Kita tidak boleh terbawa suasana karena meme
- keren989
- 0
Apakah fenomena meme tersebut sesuai dengan landasan hukum di Indonesia?
Aneh rasanya membaca pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, Sandiaga Uno, di penghujung tahun 2017 lalu tentang kebijakannya untuk tidak lagi mengunggah video pertemuan resmi di channel YouTube Pemprov DKI Jakarta. Ia beralasan khawatir konten dalam video tersebut kemudian dijadikan meme untuk mengejek dan memecah belah masyarakat. Hal ini cukup mengejutkan mengingat Sandi kerap menampilkan dirinya sebagai politisi masa kini. Ditandai dengan penampilan sosial dan sosialnya sportyMisalnya hobinya lari, baik untuk kompetisi maupun rekreasi.
Padahal, meme merupakan salah satu ekspresi khas anak muda masa kini sehingga keputusan untuk tidak mengunggahnya justru menegasikan bingkai kemudaan kepemimpinan Sandi yang diwakilkan oleh Gubernur Anies Baswedan. Bisa jadi keputusan ini menjauhkannya dari kepentingan masyarakat muda Jakarta, dan tentu saja membuat masyarakat curiga terhadap komitmen Anies-Sandi terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintahannya.
Pernyataan Sandi yang disampaikannya kepada wartawan pada 10 Desember 2017 lalu langsung ditanggapi buruk oleh warganet. Hingga akhirnya pada tanggal 16 Desember 2017, channel YouTube Pemprov DKI memutuskan untuk kembali mengunggah video pertemuannya, dan hal tersebut terus berlanjut hingga saat ini.
Tentu kita tidak bisa serta merta mengharapkan perbincangan birokrasi-administrasi yang apik (dan epik) karena pasangan Anies-Sandi tak punya pengalaman menjalankan pemerintahan dibandingkan trisula Jokowi-Ahok-Djarot yang memangku jabatan di Jakarta. mencicipi kursi pemerintahan daerah. . Kecanggungan keduanya memang wajar dan berpotensi melucu, namun yang penting adalah sejauh mana Anies-Sandi mau belajar dan berkomitmen terhadap keutuhan jabatan gubernur-wakil gubernur di dunia maya sebagai peran. teladan bagi seluruh warga Jakarta, bahkan bagi seluruh masyarakat Indonesia dimana pun yang menonton. .
Fenomena meme
Tak hanya di Jakarta, fenomena meme sudah menjadi isu global. Setidaknya pada tahun 2017, beberapa negara dilaporkan berupaya untuk secara hukum melarang meme yang dianggap terlalu menyinggung pemerintah masing-masing. Misalnya saja peredaran meme ‘badut gay’ karya Presiden Vladimir Putin di Rusia dan meme kartun Winnie the Pooh di China yang dilarang karena dianggap menghina Presiden Xi Jinping. Hal serupa juga terjadi di negara lain seperti Spanyol, Turki, dan Meksiko. Namun, upaya tersebut malah membuat meme yang dilarang tersebut semakin viral.
Kata “meme” pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan dan intelektual publik Inggris, Richard Dawkins, dalam bukunya. Gen yang egois (1976), yang sedikit banyak berarti upaya mereplikasi informasi budaya, baik ide maupun nilai, dari seseorang ke orang lain. Meme kemudian berkembang dengan hadirnya internet, dan kini lebih dikenal sebagai konten digital, baik gambar maupun video, yang mengandung ide satir dan disebarkan melalui internet. Meme pertama kali muncul di situs berbagi gambar seperti 4chan, Reddit, 9gag dan lainnya.
Wil Fulton secara sederhana menjelaskan dalam Thrillist ciri-ciri esensial sebuah meme, diambil dari akronim kata meme itu sendiri: M (message), ada pesan yang ingin disampaikan; E (Evolusi), bersifat dinamis dan dapat didaur ulang oleh manusia; M (kelenturan), sifat definitif tetap muncul meskipun telah didaur ulang; dan E (Effect), yaitu meme tersebut bertujuan untuk mencapai tingkat popularitas dan pemahaman masyarakat tertentu, bahkan terkadang viralitas meme tersebut lebih penting dibandingkan isi meme itu sendiri.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo sendiri dengan nada bercanda beberapa kali menyarankan agar perguruan tinggi di Indonesia membuka program studi meme, seperti yang pernah disampaikannya pada tahun 2017 di Universitas Padjadjaran dan Universitas Diponegoro. Konteksnya adalah untuk mendorong inovasi kampus agar tidak ketinggalan dengan kemajuan zaman, khususnya dalam kajian komunikasi publik di media sosial. Humor telah lama menjadi daya tarik masyarakat, dan mungkin inilah saatnya kita melihat meme dan kejenakaannya sebagai sarana komunikasi yang ampuh, terutama dalam membentuk opini publik dan meningkatkan citra selama masa kampanye.
Persoalannya, apakah keinginan tersebut sesuai dengan hukum Indonesia? Jika tidak, alih-alih menghasilkan pakar meme dan konsultan humas kontemporer, pembuat meme justru berpotensi menjadi repeater (pengulang) yang potensial. Lihat saja kasus mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Beberapa waktu lalu, Setya yang juga mantan Ketua DPR dan kini tersangkut kasus korupsi menggugat pembuat dan penyebar memenya saat ia terbaring sakit di rumah sakit. Setidaknya ada beberapa oknum lain, seperti di Bandung dan Bukittinggi, yang ditangkap aparat karena membuat meme yang menghina Jokowi.
Kritik mendalam terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan tentu saja beberapa pasal karetnya, yang selama ini mengekang kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia, patut dikritisi secara mendalam. UU ITE tidak boleh menjadi legitimasi masyarakat untuk menggugat hanya karena terbawa perasaan marah atau tidak mampu menangkap humor di balik meme yang beredar. Khususnya dalam konteks politik, meme adalah alat yang ampuh bagi masyarakat yang semakin terhubung di dunia maya untuk menyuarakan keprihatinan kolektif mereka terhadap tokoh atau isu politik yang sedang tren.
Meme terkadang menyayat hati dan meninggalkan luka psikologis, apalagi bagi yang menyindir. Pembuat meme juga perlu memahami penempatan konteks yang sesuai dalam meme yang dibuatnya, agar humor yang dibalutnya tidak berujung pada pencemaran nama baik dan cenderung menyinggung.
Tahun 2018 akan menjadi tahun pemanasan politik bagi para pelakunya karena setahun kemudian akan segera dilaksanakan Pemilihan Presiden tahun 2019. Tahun 2018 diyakini akan melahirkan beberapa kejenakaan politik yang patut dijadikan meme, namun tentunya kita harus menyikapinya dengan bijak dan tidak berlebihan. —Rappler.com