Komunitas internasional mengkritik artikel tentang penodaan agama
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Pasal penodaan agama dinilai menjadi ancaman bagi kelompok minoritas.
JAKARTA, Indonesia – Uni Eropa menyampaikan kritiknya terhadap keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menjatuhkan hukuman pidana penodaan agama kepada Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Selain diberhentikan sementara dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, Ahok juga harus tetap ditahan. (BA: Penahanan Ahok Pindah dari Cipinang ke Mako Brimob)
Uni Eropa selalu memuji kepemimpinan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar, negara demokrasi yang kuat, dan negara yang bangga dengan budaya toleransi dan pluralisme, tulis mereka dalam keterangan resmi, Selasa 9 Mei.
Bersama-sama, Indonesia dan Uni Eropa sepakat untuk melindungi dan memajukan hak atas kebebasan sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Hal ini mencakup kebebasan berpikir, berpendapat, beragama dan berkeyakinan. Semua elemen tersebut saling terkait dan saling berhubungan, serta melindungi hak setiap orang untuk mengekspresikan pendapatnya tentang agama dan kepercayaan sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.
Uni Eropa mengkritik adanya pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama yang dinilai berdampak serius terhadap kebebasan berpendapat dan beragama.
“Uni Eropa secara konsisten menyatakan bahwa undang-undang yang mengkriminalisasi penodaan agama jika diterapkan secara diskriminatif dapat menjadi ancaman,” kata mereka.
Kebebasan beragama dan berpendapat di Indonesia masih menjadi sorotan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut Pasal 156 huruf a merupakan ketentuan anti demokrasi yang jelas-jelas melanggar hak seseorang untuk mengutarakan pikiran dan sikap.
“Pasal 156a selama ini terbukti menjadi pembenaran bagi negara dan partai mayoritas yang intoleran untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas atau individu yang berbeda,” kata Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu, 10 Mei.
Mereka mendesak pemerintah dan DPR mengkaji ulang kalimat pelanggaran penodaan agama yang masih masuk dalam Rancangan KUHP. Penghapusan pasal ini dinilai sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip demokrasi dan penegakan hak asasi manusia.
Masyarakat juga diharapkan lebih menghargai kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Jika tidak hati-hati, siapapun bisa dijebloskan ke penjara hanya karena berbeda pendapat atau ekspresinya dianggap menyakiti perasaan orang lain. “Sesuatu yang sulit diukur secara obyektif,” ujarnya.
Melanggar standar hak asasi manusia internasional
Pendapat senada juga diungkapkan Asian Forum for Development and Human Rights Organization. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi agar segera mengubah hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Selain itu, mereka juga mengimbau kepada pemerintah dan lembaga legislatif untuk menghapus pasal penodaan agama yang terdapat dalam Keputusan Presiden nomor 1/PNPS/1965. Pasal 156a dihasilkan dari peraturan ini.
Undang-undang ini bertentangan dengan perjanjian hak asasi manusia internasional, khususnya yang tertuang dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diratifikasi Indonesia, kata mereka melalui keterangan tertulis yang diterima hari ini.
Adanya pasal penodaan agama juga melanggar standar hak asasi manusia. Hingga saat ini, pasal penodaan agama digunakan untuk mengkriminalisasi keyakinan dan praktik keagamaan kelompok minoritas. Menurut mereka, Ahok justru menjadi sasaran empuk praktik kriminalisasi pasal tersebut. Sebab selain keturunan Tionghoa, Ahok juga beragama Kristen.
Selain Ahok, kasus penodaan lain yang masuk dalam catatan mereka adalah yang menimpa Lia Eden pada 2009 dan Tajul Muluk pada 2012.– Rappler.com