• October 25, 2025
Komitmen untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia telah hilang

Komitmen untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia telah hilang

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Amnesty International menilai pembangunan infrastruktur sebagai marginalisasi petani

JAKARTA, Indonesia – Tiga tahun pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, penanganan HAM mengalami kemunduran.

Direktur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihaknya mencatat sejumlah pelanggaran HAM masih terjadi. “Penggunaan pasal-pasal pidana yang menindas seperti makar, penodaan agama, dan pencemaran nama baik masih terus terjadi,” kata Usman, Kamis, 19 Oktober 2017 di Jakarta.

Peristiwa pelanggaran HAM lain yang terjadi adalah pengusiran kelompok agama minoritas dan penutupan tempat ibadah, seperti yang terjadi di GKI Taman Yasmin, Bogor, dan Gereja HKBP di Filadelfia. Amnesty juga mencatat pembubaran kegiatan reservasi terkait peristiwa 1965 juga terus berlanjut, bertepatan dengan munculnya peraturan pemerintah pengganti UU Ormas.

(BACA: Yang Terancam Perppu Ormas).

Janji kampanye Jokowi-JK untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak terpenuhi atau sia-sia. Beberapa diantaranya adalah pembunuhan massal pada tragedi 1965, peristiwa Talangsari, peristiwa Tanjung Priok dan peristiwa aktivis hak asasi manusia Munir Said Talib.

Menurut Usman, salah satu penyebab terhentinya penyelesaian HAM adalah sistem peradilan yang menghapuskan hukuman terhadap anggota militer yang terlibat pelanggaran HAM. Padahal, kata dia, banyak peraturan hukum yang bisa dijadikan landasan pemerintah menyelesaikan persoalan HAM. “Tetapi ada kekurangan dalam keahlian Jokowi dalam menggunakan dasar konstitusi,” ujarnya.

Perkembangan penggusuran petani

Program pembangunan Jokowi-JK juga dinilai masih mengabaikan hak asasi manusia, khususnya bagi petani dan pemilik lahan.

“Pemerintahan Jokowi-JK berjanji akan membangun dari pelosok desa. “Tetapi yang terjadi malah menggusur masyarakat petani,” kata Usman.

Sejumlah contoh disampaikan, antara lain aksi penggusuran paksa yang dilakukan 1.000 aparat gabungan terhadap petani di Langkat, Sumatera Utara pada November 2016 dan Maret 2017. Akibat aksi tersebut, ratusan petani kehilangan tempat tinggal dan lahan garapan.

Pada bulan November 2016, pasukan gabungan menggunakan kekerasan berlebihan untuk membubarkan protes petani yang mempertahankan tanah mereka atas pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka.

(BACA: Tiga Petani Majalengka Jadi Tersangka)

Contoh lainnya adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Seko Tengah, Sulawesi Utara dan Waduk Jatigede, Sumedang, yang tetap dilaksanakan meski banyak protes warga dan pemberian kompensasi yang tidak adil.

(BACA: Bom Disebut Bendungan)

“Polanya masif. “Pembangunan infrastruktur justru meminggirkan petani,” kata Usman.

Isu lain yang mengemuka adalah kriminalisasi yang dialami petani Joko Prianto di Rembang, Jawa Tengah. Joko dilaporkan atas kasus pemalsuan surat pada Agustus 2017. Joko ikut serta dalam aksi protes pembangunan pabrik semen di Kendeng.

“Joko Prianto tetap harus melapor ke Polda Jateng di Semarang setiap hari Selasa. Biaya mudik dengan angkutan umum mencapai Rp 200 ribu. Satu bulan biayanya Rp 800 ribu. Setahun bisa dapat Rp 9,6 juta. “Petani cengkeh yang sukses hanya memperoleh penghasilan sekitar Rp30 juta setahun,” kata Usman. Menurutnya, hal tersebut merupakan cara aparat memberikan tekanan kepada petani.

Belum lagi janji membuka akses bagi jurnalis asing untuk meliput Papua. Tetap berpegang pada tingkat operasi teknis. Oleh karena itu, Usman menilai komitmen politik Jokowi dalam menangani persoalan HAM sudah hilang – Rappler.com

daftar sbobet