• October 12, 2024

Kita tidak perlu malu untuk mengenali potensi masyarakat Tiongkok

Saat saya menulis catatan ini, hujan deras sedang mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Bagi masyarakat Tionghoa, hujan di hari pertama Tahun Baru Imlek atau yang kita kenal dengan sebutan Idul Fitri merupakan pertanda berkah melimpah di tahun Monyet Api ini.

Saya yakin orang non-Tionghoa seperti saya bersyukur atas berkah hujan karena baik untuk pertanian. Curah hujan yang cukup memberikan harapan akan hasil panen produk pangan yang baik. Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan para menterinya untuk merumuskan strategi untuk menstabilkan harga pangan.

Harga produk pangan akhir-akhir ini meningkat. Meski kehidupan petani masih miskin, mereka malah terkena dampak kenaikan harga karena petani juga merupakan konsumen. Gabungan petani menduga ada permainan harga yang dipicu adanya konspirasi antar importir.

Jokowi menyikapinya dengan memerintahkan TNI dan Polri rajin turun ke lapangan memantau harga pangan, termasuk mewaspadai kemungkinan pelanggaran hukum terkait permainan harga dan pasokan.

Saya termasuk orang yang optimistis perekonomian Indonesia akan membaik di tahun 2016. Proyek infrastruktur akan mendapat dorongan. Lapangan kerja harus bertambah, konsumsi harus meningkat, pada akhirnya akan merangsang perekonomian. Namun, saya juga prihatin bahwa perbaikan kondisi perekonomian tidak dibarengi dengan peningkatan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Di sini saya teringat perbincangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat bertemu dengan forum pemimpin redaksi di rumah dinas Wakil Presiden pada 22 Desember 2015.

“Saya prihatin dengan angka yang dikeluarkan Bank Dunia, yang menyatakan bahwa 1 persen rakyat Indonesia menguasai 50 persen kekayaan Indonesia,” ujarnya. ujar JK. Ia merujuk pada laporan Bank Dunia yang berjudul Ketimpangan di Indonesia semakin meningkat. Laporan tersebut diluncurkan pada awal Desember 2015.

Bank Dunia mencatat, tingkat ketimpangan kesejahteraan masyarakat Indonesia meningkat dalam 15 tahun terakhir. Tingkat ketimpangan merupakan yang tercepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur. Kondisi ini dapat memberikan dampak negatif berupa melambatnya pertumbuhan ekonomi dan potensi konflik sosial.

Menurut data Bank Dunia, angka koefisien Gini yang menunjukkan ketimpangan ekonomi terus meningkat, dari 30 poin pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2014, yang merupakan rekor tertinggi. Koefisien Gini Indonesia kini sama dengan Uganda dan Pantai Gading, dan lebih buruk dari India.

Malam itu saya makan malam satu meja dengan Pak JK. Kita bahas, rumah-rumah di kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat, misalnya, semakin banyak berpindah ke tangan pengusaha keturunan Tionghoa. Dulunya, rumah-rumah tersebut merupakan milik pejabat era Orde Lama dan Orde Baru.

Setelah pensiun, mereka tidak mampu lagi membayar pajak atas tanah dan bangunan yang nilainya semakin tinggi. Mereka kemudian memilih “meninggalkan” rumah di kawasan elit dan pindah ke kawasan lain yang lebih murah.

Saya tidak sempat mengecek data Desa Menteng misalnya. Rumah dinas Wakil Presiden berada di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Saya berasumsi Wapres JK mengetahui “peta” kepemilikan rumah mewah yang notabene juga tetangganya.

“Pentingnya kondisi perekonomian segera diperbaiki juga disebabkan oleh masalah ketimpangan ini. “Kami tidak ingin kejadian tahun 1998, kerusuhan sosial, terulang kembali,” kata Pak JK.

Potensi konflik sosial semakin besar ketika harga pangan naik dan tidak terjangkau. Menurut saya, Jokowi sudah mengetahui hal tersebut dan oleh karena itu ia menugaskan TNI. Panglima TNI Gatot Nurmantyo ternyata sangat prihatin dengan bahaya politik akibat harga pangan.

Dalam wawancara saya dengan Gatot saat masih menjabat KSAD, beliau mengatakan bahwa kekurangan pangan dan kenaikan harga akibat hewan buruan impor merupakan permasalahan. perang proksi.

Saya teringat pada edisi kali ini ketika kita merayakan kemeriahan Tahun Baru Imlek. Ada rasa syukur karena salah satu isu krusial menjelang era reformasi, yaitu isu diskriminasi terhadap warga negara Tiongkok, perlahan terhapuskan dan mudah-mudahan bisa segera berakhir.

Lilyana Natsir, atlet bulu tangkis nasional kita, mengakui bahwa situasi masyarakat keturunan Tionghoa membaik pasca reformasi. Komika dan sutradara Ernest Prakarsa mampu menyoroti keseharian masyarakat Tionghoa dalam film-filmnya. Dan generasi ketiga warga Tiongkok bisa merayakan Tahun Baru Imlek tanpa bersembunyi di balik pintu rumah mereka.

Presiden Abdurahman “Gus Dur” Wahid-lah yang membuka jalan bagi warga Tiongkok untuk merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka, dan menikmatinya sebagai hari libur nasional. Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang memutuskan warga Tiongkok bisa merayakan Tahun Baru Imlek seperti pada era Presiden Soekarno. Presiden Megawati Sukarnoputri meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional yang berlaku sejak tahun 2003.

Jadi, pasca era reformasi, Ernest Prakarsa dan jutaan masyarakat Tionghoa tidak perlu lagi mengajukan izin libur ke sekolah atau perusahaan jika ingin berlibur di Tahun Baru Imlek. Berdasarkan sensus 2010, terdapat 2,8 juta warga Tionghoa di Indonesia.

Namun, pengusaha Sofjan Wanandi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia memperkirakan ada 10 juta orang Tionghoa. Kebanyakan enggan menunjukkan identitasnya sebagai warga negara Tiongkok.

Mengapa sebagian besar enggan? Jawabannya beragam. Seorang pengusaha keturunan Tionghoa menceritakan kepada saya bahwa keengganan tersebut antara lain disebabkan oleh trauma kerusuhan sosial yang terjadi pada Mei 1998. Bekas luka tersebut masih ada.

Yuk coba kunjungi komplek perumahan di kawasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Di permukiman yang mayoritas penduduknya Tionghoa, rumah mereka dilindungi tembok atau pagar besi. Pagar yang tinggi menandakan kewaspadaan yang tinggi.

Memang benar, meski agama Konghucu telah diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, dan Tahun Baru Imlek telah ditetapkan sebagai hari libur nasional, masih ada sebagian masyarakat yang memandang warga Tionghoa dengan curiga. Kecurigaan dipicu oleh fakta bahwa sebagian besar orang kaya adalah etnis Tionghoa. Ada rasa cemburu.

“Padahal mereka pekerja keras dan mempunyai kemampuan bisnis yang tinggi. Gigih,” kata Pak JK. Saya setuju. Dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes, hanya satu dari 20 orang peringkat pertama yang merupakan pengusaha pribumi, yakni Chairul Tanjung dari Para Group dan Trans Corp.

Nostalgia Deklarasi Jimbaran

Di era Orde Baru, ketika ada rasa “kolaborasi” yang kuat antara rezim Suharto dan pengusaha, fakta bahwa sekitar 3 persen warga negara Indonesia menguasai 70 persen kekayaan Indonesia menjadi hal yang sensitif. Hal ini memicu inisiatif yang menurut saya gagal tetapi dicoba oleh pemerintahan Soeharto, yaitu Deklarasi Jimbaran.

Deklarasi Jimbaran diumumkan pada bulan Agustus 1995 di Hotel Intercontinental, Jimbaran, Bali. Sebanyak 96 pengusaha yang mayoritas merupakan taipan keturunan Tionghoa mendapat “instruksi” pokok-pokok Pancasila selama dua hari, kemudian menandatangani kesepakatan menyisihkan dua persen laba bersih setelah pajak, untuk kecil-kecilan dan membantu. bisnis menengah.

Jumlah uang yang akan disalurkan pengusaha pendukung rezim Soeharto kurang lebih Rp 100 triliun. Tujuannya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7,2 persen dan investasi Rp 818 triliun.

Saat itu, Presiden Soeharto mendapat pesan bahwa kesenjangan ekonomi semakin timpang. Jika tidak segera diatasi akan menimbulkan konflik sosial. Saya tidak tahu mengapa para taipan setuju saat itu. Juru bicara kelompok Jimbaran saat itu, Sofyan Wanandi, menggarisbawahi perlunya mengatasi kesenjangan. Caranya ya, pola amal, menggelontorkan dana yang dihimpun para pengusaha kaya.

Lulus? Suharto menindaklanjuti Deklarasi Jimbaran dengan instruksi presiden no. 90 pada tahun 1995. Namun hal ini tidak pernah efektif. Sebab, banyak pihak yang menilai praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang terjadi saat itu justru memperlebar kesenjangan.

Uang sebanyak apapun akan terbuang sia-sia selama aparat membiarkan praktik kartel, monopoli usaha, dan KKN merajalela. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin terhimpit. Kemarahan mencapai puncaknya pada reformasi Mei 1998. Kemarahan ini tidak hanya ditujukan kepada Soeharto, tetapi juga para pendukungnya. Termasuk para pebisnis dan masyarakat Tionghoa.

Ada lagi pola “menginjak kaki” yang terjadi pada era Soeharto. Dalam bukunya, Etnis Tionghoa di Asia Tenggara, Leo Suryadinata bercerita tentang berdirinya PT Dua Satu Tigapuluh pada 16 Februari 1996. Perusahaan ini didirikan untuk menampung dana yang diperlukan untuk pembuatan pesawat N-2130 yang diproduksi oleh PT Industri Kertas Terbang Nusantara ( IPTN) yang pada saat itu waktu itu dipimpin oleh BJ Habibie. Dana yang dibutuhkan Rp 4 triliun, sumbernya konglomerat.

Presiden Soeharto menyaksikan penandatanganan tersebut nota kesepahamang antara Saadilah Mursjid sebagai direktur utama PT 2130, dan BJ Habibie sebagai direktur utama IPTN. Berdiri di samping Presiden Soeharto, pengusaha Bob Hasan, Eka Tjipta Widjaja, Henry Pribadi, dan Prayogo Pangestu. Semua tokohnya adalah keturunan, kecuali Sudwikatmono yang sebenarnya masih berkerabat dengan Soeharto.

Saya teringat percakapan dengan pendiri dan pimpinan umum Kompas Koerant, Pak Jakob Oetama, pada tahun 2001, lima tahun setelah reformasi. Pak Jakob mengingatkan kita akan pelajaran mahal dari kerusuhan Mei 1998, dan praktik KKN yang terjadi pada masa Orde Baru.

Orang-orang kaya, terutama keturunan Tionghoa, diperlakukan sebagai “pundi-pundi” untuk mendukung proyek-proyek penguasa. Mereka menyerah dan menuruti keinginan tersebut, bukan hanya karena mereka menikmati keuntungannya, namun juga karena mereka membutuhkan perlindungan politik dan bisnis. Itu membuat orang marah.

Ironisnya, pada masa pemerintahan Soeharto, ia didukung oleh pengusaha turun temurun, padahal hak politik dan sipil warga China justru mendapat tekanan. Akibatnya, mereka yang kaya mencari “perlindungan” dengan berkoalisi dengan kekuatan di semua tingkatan, mulai dari pusat hingga daerah. Bagaimana dengan mereka yang hidup pas-pasan bahkan memiliki kondisi ekonomi pas-pasan? Beberapa di antaranya merupakan korban kerusuhan Mei 1998.

Tn. Jakob menyarankan agar pemerintah mengajak seluruh warga China kita ke “tengah”, membuka segala akses, termasuk dalam proses politik, agar mereka terwakili. Mengundang kita ke pusat berarti terlibat dalam semua kegiatan kenegaraan dan nasional, berdasarkan aturan yang berlaku untuk semua.

Ada kesetaraan dalam regulasi dan penegakan hukum. Setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang etnis. Hal ini tidak menjadikan mereka hanya sekedar kasus belaka, sehingga ada peluang untuk meminta perlakuan khusus karena tidak ada yang namanya makan siang gratis. Namun semuanya dibuat transparan dan terbuka.

Kita tidak perlu malu untuk mengenali potensi mereka. Namun jika ada yang melanggar peraturan perundang-undangan, maka penindakan dilakukan sama seperti warga lainnya. Saya ingat semua ini pada Tahun Baru Imlek.

Situasinya memang membaik. Kami bahkan memiliki gubernur etnis Tionghoa yang memimpin ibu kota. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan para menteri di kabinet. Namun kecurigaan terhadap mereka, terutama orang kaya, masih besar. Kecemburuan sangat kuat, dan warga Tiongkok biasanya menjadi sasarannya. Dan sayangnya, kesenjangan tersebut semakin melebar.

Bagaimana kita sebagai warga menyikapi hal ini? Pasti lebih dari sekedar menyanyikan Gong Xi Fa Chai. —Rappler.com

BACA JUGA:

Togel SDY