
Komnas Perempuan meminta Presiden Jokowi menyelamatkan nyawa Merri Utami
keren989
- 0
Hukuman mati bukanlah solusi tepat terhadap permasalahan sindikat narkoba dan kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah masih membutuhkan solusi untuk memberantasnya di hulu
JAKARTA, Indonesia – Merri Utami, perempuan asal Sukohardjo, Jawa Tengah, termasuk di antara 14 terpidana mati yang akan dieksekusi pekan ini. Komisi Nasional Perempuan (Komnas) mengirimkan surat kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menyelamatkan nyawa Merri.
“Kami kemarin sudah serahkan ke Presiden, dan juga ke Kantor Staf Presiden (KSP),” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana di kantornya, Selasa 26 Juli. Ia memasukkan 3 poin dalam surat tersebut, yang tujuannya untuk membuka mata presiden terhadap permasalahan sebenarnya.
Temukan akar masalahnya
Pertama, Azriana mengungkap relasi kekuasaan gender yang timpang hingga menjebak perempuan miskin dalam sindikat narkoba. Perempuan sangat terbatas dalam berbagai pendidikan dan informasi. Mereka cenderung sederhana dan tidak memahami apa pun.
Kedua, tak jarang masyarakat memiliki latar belakang sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (DVD). Pelakunya seringkali adalah kekasih, sahabat, bahkan suami. Mereka pernah mengalami pemukulan, kekerasan seksual, bahkan dikucilkan dan dibuang oleh keluarga dan lingkungan sekitar.
Ketiga, kemiskinan dan kekerasan saling terkait sehingga mengakibatkan korban perempuan menjadi terpidana mati. Posisi mereka yang sudah rentan tentu sudah tidak berdaya lagi di mata hukum.
Seperti L, terpidana mati di Lapas Bali. Dia yang dijebak sebagai kurir menerima hukuman mati; Sedangkan gembong sindikat yang ditangkap bersamanya dibiarkan kabur dengan hukuman ringan.
Inilah latar belakang yang tidak dilihat oleh hakim dan pemerintah sendiri ketika mengambil keputusan hukum. “Tiga elemen: kemiskinan, narkoba dan kekerasan harus diselesaikan bersama. Tidak bisa parsial. “Pemberantasan harus dari hulu hingga hilir,” ujarnya.
Modus pelaku dan perangkat
Adriana Venny, komisi nasional advokasi kekerasan terhadap perempuan internasional, mengatakan metode yang digunakan pelaku untuk menjerat perempuan juga mengeksploitasi kerentanan ini. “Mereka menawarkan cinta, juga memanjakannya dengan materi dan janji pernikahan,” ujarnya.
Seperti Merri, dia dijanjikan untuk menikah dengan Jerry, yang berkewarganegaraan Afrika tetapi mengaku sebagai orang Kanada. Bahkan, mereka sempat berlibur ke Nepal selama 3 hari, sebelum akhirnya Merri diberi tas.
“Caranya selalu begini, dikasih tas baru. Alasannya karena yang lama jelek, lanjut Venny. Para wanita tersebut tidak menyangka tas mereka berisi narkoba.
Bagi mereka yang tertangkap, aparat keamanan mempunyai cara tersendiri untuk membuat mereka ‘mengaku’. Merri mengalami penyiksaan fisik dan seksual dari pihak berwenang hingga dia mengatakan sesuatu yang menyatakan bahwa narkoba tersebut adalah miliknya.
Karena tidak mau, dia dibawa ke hotel, dibelai bahkan hampir diperkosa. Cara ini tidak hanya terjadi pada Merri. Venny mengetahui, 4 terpidana mati perempuan lainnya juga pernah mengalami kejadian serupa.
“Ini adalah upaya intimidasi,” katanya. Tak hanya itu, mereka juga rata-rata miskin dan tidak bisa menunjuk sendiri kuasa hukumnya sehingga harus bergantung pada kuasa hukum yang disediakan negara.
Misalnya, pengacara Merri yang dinilai Komnas Perempuan agak kurang semangat memperjuangkan penderitaannya di pengadilan. Padahal, pemerintah harus menjamin hak dan keselamatan warganya, ujarnya.
Rekomendasi Komisi Nasional Perempuan
Selain surat tersebut, Komnas Perempuan juga meminta negara mengkaji dan mempertimbangkan eksekusi tersebut. Selain itu, permohonan remisi Merri juga harus dikabulkan.
Agar segala upaya hukum dapat diberikan kepada terpidana mati dan agar negara tidak lalai dalam mengambil nyawa orang yang seharusnya dilindungi,” kata Azriana.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah juga mengatakan, sistem penyidikan dan penanganan perempuan korban perdagangan manusia harus ditingkatkan. Cara-cara kekerasan dan intimidasi harus ditinggalkan dan petugas harus lebih terbuka mendengarkan cerita korban.
“Juga memperkuat sistem bantuan hukum untuk memperoleh akses keadilan dan proses hukum yang adil dan komprehensif,” ujarnya. Dalam prosesnya, kita juga diharapkan untuk berhati-hati dan menghindari hukuman mati.
Ratusan orang menunggu untuk mati
Saat ini, dari 192 terpidana mati lainnya, Komnas Perempuan baru berhasil bertemu 5 orang perempuan yang namanya dicantumkan. Sisanya masih di luar negeri. “Kami bertemu dengan 11 pekerja migran yang dijatuhi hukuman mati di negara lain. “Mereka berharap negara membela mereka,” kata Venny.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, terdapat 208 TKI lainnya di luar negeri yang hidupnya akan berakhir di tangan algojo asing. Diharapkan pemerintah dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut agar tidak ada nyawa tak berdosa yang hilang sia-sia. -Rappler.com
BACA JUGA: