Koalisi Masyarakat Sipil mempertanyakan kinerja Komnas HAM
- keren989
- 0
Koalisi tidak melihat ‘gading’ Komisioner Komnas HAM dalam memperjuangkan hak asasi masyarakat.
JAKARTA, Indonesia – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan mengganti komisionernya pada Oktober 2017. Diharapkan para komisioner baru berani memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamatan Komnas HAM yang terdiri dari gabungan LSM seperti KontraS, Arus Pelangi, WALHI dan YLBHI menyampaikan evaluasinya terhadap kinerja komisioner Komnas HAM periode 2012-2017. Komnas HAM gagal memantau kasus kemanusiaan, kata Kepala Departemen Pengawasan Impunitas KontraS Feri Kusuma di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu, 14 Mei 2017.
Beberapa temuan koalisi antara lain status laporan yang tidak jelas, kurangnya tindak lanjut investigasi, dan dugaan korupsi serta konflik internal antar komisioner. Bahkan, ada kasus dimana masyarakat akhirnya menolak kehadiran tim Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan.
Asfinawati, Ketua YLBHI, menjelaskan beberapa hal yang menjadi sorotan. Misalnya Wasior-Wamena, Paniai, dan yang terbaru vaksin palsu. Berbagai kelalaian seperti hilangnya barang bukti, hingga penyidikan sudah selesai, namun rekomendasi tak kunjung keluar.
Sorotan lain berkaitan dengan kasus-kasus yang tidak diproses secara hukum. Bolak-balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terus bermunculan sehingga kasus tersebut tak kunjung sampai ke pengadilan.
Majelis Hakim MK juga dalam putusannya no. 75/PUU-XII/2015 (23/8/2016) bahwa korban pelanggaran HAM berat mengalami ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh buruknya kinerja lembaga negara dalam mengamalkan norma hukum.
Ketua Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI Khalisah Khalid menjelaskan konflik politik dan keinginan untuk berkuasa. Salah satunya adalah perubahan peraturan yang mengubah masa jabatan Ketua Komnas HAM menjadi hanya satu tahun dari semula dua tahun.
Akses masyarakat untuk menyaksikan rapat paripurna komisioner yang tadinya bersifat terbuka atau terbatas, kini menjadi terbatas dan tertutup. “Itu pertanda adanya motif politik dan ambisi sejumlah pihak untuk menduduki jabatan guna melemahkan kinerja Komnas HAM,” ujarnya.
Tak hanya itu, Komnas HAM juga dinilai bersembunyi di balik keterbatasan kewenangannya. Lembaga ini memang berhak mengusut kasus dugaan pelanggaran HAM, namun tidak bisa menindaknya, hanya bisa memberikan rekomendasi.
Namun, bukan berarti mereka bisa bersembunyi di balik alasan tersebut. “Kami sebagai LSM bisa bersuara dan bekerja sama dengan lembaga pemerintah seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan jika terjadi kebakaran hutan. “Keterbatasan kewenangan tidak bisa dijadikan alasan,” kata Khalisah.
Terkait pemilihan komisioner baru 2017-2022 yang tengah berjalan, koalisi punya sejumlah rekomendasi. Evaluasi dulu kinerja anggota Komnas HAM saat ini, kata Feri.
Evaluasi ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kelemahan dan kekurangan yang terjadi di internal Komnas HAM untuk kemudian dijadikan pedoman dalam pemilihan calon komisioner periode berikutnya. Selain itu, evaluasi ini juga bertujuan untuk memberikan peluang pengangkatan kembali komisioner Komnas HAM yang telah bekerja secara profesional.
Kedua, harus ada evaluasi terhadap sistem dan seleksi calon anggota seleksi anggota Komnas HAM. Penting untuk memastikan bahwa calon yang dipilih oleh panitia seleksi benar-benar memahami isu hak asasi manusia dan memiliki pengalaman luas di bidang hak asasi manusia. Masyarakat hendaknya membaca rekam jejak para calon Komnas HAM agar tidak menjadi penghambat perlindungan HAM di masa depan, terutama pada isu-isu HAM yang krusial dan prioritas.
Ketiga, calon komisioner harus memiliki integritas, visi, kapasitas, dan keberanian dalam menjalankan amanah Komnas HAM. Calon komisioner harus mempunyai latar belakang yang bebas dari kepentingan politik dan ikatan dengan pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM dan korupsi; memiliki pemahaman yang luas tentang hak asasi manusia dan pengalaman panjang bekerja di bidang hak asasi manusia, serta memiliki perspektif korban pelanggaran hak asasi manusia.
“Termasuk memahami prinsip Open Government untuk membangun organisasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif,” ujarnya.
Terakhir, calon komisioner memiliki strategi yang visioner, target yang jelas dan terobosan dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan penegakan HAM yang muncul. Termasuk yang terpenting adalah menyelesaikan kebuntuan proses hukum bolak-balik antara berkas dengan Kejaksaan Agung.
“Dan mendorong upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” ujarnya.
Saat ini seleksi komisaris masih berlangsung, dimana telah terpilih 60 calon komisaris. Tim panitia seleksi akan melanjutkan seleksi dan membatasi nama hanya 7 orang. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan periode saat ini yang berjumlah 13 komisaris.
—Rappler.com