, juga bukan anggota Gafatar, hanya diundang dan sudah ada putusan pidana atas kasus itu, kenapa diminta lagi ke BAP?” dia berkata.
Asfi menambahkan, “Secara hukum, orang tidak bisa dihukum dua kali untuk pertanyaan yang sama. Kenapa kamu mengungkitnya lagi?”
Mengenai hal tersebut, Mossadeq mengatakan kepada salah satu pengacaranya, Fatiatulo Lazira alias Fati, bahwa dirinya tidak pernah aktif lagi di aliran Al Qiyadah Al Islamiyah atau Gafatar. Ia hanya diundang untuk memberi ceramah.
(BACA: Reinkarnasi Gafatar dari Masa ke Masa)
Polisi ingin memenuhi permintaan masyarakat
Sementara menurut Fati, terjadi perdebatan antara penasihat hukum dan penyidik saat penyusunan BAP.
Pengacara mempertanyakan mengapa tersangka terkesan terburu-buru padahal tidak cukup bukti.
“Mereka bilang di media sudah cukup bukti, dan karena kasus ini sudah mencuat ke publik dan menjadi konsumsi publik, apa pendapat publik jika tidak dilakukan penangkapan?” ucapnya menirukan polisi itu.
Setelahnya, ketiga tokoh tersebut langsung ditahan, hingga berita ini diturunkan. —Rappler.com
BACA JUGA