• November 29, 2024

Kisah perjuangan hidup nenek Suparni yang mengaku berusia 117 tahun

YOGYAKARTA, Indonesia — Nenek Suparni dikenal sebagai orang tertua di lingkungannya. Warga Dusun Sadhang, Desa Tanjungharjo, Kecamatan Naggulan, Kabupaten Kulon Progo ini mengaku berusia 117 tahun.

Wanita ini memiliki empat cucu dari dua orang anak dan enam cicit. Ia tinggal bersama salah satu anaknya dan masih bekerja sebagai penjual berbagai macam pakaian di Pasar Wates. Selain itu, Suparni juga menghidupi dirinya dengan menganyam tali, membuat jamu dan wedang uwuh, serta berjualan gula merah.

Namun Suparni tak berani berjualan pakaian di sekitar Sadhang selama lebih dari seminggu terakhir karena banyak pembeli yang menyarankannya untuk tetap di rumah.

“Saya tidak suka dijodohkan, saya lebih suka bekerja, mencari uang di luar rumah.”

“Ada yang datang dari Jakarta dan meminta saya untuk tidak kemana-mana,” kata Suparni dalam bahasa Jawa saat Rappler berkunjung, Rabu, 12 Juli.

Pagi harinya, Suparni mengenakan kebaya berwarna kuning dan ujung jari berwarna coklat. Dia duduk di tepi tempat tidur kayu. Tangannya dengan cekatan memelintir pandan menjadi tali.

Postur tubuhnya tak lagi tegak, rambutnya memutih, tanpa ragu muncul kerutan di kulit kaki, tangan, dan wajahnya. Suparni mengaku mampu memintal hingga 15 helai tali dari 1 kilogram pandan kering. Sebuah tali dihargai Rp 8 ribu oleh pembuat tas yang membeli tali tersebut. Sedangkan Suparni membeli satu kilo pandan seharga Rp 10 ribu.

Siang harinya, seorang ibu muda memanggil Suparni keluar rumah. Suparni mengatakan, perempuan tersebut merupakan pengrajin gula kelapa. Menurutnya, gula kelapa memiliki kualitas terbaik dan asli dari olahan sari kelapa.

“Saya belinya Rp 19 ribu, saya jual Rp 20 ribu per kilo. Rasanya beda banget, sekali dicoba pasti tahu bedanya. Gula kelapa ini dibuat langsung dari buah kelapa. Saya tahu siapa yang membuatnya,” ujarnya sambil menunjukkan dua kilogram gula kelapa yang dibungkus kantong plastik hitam.

Selain berjualan gula kelapa, Suparni juga kerap berjualan aneka baju, sprei, dan celana dalam. Dia menjual barangnya secara kredit sambil mengambil bola; datang ke kediaman pelanggan. Suparni menjual dagangannya di Pasar Wates dan kemudian menjualnya dengan berjalan kaki ke pelanggan setia di sekitar desanya.

Namun Suparni mengaku bingung kapan akan berkeliling atau ke Pasar Wates untuk menjual berbagai dagangannya. Pasalnya, sejumlah tamunya menyuruhnya untuk tidak keluar rumah dan ada pula yang berjanji akan kembali ke kediamannya lagi.

Tukiyem, putri sulungnya, turut mengenang bahwa jumlah tamu yang datang ke kediamannya semakin meningkat sejak bulan puasa, sekitar Juni 2017. Selain wartawan, masih banyak tamu lain yang datang untuk berfoto bersama, berdonasi, atau meminta. doa. .

“Ada pendeta yang datang ke sini, berbincang sekitar satu jam lalu menyumbangkan beras dan menyumbangkan uang. Ada pula yang datang dari Bantul untuk meminta doa dan menyumbangkan kain jarik. Sebenarnya tamu sudah datang sejak dua tahun terakhir. “Tapi ramai lagi saat bulan puasa,” kata Tukiyem.

Sulung Suparni mengaku usianya sudah 65 tahun. Dia tinggal di rumah bersama ibunya.

“Tamunya bisa dari pagi sampai malam, saya senang, apalagi kalau di televisi,” kata Suparni sambil tersenyum lebar.

Independen dan menolak untuk dipatuhi

Matahari hampir tepat berada di tengah-tengah tajuk ketika Suparni mulai menjemur radio di halaman rumahnya. Sebuah radio kecil bertenaga dua baterai berukuran sedang selalu menemani aktivitasnya di pagi hari.

“Kalau tidak dijemur, suaranya tidak akan nyaring,” ujarnya.

Radio dikeringkan secara terbalik dengan bagian belakang radio dimana kedua baterai yang memberikan daya menghadap ke atas untuk menangkap sinar matahari.

Suparni saat ini mengaku berusia 117 tahun, meski ia tidak ingat persis bulan dan tahun kelahirannya. Ia ingat dilahirkan sebagai anak tertua dari sembilan bersaudara.

“Banyak senior yang mendapatkan bantuan, tapi saya tidak pernah melakukannya. Saya percaya bantuan saya datang langsung dari Tuhan.”

Suparni sangat mandiri semasa kecil dan bersekolah di sekolah dasar selama tiga tahun pada zaman Belanda dan juga pada zaman Jepang selama tiga tahun. Semasa kecil, Suparni senang bekerja, berjualan berbagai barang bekas, dan kerap menghabiskan waktu di luar rumah untuk berjalan-jalan.

Karena sudah dianggap cukup dewasa, Suparni menolak dijodohkan oleh orang tuanya.

“Saya tidak suka dijodohkan, saya lebih suka bekerja, mencari uang di luar rumah,” kata Suparni.

Orang tuanya tidak menyukai perilakunya. Suparni, seorang remaja, sering bertengkar dengan orang tuanya ketika mereka dijodohkan dan/atau diminta untuk menikahinya. Hingga akhirnya ia bertemu dengan pria pilihannya, Kartoprawiro, dan menikah di usia muda pada tahun 1945.

“Saat saya menikah, usia saya sekitar 45 tahun. “Saya pindah dari rumah orang tua saya ke rumah ini saat itu,” katanya.

Pernikahannya dengan Kartoprawiro berakhir pada tahun 1960. Suaminya rela menikah dengan perempuan desa sebelah sebelum pindah ke Sumatera. Suparni membesarkan sendiri kedua anaknya dari pernikahannya dengan Kartoprawiro tanpa tergoda untuk menikah lagi.

“Banyak orang yang melamar saya saat itu, tapi saya berpikir jika mereka bisa peduli dan menyayangi kedua anak saya. “Daripada menelantarkan anak-anak saya, saya memilih untuk tidak menikah lagi,” katanya sambil mengunyah sirih – sebuah kebiasaan yang katanya tidak berhenti dilakukannya sejak menikah.

Saya suka minum jamu wedang uwuh

Sesaat kemudian, sang nenek menawari Rappler untuk meminum jamu rebus kesukaannya, serta wedang uwuh, minuman khas yang dimasak dengan daun cengkeh, daun jangan manis, secang, dan daun kayu putih kering. Dia berjalan dengan cekatan menuju dapur di belakang kediamannya.

“Di sini saya masak jamu dan wedang uwuh. “Pakai pawon dan penggorengan saja, harganya hanya Rp 2 ribu, tidak sampai Rp 250 ribu,” kata Suparni sambil tertawa.

Ia pun meminum obat penyaring herbal. Dengan bantuan Tukiyem, Suparni membuat segelas jamu yang warnanya gelap dan rasanya sangat pahit.

“Minum jamu akan membuat ingin makan dan badan terasa segar. “Wedang uwuh baik untuk mencegah pegal-pegal pada persendian,” ujarnya.

Selain jamu dan wedang uwuh, Suparni mengaku tidak punya preferensi makanan. Nenek yang sangat aktif ini kerap mendapat beberapa hadiah berupa makanan dari tetangganya, meski ia tidak pernah memintanya. Bahkan, berbagai program bantuan pemerintah tak pernah berhenti di kediamannya.

“Banyak senior yang mendapatkan bantuan, tapi saya tidak pernah melakukannya. “Saya yakin pertolongan saya datangnya langsung dari Tuhan,” ujarnya.

Kulon Progo disebut-sebut sebagai daerah kantong kemiskinan, namun memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam

“Ada 15 kecamatan miskin di DIY. Tapi kemiskinan selalu diukur dari konsumsi, jadi tinggi. “Tapi kalau kita pakai indeks kemiskinan multidimensi, ada 14 indikator, sebenarnya kita berada di urutan kedua makmur setelah DKI (Daerah Khusus Ibukota Jakarta),” kata Wagub DIY saat berbicara di Gadjah Mada, 9 Juni 2017. Universitas berbicara.

“Kecamatan ini paling banyak berada di Kulon Progo dan Gunung Kidul. Konsumsi cakupan rendah kita tinggi, diversifikasi pangan kita tinggi. Sarapannya tidak harus nasi, ada telo dan lain-lain. “Jadi walaupun kita miskin, angka harapan hidup kita tinggi dan kesejahteraan kita tinggi,” ujarnya. —Rappler.com

Data Sydney