• November 27, 2024

Korban tsunami Aceh yang minta disuntik mati

BANDA ACEH, Indonesia — Berlin Silalahi (46 tahun) hanya bisa berbaring di dapur kantor Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Ia didampingi istrinya Ratna dan anak bungsunya, Fitria yang masih anak-anak.

“Itu kondisiku, kakiku sulit digerakkan. “Kondisi medisnya adalah peradangan tulang,” kata Berlin kepada Rappler yang ditemuinya, Rabu, 17 April 2017.

Berlin mengatakan dia telah lumpuh selama hampir tiga tahun. Korban Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 tercatat sebagai warga Desa Merduati, Banda Aceh.

Saat tsunami melanda, istrinya sedang mengandung anak pertama. Rumah yang mereka sewa hancur. Namun Berlin dan istrinya selamat. Mereka kemudian tinggal di kamp pengungsi.

Mereka sempat berpindah barak sebelum akhirnya tinggal di Barak Bakoy, Aceh Besar, bersama puluhan kepala keluarga lainnya yang belum menemukan rumah.

Namun pada akhir April 2017, barak tersebut digusur oleh pemerintah Aceh Besar. Berlin dan pengungsi lainnya dijanjikan bantuan perumahan. Namun bantuan tidak pernah datang.

Berlin yang kesakitan menjadi semakin tidak berdaya. “Aku tidak tahan lagi, aku sakit dan tidak ada tempat berlindung,” keluh Berlin.

Di puncak keputusasaannya, Berlin kemudian mengajukan permohonan suntikan mematikan (eutanasia) ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. “Saya mengajukan suntikan mematikan ke pengadilan,” ujarnya.

Sakit kaki di Berlin dimulai secara tiba-tiba tiga tahun lalu. Saat itu ia menderita asma dan asam urat. Berlin kemudian berangkat ke Lhokseumawe untuk berobat. Saat itu, biaya pengobatan ditanggung oleh adiknya.

Saat menjalani perawatan, Berlin tiba-tiba tidak bisa menggerakkan kakinya. Ia kemudian kembali ke rumah sakit di Lhokseumawe untuk mendapatkan perawatan. Di sana, dokter mendiagnosis dia menderita radang tulang. “Kalau begitu, saya tidak punya uang lagi,” katanya.

Berlin kemudian dibawa kembali ke Banda Aceh untuk menjalani perawatan di RS Meuraxa. Di sini rasa sakitnya justru bertambah parah. Keluarganya kemudian mencari pengobatan alternatif dengan ramuan tradisional yang diminumnya.

Ada kemajuan, kakinya mulai bisa digerakkan, namun ia masih terlalu lemah untuk berjalan. “Duduk juga tidak bertahan lama,” kata Berlin.

Merasa tidak berguna lagi, Berlin secara mengejutkan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan suntikan mematikan. Untuk itu, ia meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum YARA.

Namun pada saat yang sama, Berlin masih menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh. “Saya minum obat dua kali sebulan,” kata istrinya.

Menurut Ratna, dirinya tidak senang dengan keputusan suaminya yang meminta suntikan mematikan. Namun ibu dua anak ini juga tak kuasa melarang keputusan suaminya.

Padahal, sebelum jatuh sakit, Berlin bekerja sebagai tukang reparasi dan mampu menghidupi keluarganya. Sedangkan Ratna hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.

Untuk kelangsungan hidup sehari-hari, Berlin dan keluarganya bergantung pada kebaikan tetangganya. Anak sulungnya, Tasya, dititipkan kepada keluarganya.

Puspa Dewi, tetangga Berlin di barak, mengaku khawatir dengan kondisi yang dialami keluarga Berlin. “Saya sering melihat mereka tidak makan karena tidak ada apa-apa,” ujarnya.

Menurut Puspa, 18 orang korban tsunami yang diusir dari barak kini ditampung di kantor YARA. Dapur kantor telah diubah menjadi ruang tamu. Sejumlah warga mendirikan tenda di garasi kantor di Jalan Pelangi, Kampung Keramat, Banda Aceh.

Ada 6 KK disana yang tinggal, ada pula yang tergusur memilih tetap tinggal bersama keluarganya. Sambil menunggu keadilan.

Para korban pun melaporkan ke Komnas HAM mengenai penggusuran tersebut. Komnas HAM juga mengirimkan surat kepada pemerintah Aceh Besar untuk menindaklanjuti pengaduan korban penggusuran barak pada 15 Mei 2017.

Dalam surat yang ditandatangani Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh Sepriady Utama, mereka meminta hak-hak korban tsunami segera dipenuhi.

Rekomendasi disampaikan dengan mempertimbangkan pasar; 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab atas perlindungan, pemeliharaan, dan pemajuan hak asasi warga negara.

Sidang eutanasia dimulai

Sidang euthanasia pertama dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 2017 di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Saat itu, Berlin berhalangan hadir karena kondisinya tidak memungkinkan.

Sidang dilakukan oleh hakim tunggal, Ngatemin, hanya untuk mendengarkan keterangan saksi.

Kedua saksi yang dihadirkan merupakan tetangga korban Puspa Dewi dan Habibah.

“Saya hanya diminta oleh hakim untuk menceritakan kepada saya tentang Tuan. Kondisi Berlin, saya ceritakan semuanya,” kata Puspa kepada Rappler. Hadir pula kuasa hukum YARA, ketua Safaruddin dan sekretaris, Fakhrurrazi.

Menurut Fakhurrazi, agenda sidang hanya penyelidikan awal dengan pembacaan permintaan Berlin untuk disuntik mati karena kondisinya. “Hakim mempelajari maksud dan tujuan euthanasia,” ujarnya.

Sedangkan sidang kedua dilaksanakan pada Kamis sore, 18 Mei 2017. Agendanya adalah mendengarkan saksi ahli terkait rekam medis penyakit yang dialaminya. Saksi yang dihadirkan berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Euthanasia atau suntik mati tidak diatur dalam hukum positif Indonesia. Tapi, kata Fakhrurrazi, tidak boleh ada kekosongan hukum ketika ada warga yang mengajukan permohonan ke pengadilan.

“Demikian pula ketika mereka meminta kami sebagai lembaga bantuan hukum untuk membantu mereka, kami wajib membantu.”

Mengenai apa keputusan yang akan diambil, Fakhurrazi mengatakan kemungkinan besar hakim akan mencari celah hukum terbaik bagi Berlin. Sehingga keadilan bagi korban terpenuhi.

Selain membantu kasus Berlin, YARA yang menampung korban pengusiran Barak Bakoy di kantornya juga berupaya mencari keadilan bagi mereka. —Rappler.com

login sbobet