• July 6, 2025

Kisah Mahasiswa Transgender Meraih Kemenangan di Hari Raya Idul Fitri

YOGYAKARTA, Indonesia – Pagi itu adalah hari pertama Idul Fitri. Shinta Ratri mengenakan gamis, jilbab, dan kacamata hitam. Usai mengikuti salat Idul Fitri di kawasan Kotagede, Yogyakarta, Shinta dan sepeda motornya berangkat menuju makam mendiang ayahnya. Makam tersebut terletak tidak jauh dari rumah Shinta di Kotagede, yang juga merupakan tempat para transgender di Yogyakarta belajar agama Islam.

Di samping makam ayahnya juga terdapat makam kakek dan nenek Shinta. Di antara ketiga kuburan itu, Shinta duduk dan berdoa. Dalam sekejap, setelah menabur bunga dan menuangkan air, Shinta bangkit, berjalan menuju mopednya dan pulang.

Tak ada yang istimewa di rumah Shinta saat lebaran tiba. Rumah itu sunyi. Hanya ada beberapa toples kue di atas meja dan Shinta tetap tinggal disana.

“Kalau lebaran biasanya santri di sini pulang,” kata Nur Ayu, santri Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang tinggal persis di sebelah rumah Shinta.

Mulailah berdiri

Shinta mengatakan, ide pendirian pesantren ini muncul pasca bencana gempa di Yogyakarta pada tahun 2006. Saat itu, beberapa waria berkumpul di Yogyakarta dan mendoakan teman-teman transgendernya yang menjadi korban bencana.

Setelah itu para waria memutuskan untuk membentuk kajian pengajian rutin di bawah bimbingan KH Hamrolie Harun. Ia pernah mengajar seorang waria bernama Maryani dalam pengajian mujahadah al-Fattah di Desa Pathuk, Yogyakarta.

“Dia berbicara, “Ada ide pendirian pesantren transgender agar teman-teman transgender bisa belajar bersama, berdoa bersama dan memahami bagaimana Islam memandang kaum transgender,” kata Shinta.

Pondok pesantren ini resmi berdiri pada tanggal 8 September 2008 dan kini dipimpin oleh Maryani. sita. Saat ini kediaman Islam dibuka setiap Senin-Kamis.

Bersama notaris yang biasa membantu kelompok marginal, Suparyatun, ia dan Maryani mulai menyusun AD/ART, mengajukan izin pendirian pesantren transgender, dan mendaftarkan pesantren tersebut pada tahun 2011 ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Berkas-berkas resmi milik kediaman Islam masih dijaga oleh kediaman Islam Sita.

Ada tiga agenda di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, yakni pendidikan agama Islam bagi waria, edukasi masyarakat mengenai keberadaan waria melalui kegiatan sosial, dan advokasi kepada pemerintah. Kegiatannya beragam, mulai dari pengajian, salat berjamaah, diskusi, pentas seni, bakti sosial, hingga menggelar pemeriksaan kesehatan gratis.

Pada tahun 2014 Maryani meninggal dunia. Setelah itu, Shinta, mantan Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) 2010-2014, diangkat menjadi pimpinan pesantren oleh para santri waria. Kediaman Islam yang sebelumnya berada di kawasan Notoyudan pun berpindah ke rumah Shinta. (BA: Tadarus Al-Qur’an, ngabuburit ala santri waria Al-Fatah)

Di tengah bercerita, muncullah seorang wanita berkerudung di depan pintu, disusul oleh seorang pria berpeci hitam. Wanita dan pria itu membungkukkan badannya dihadapan Shinta.

“Itu anak saya yang saya angkat, umurnya tiga bulan, yang laki-laki itu suaminya,” kata Shinta.

Sore harinya, Shinta berjalan menemui tetangganya. Para tetangga di sekitar rumah menyambut Shinta dengan baik sebagai tamu.

“Kami mohon maaf sebesar-besarnya pak,” kata Shinta dalam bahasa Jawa.

Diskriminasi dan perlakuan kasar terhadap kaum transgender

Usai bersilaturahmi, Shinta pulang ke rumah dan bercerita tentang pesantren. Bagi Shinta, kehadiran kediaman Islam Waria Al-Fattah bagi para waria menjadi sebuah kebutuhan karena waria yang ingin beribadah biasanya tidak diterima di ruang publik.

“Contohnya Mbak Nur salat di masjid. Belakangan, saat dia berdiri, salah satu stafnya mengundurkan diri. Hal ini terjadi pada kaum waria, baik yang salatnya menggunakan sarung maupun mukena. “Makanya kami menawarkan ruang nyaman ini untuk belajar agama,” ujarnya.

Terlepas dari banyaknya perlakuan diskriminatif yang diterima, Pondok Pesantren Waria Al-Fattah mendapat dukungan dari organisasi masyarakat Islam Nahdlatul Ulama.

“Kita punya pembina dari NU, mereka sangat mendukung. Namun kami tidak ada hubungan dengan Muhammadiyah. “Mereka tidak mengecam atau mendukungnya,” jelas Shinta.

Para waria ini juga diperlakukan secara diskriminatif ketika ingin belajar atau mencari pekerjaan. Sikap tersebut muncul karena lingkungan sekitar yang tidak menerima mereka. Padahal, penerimaan terhadap kaum transgender merupakan hal yang paling mendasar.

“Ketika seorang waria diterima di sebuah keluarga, dia tidak akan putus sekolah, dia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, tidak berada di jalanan dan dekat dengan ‘dunia malam’. “Karena dampaknya tidak diterimanya waria, dia lari dari keluarga, lalu bekerja sekeras-kerasnya di luar negeri karena tidak punya keterampilan,” jelasnya.

Tak hanya itu, perempuan transgender kerap menerima pelecehan fisik dan verbal. Nur mengungkapkan, banyak waria juga mengalami kekerasan fisik. Misalnya waria yang mengunjungitiba-tiba seseorang menusuknya dan memukul kepalanya.

“Ketika mereka melakukan kejahatan seperti itu, mereka selalu menutup helmnya, menutup helmnya. Motifnya mungkin untuk curhat, kata Nur.

Berdasarkan penelitian Arus Pelangi pada komunitas Waria Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) tahun 2013, sebanyak 79,1% responden menyatakan pernah mengalami kekerasan psikis, 63,3% menyatakan mengalami kekerasan budaya, 46,3% menyatakan mengalami kekerasan fisik. . kekerasan, 45,1% mengatakan mereka pernah mengalami kekerasan seksual dan 26,3% mengatakan mereka pernah mengalami kekerasan ekonomi.

Akibat tindakan kekerasan yang mereka terima, 17,3% populasi LGBT berpikir untuk bunuh diri dan 16,4% populasi LGBT mencoba bunuh diri. Sedangkan ancaman kekerasan budaya justru datang dari keluarga dengan persentase 76,4% berupa penggusuran. Dalam penelitian tersebut juga ditulis bahwa kaum transgender paling banyak mengalami tindakan kekerasan seksual dibandingkan tiga kelompok lainnya.

“Pernah ada masalah bola. Gara-gara tim kesayangannya kalah, pelampiasannya jadi waria jalanan. Kita sebagai sahabat membantu dengan memberikan dukungan moril. Saya juga tinggal di jalanan. Kami, Itu dia, seolah-olah dianggap sebagai orang yang tidak berguna. “Kami terkadang diancam akan menggunakan senjata tajam untuk ‘melayani’ masyarakat,” ujarnya.

(BA: Sebuah Harapan di Pondok Pesantren Waria Yogyakarta)

Samar-samar terdengar suara lain dari kejauhan memanggil Shinta. Mereka adalah Jessi dan Yeti, dua sahabat Shinta yang juga seorang waria. Meski Jessi dan Yeti tidak merayakan Idul Fitri, mereka ingin berkunjung ke rumah Shinta untuk bersilaturahmi dan mengucapkan selamat Idul Fitri.

Sore itu, azan Maghrib terdengar jelas di ruang tamu rumah Shinta. Nur Ayu yang berperan sebagai juru masak di pesantren datang membawa mangkuk berisi ketupat, opor ayam, krecek, dan tahu.

Sementara Jessi, Yeti, dan Shinta asyik berbincang tentang keberadaan lima generasi dalam budaya Bugis, sejarah Nommensen di Medan, khotbah Quraish Shihab di Istiqlal, dan radikalisme. Di sisi lain, Nur justru menaruh perhatian serius pada layar ponselnya, seperti perilaku masyarakat kota saat ini. – Rappler.com

Togel Hongkong