
Konflik Laut Cina Selatan, Apa yang Perlu Diketahui?
keren989
- 0
Terkait konflik di kawasan Laut Cina Selatan, apa saja yang menjadi perdebatan dan apa dampaknya bagi Indonesia?
JAKARTA, Indonesia – Pengadilan Arbitrase (PCA) di Den Haag, Belanda akan memutuskan perselisihan antara Filipina dan China di Laut Cina Selatan pada hari Selasa. 12 Juli 2016. Sebelumnya, Filipina mempermasalahkan klaim China atas wilayah bernama Laut Filipina Barat.
Keputusan PCA akan berdampak tidak hanya pada kedua negara yang bertikai. Negara tetangga mereka di Asia Tenggara dan Timur serta Amerika Serikat akan mengalami perubahan zonasi maritim. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kepentingan terhadap lautan seluas 3,5 juta kilometer persegi ini.
klaim Tiongkok
Perairan ini mempunyai potensi yang sangat besar. Setiap tahunnya barang senilai US$5 triliun melewati jalur ini karena menghubungkan Asia dengan Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
Tak hanya perairannya saja, ia juga mempunyai sumber daya alam yang luar biasa. Laut Cina Selatan diyakini menyimpan 11 miliar barel minyak dan 190 miliar meter kubik gas alam.
Negara-negara di kawasan ini, seperti China, Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, berlomba-lomba meninggalkan ‘marker’ berupa pangkalan militer. Langkah ini diambil sebagai bentuk klaim atas suatu wilayah tertentu.
Namun, dalam 20 bulan terakhir, langkah Tiongkok dalam menentukan hak properti di kawasan ini semakin agresif. Mereka mengklaim pulau 17 kali lebih banyak dibandingkan negara lain – bahkan mulai merambah wilayah negara lain.
Untuk wilayah Indonesia, kejadian ini terjadi di perairan Natuna.
Saat dikonfrontasi, pihak Tiongkok membantah bahwa mereka ‘memasuki tanpa izin’ karena wilayah tersebut adalah wilayah mereka. Klaim ini didasarkan pada ‘kawasan 9 garis putus-putus’ yang sudah ada sejak rezim Kuomintang pada tahun 1947.
Peta tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok menguasai lebih dari 2 juta km2 wilayah Laut Cina Selatan. Dimulai dari Pulau Hainan di bagian selatan daratan Cina, membentuk kurva sepanjang 1.611 kilometer menuju Indonesia.
Garis Kuomintang ini bersinggungan dengan sejumlah wilayah ‘milik’ negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang semuanya menggunakan basis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Klaim Tiongkok ini semuanya didasarkan pada catatan sejarah dan peta kuno.
protes Filipina
Filipina mengatakan klaim Tiongkok di wilayah tersebut tidak berdasar karena bertentangan dengan Konvensi PBB (Unclos). Dalam hal ini, catatan atau catatan sejarah tidak bisa dianggap sebagai landasan hukum zonasi.
Dalam gugatan yang diajukan ke PCA, Filipina menyatakan bahwa “tidak ada negara atau pulau di Laut Cina Selatan yang dapat menampung kawasan 9 garis putus-putus”.
Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan bahwa klaim teritorial Tiongkok adalah ‘ilegal’ dan melanggar batas wilayah.
Dampak dari keputusan pengadilan?
Jika PCA memutuskan untuk memenangkan gugatan Filipina, Tiongkok tidak lagi dapat menggunakan klaim historis mereka. Hal ini juga menguatkan argumentasi Filipina bahwa penghitungan wilayah maritim dimulai dari daratan, bukan dari bebatuan, seberapa pun besarnya.
Selain itu, 9 jalur China juga dipastikan sudah tidak bisa lagi dijadikan markas.
Namun jika PCA menolak gugatan tersebut, maka kekuatan Tiongkok di kawasan Laut Cina Selatan akan semakin kuat. Artinya, Amerika yang telah menjalin kerja sama dengan negara-negara lain di kawasan, kalah dalam hal dominasi di kawasan. Kekuatan Tiongkok di sana tidak akan bisa dikalahkan lagi.
Apapun hasil yang keluar besok, banyak pengamat memperkirakan bahwa Tiongkok tidak akan menerima atau menyerah begitu saja. Mereka akan tetap mempertahankan pendapatnya dan berpotensi meningkatkan konflik dengan negara lain di kawasan Laut Cina Selatan.
Dampaknya bagi Indonesia?
Wilayah Indonesia yang dianeksasi 9 garis China berada di perairan Natuna. Sebelumnya, kondisi sempat memanas akibat insiden antara kapal perang Indonesia dan China. KRI Imam Bonjol milik TNI Angkatan Laut menangkap kapal ikan Han Tan Cou 19038 yang beroperasi di kawasan Laut Natuna pada pertengahan Juni lalu.
Saat itu, dua kapal Penjaga Pantai (penjaga pantai) China dengan nomor lambung 3303 dan 2501 bergantian menuntut pembebasan kapal nelayan berbendera China tersebut oleh kapal TNI Angkatan Laut. Kebanyakan pihak melihat tindakan ini sebagai bentuk pelecehan Tiongkok terhadap kedaulatan maritim Indonesia.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebelumnya mengatakan TNI telah melakukan tindakan pencegahan untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Harapan kita bisa tangkap (kapalnya), kalau tidak ditangkap ya tidur saja, kata Gatot.
Menurut Gatot, TNI semakin mengintensifkan pengawasan dengan mengerahkan lima pesawat KRI dan CR 212 untuk melakukan pengintaian. Intervensi Tiongkok dalam kasus ini bisa mengancam pendapatan kelautan Indonesia. Pasalnya, kawasan Natuna sangat kaya akan sumber daya alam, dan berpotensi memangkas pendapatan pemerintah dari sektor tersebut. – Rappler.com