Kisah sedih pengungsi Rohingya yang ‘terdampar’ di Makassar
- keren989
- 0
MAKASSAR, Indonesia — Beberapa pasang kaki bergegas menuju Masjid Nurul Imam Telkom yang terletak di Jl Pettarani Makassar, Senin, 4 September 2017. Betapapun teriknya matahari, kulit mereka seolah terpanggang.
Tak lama kemudian, beberapa pria juga terlihat datang dengan bersepeda menuju halaman masjid. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WITA yang menandakan akan segera dilangsungkan salat magrib.
Sekilas mereka tidak terlihat seperti warga asli Makassar, melainkan lebih mirip warga negara asing. Saat diwawancarai oleh berbagai awak media, mereka mengaku merupakan pendatang asal Myanmar.
“Kami pendatang Rohingya, kami datang ke sini selain untuk berdoa dan juga menghadiri diskusi di Forum Komunitas Peduli Rohingya,” kata pria bersepeda yang enggan disebutkan namanya.
Usai berdoa, diskusi yang dihadiri Wakil Ketua Komisi B DPRD Makassar Iqbal Djalil diawali dengan keluhan beberapa warga pendatang Rohingya. Wajar jika mereka sudah bersembunyi di Indonesia selama beberapa tahun tanpa ada kepastian yang jelas mengenai keberangkatan mereka ke negara ketiga.
Sejak tahun 2012, sejak kekerasan mulai terjadi di Myanmar, masyarakat Rohingya mengungsi ke negara lain untuk bertahan hidup. Karena mereka tidak mempunyai paspor dan visa, mau tidak mau mereka harus menyeberangi lautan menggunakan kapal.
Bukan Indonesia yang mereka bidik, melainkan Australia, Malaysia, dan Thailand yang menjadi negara tujuan etnis Rohingya. Sayangnya, mereka tersapu ke laut karena awak kapal melarikan diri setelah ditemukan anggota TNI yang menjaga perbatasan negara.
“Saya juga berada di kapal menuju Australia, tapi kami terjebak di Indonesia. “Ini satu-satunya cara agar kami bisa mencapai negara yang aman karena kami tidak punya paspor,” kata Musa, seorang pengungsi Rohingya.
Awalnya, lanjut Musa, mereka sampai di Indonesia, tepatnya di wilayah Aceh. Setelah itu mereka dibubarkan ke Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Kupang karena tidak memiliki paspor. Setelah lebih dari setahun ditahan di sel tahanan, para pengungsi mendapat kartu imigran dari Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Setelah mendapat peta dari PBB, mereka kembali dievakuasi ke kota besar seperti Makassar dan kota lainnya. Jika mereka tinggal di Makassar, mereka bisa merasakan kebebasan, namun tetap tidak boleh melanggar aturan seperti bekerja, keluar kota Makassar dan mengendarai kendaraan bermotor, ditambah lagi waktu keluar shelter hanya sampai pukul 22.00 PUTIH.
Para pengungsi merasa perjalanan dari Myanmar menuju Aceh untuk ditempatkan di Makassar cukup sulit dan sulit. Jika mereka menemukan solusi terbaik, mereka berharap bisa merasakan kehidupan bebas yang dirasakan orang lain saat ini.
“Bisa hidup normal, yang penting dapat solusi terbaik. “Kami hanya ingin terlihat sebagai orang yang berhak hidup dan menjalani kehidupan normal,” lanjut Musa.
Lancar berbahasa Indonesia
Beruntungnya, para pendatang tersebut tidak pernah sekalipun mendapat perlakuan buruk dari warga Makassar selama mereka menginjakkan kaki di tanah Bugis Makassar. Padahal, menurut para pendatang Rohingya, warga Makassar sudah menunjukkan keramahannya saat beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Bahkan, warga Makassar yang tinggal di sekitar shelter tak segan-segan belajar bahasa Indonesia dengan bantuan para penjaga shelter yang juga selalu mengajari mereka berbahasa Indonesia dengan lancar.
“Karena sudah terlalu lama di sini, bahasa Indonesia sudah menjadi wajib bagi kami, sudah lebih dari lima tahun kami makan dan tidur di sini, jadi kami harus beradaptasi,” kata Musa didampingi imigran Rohingya lainnya.
Dari ratusan imigran Rohingya yang ditampung di 12 wisma di Kota Makassar, hampir semuanya fasih berbahasa Indonesia.
Selama mengungsi di Indonesia, pengungsi Rohingya banyak mengalami pasang surut, terutama dalam beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun kebersamaan membuat setiap orang melupakan beban hidup yang dialaminya.
Beberapa waktu lalu, pengungsi Rohingya menggelar aksi protes di halaman gedung kantor UNHCR mempertanyakan nasib mereka. Dalam aksinya itu, mereka menuntut tiga poin, yakni dipulangkan ke negara asal, menjadi WNI, dan terakhir dipulangkan ke negara ketiga.
“Poin pertama tidak mungkin, karena kita bisa melihat sendiri bagaimana keadaan sekarang, poin kedua juga tidak mungkin karena kita menghormati peraturan pemerintah Indonesia. “Jadi poin ketiga adalah satu-satunya pilihan yang kita harapkan saat ini,” pungkas Musa.
Beranotasi
Dalam diskusi Forum Masyarakat Peduli Rohingya, Wakil Ketua Komisi B DPRD Makassar Iqbal Djalil mengatakan, forum tersebut dibentuk sebagai wadah komunikasi dengan siapapun yang terkait langsung dengan penderitaan imigran Rohingya. Hal ini dilakukan karena Rohingya adalah bagian dari masyarakat dan umat Islam.
“Kenapa tidak peduli? Dengan kata lain, mari kita memanusiakan manusia. “Jangan menutup mata terhadap permasalahan imigran Rohingya,” tegasnya.
Usai melakukan pembicaraan, pihaknya berjanji akan berkomunikasi dengan ulama, pemerintah, dan UNHCR untuk memperjelas permasalahan yang dihadapi imigran Rohingya.
Menurut calon Wali Kota Makassar ini, permasalahan yang dihadapi para pendatang saat ini merupakan bagian dari pelanggaran HAM. Itu karena mereka tidak diberikan jaminan selama tujuh tahun.
“Batasnya di negara ini seharusnya hanya dua tahun, kemudian kamu akan dikirim ke negara ketiga sehingga kamu tidak bisa lagi tinggal di sini. “Kami meminta UNHCR melakukan hal ini, jangan sampai mereka tinggal di sini bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai 7-10 tahun,” jelas Iqbal.
“10 tahun bukanlah waktu yang lama untuk mengatur diri sendiri dengan aturan yang ketat dan tidak bisa berbuat apa-apa. “Tidak boleh buka usaha, tidak boleh menikah sebagai bentuk ibadah, jadi sama saja menghilangkan hak asasi manusia,” imbuhnya.
Untuk itu, Iqbal berharap baik UNHCR maupun IOM yang bertanggung jawab atas kasus ini dapat mengklasifikasikan kasus tersebut. Padahal, lanjutnya, UNHCR mengetahui ada negara ketiga yang bisa menerima imigran, seperti Amerika, Australia, dan Turki.
“Mengapa warga Rohingya tidak dikirim ke sana? Yang aneh, hanya etnis Rohingya saja yang ditempatkan pada posisi tersebut, seolah-olah mereka terabaikan, sedangkan imigran lainnya tidak. Kasihan orang Rohingya, di negara asalnya mereka tertindas, mereka juga tertindas di sini. “Kami berharap dapat menarik perhatian semua orang,” tutupnya.
—Rappler.com