KPI: Pernikahan anak masih tinggi
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Pernikahan anak masih menjadi permasalahan yang disoroti oleh anak-anak di Indonesia. Setiap tahun hampir 1 juta anak menjadi korban.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tahun 2015. Pada tahun 2012, sebanyak 989.814 anak menikah; sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 954.518 anak; pada tahun 2014, 722.518 anak; dan pada tahun 2015 terdapat kurang lebih 750 ribu anak.
Namun, Dian Kartikasari, Sekjen KPI, memperkirakan angka sebenarnya yang tidak tercatat bisa tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan angka yang tercatat di KUA. Karena tidak ada kewajiban bagi pihak yang menikah di luar nikah untuk melaporkannya, ujarnya, Minggu, 23 Juli 2017 di Jakarta.
Alasan orang tua terburu-buru menikahkan anaknya adalah karena alasan ekonomi. Dian mencontohkan di Jawa Barat, anak yang sudah mencapai usia sekolah menengah akan segera dikawinkan dan setelah bercerai akan keluar sebagai pekerja migran.
Tak heran jika provinsi ini menjadi wilayah dengan angka pernikahan anak tertinggi; disusul Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah, NTB, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, dan Riau.
Selain ekonomi, alasan moral juga membuat para orang tua tidak ingin anaknya terlalu lama melajang. “Mereka takut akan hal itu seks bebas dan sebagainya,” kata Dian.
Selain itu, sebagian kecil korban pemerkosaan juga menikah dengan pelaku. Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin, mengatakan tindakan ini hanya akan semakin memperumit masalah dan melanggengkan budaya pemerkosaan.
“Dia mengira dengan menikah masalahnya akan terselesaikan. “Tidak, harus dikriminalisasi, masyarakat harus berani mengkriminalisasi,” ujarnya.
Lambat dalam mengambil tindakan
Upaya berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memerangi perkawinan anak telah berlangsung sejak lama. Pada tahun 2014, Zumrotin mengajukan uji materi Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (KH).
Pasal ini mengatur mengenai usia perkawinan bagi anak, dimana anak perempuan harus berusia minimal 16 tahun. Dia meminta batas minimalnya adalah 19 tahun. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan tersebut, dengan alasan dalil-dalil yang diajukan pemohon tidak mempunyai dasar hukum.
Namun dari sembilan hakim konstitusi yang memutus perkara ini, terdapat satu pendapat lain (perbedaan pendapat) Hakim Maria Farida Indrati. Dia ingin permintaan itu dikabulkan.
Setelah gagal, ujian materi yang sama kembali diajukan pada tahun ini. Tim masih menunggu keputusan sidang lengkap hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui apakah permohonan uji materi tersebut diterima atau tidak.
Supriyadi Eddyono dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku tim kuasa hukum berharap persidangan kali ini tidak bernasib sama seperti sebelumnya. Harapan muncul dari perubahan susunan hakim konstitusi.
Setidaknya pendapatnya bisa lebih beragam, karena sejujurnya tidak ada gunanya lagi mempertahankan pernikahan anak, kata Eddy. Setidaknya kali ini diharapkan perbedaan pendapat akan berkurang dibandingkan sebelumnya.
Selain revisi substantif, pada tahun 2016 koalisi juga mengajukan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang pencegahan dan penghapusan perkawinan anak.
Isinya disusun bersama Deputi V Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan diserahkan ke Kantor Personalia Presiden. Namun sejak Desember 2016, belum ada kejelasan mengenai sikap Presiden Joko “Jokowi” Widodo terkait isu ini.
Berbeda dengan kekerasan seksual, pemerintah lambat dalam menangani masalah ini, kata Dian. Ia memahami persoalan ini kerap mendapat perlawanan dari kelompok agama radikal.
Alasan yang paling sering digunakan adalah ‘karena tidak diatur dalam Alquran, maka undang-undang tidak perlu mengatur batas minimal usia menikah.’ Oleh karena itu, KPI mulai melakukan pendekatan kepada kelompok agama untuk mengubah paradigma tersebut.
Pendekatannya lebih banyak dilakukan pada kelompok di tingkat kabupaten kota sehingga lebih mudah menjangkau masyarakat. Ia dan Zumrotin juga banyak menyebarkan tafsir agama yang mendukung pendewasaan jasmani dan rohani anak sebelum menikah.
Salah satu yang diilustrasikan Zumrotin adalah tafsir Quraish Shihab. “Dulu artinya sudah matang atau belum masa pubertas itu bukan hanya fisik. Jika seorang wanita sudah dewasa, pada saat itulah dia mendapat menstruasi, dan anak-anak berusia 8 tahun sudah bisa menstruasi. Apakah sudah dewasa? Belum. Tapi ada juga Akhil atau nalar yang artinya matang dalam berpikir, itu yang sering dilupakan,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah dapat mengambil tindakan preventif dengan cepat, sebab persoalan ini sudah lama menjadi sorotan dunia. Untungnya, pemerintah daerah secara perlahan mulai mengeluarkan larangan pernikahan anak.
Beberapa di antaranya adalah Peraturan Bupati Gunungkidul Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang diterbitkan pada 24 Juli 2015 dan Surat Edaran Gubernur NTB Nomor 150/1138/Kum tentang Usia Menikah (PUP). Peraturan ini merekomendasikan usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun.
“Di wilayah regional, mungkin karena dampaknya langsung terasa, pengobatannya cepat. “Kalau pusat banyak pertimbangan politik, bisa jadi pemerintah takut tidak populer atau banyak dikritik,” kata Dian.
Sebelumnya, BPS dan UNICEF merilis laporan yang menyebutkan angka pernikahan anak di bawah 18 tahun sebesar 23 persen. Atau, setidaknya satu dari lima wanita menikah berusia 20-24 tahun melakukan pernikahan pertamanya sebelum usia 18 tahun. -Rappler.com