KPK kemungkinan akan kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka
- keren989
- 0
ICJR meminta pemerintah menerbitkan PP tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana Praperadilan secara komprehensif
Jakarta, Indonesia – hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini mengabulkan sidang perdana Setya Novanto terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setya Novanto, Ketua Partai Golkar yang juga Ketua DPR RI ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada 17 Juli 2017 oleh KPK. Putusan Praperadilan memenangkan gugatan Novanto karena beberapa alasan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat setidaknya ada beberapa alasan hakim mengabulkan gugatan Novanto, di antaranya hakim menganggap ada kesalahan prosedur karena Setya di awal dan bukan di akhir tidak ditetapkan sebagai tersangka. penyelidikan.
Hakim juga berpendapat alat bukti yang diajukan KPK dinilai tidak sah karena digunakan dalam persidangan orang lain, demikian keterangan tertulis ICJR yang diterima Rappler, Jumat, 29 September.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ICJR mempunyai beberapa catatan;
PertamaCatatan penting, putusan praperadilan ini tidak menggugurkan kewenangan KPK untuk menetapkan kembali yang bersangkutan sebagai tersangka.
Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Sepanjang KPK yakin dan mempunyai 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016, bisa saja Setya Novanto tetap ditetapkan sebagai tersangka,” kata ICJR.
Kedua, ICJR menyoroti alasan hakim menyatakan ada kesalahan prosedur karena penetapan tersangka dilakukan di awal penyidikan. Menurut ICJR, Idealnya, penyidikan dilakukan untuk mengungkap suatu tindak pidana dan menemukan tersangka. Namun tidak dapat diabaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (2) PERMA no. 4 Tahun 2016 yang menyatakan sah atau tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan “aspek formil” melalui paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah.”
Dalam keterangan yang ditandatangani Direktur Eksekutif Supriyadi W. Eddyono, ICJR mempertimbangkannya Sepanjang KPK dapat menunjukkan adanya 2 (dua) alat bukti yang sah untuk menetapkan Setya sebagai tersangka, maka secara normatif maka sidang pendahuluan sudah tidak relevan lagi dalam menilai konteks atau penetapan tersangka pada awal atau penempatan. di akhir penyelidikan.
“Perlu diketahui bahwa dalam praktek dan teori yang dimaksud dengan “aspek formil” adalah aspek memperoleh dan memvalidasi alat bukti, bukan kaitannya dengan penilaian hakim terhadap alat bukti tersebut. Oleh karena itu, hakim harus fokus dalam menentukan apakah bukti-bukti yang diperoleh KPK untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka sah atau tidak, kata Supriyadi.
KetigaYang paling menarik adalah ketika hakim mengatakan bahwa alat bukti yang diajukan tidak bisa menjadi alat bukti yang digunakan dalam perkara lain.
“Memang pertimbangan tersebut cukup membingungkan karena hukum pidana mengenal berbagai ketentuan dan teori yang secara langsung memberikan peluang pembuktian untuk digunakan terhadap lebih dari satu tersangka atau terdakwa,” kata mereka.
Misalnya, dalam konteks aturan pencantuman yang diatur dalam Bab V KUHP, dimungkinkan satu alat bukti, misalnya seorang saksi yang melihat terjadinya suatu tindak pidana, dapat melihat lebih dari satu orang yang melihat suatu tindak pidana. perbuatan melakukan Dalam prakteknya, jika suatu perkara diselidiki secara terpisah, maka salah satu saksi yang merupakan bagian dari alat bukti sesuai dengan pasal 184 KUHAP, sah digunakan sebagai alat bukti dalam kedua penyidikan perkara tersebut.
Hal ini berlaku pula terhadap alat bukti lain seperti surat, sepanjang dapat menjelaskan kaitan dan membuktikan telah terjadi suatu tindak pidana untuk memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Dalam kasus korupsi terorganisir terdapat peluang besar untuk berpartisipasi. Oleh karena itu mengejutkan bahwa bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus yang melibatkan terdakwa lain.
LLebih lanjut, kembali ke poin kedua di atas, kata ICJR, hakim harus menilai “aspek formal” alat bukti saja, bukan penilaian terhadap alat bukti. Hal inilah yang menjadi domain dan kewenangan penyidikan perkara utama di ruang sidang.
Namun perlu digarisbawahi bahwa catatan ICJR di atas tentu saja tidak terlepas dari belum adanya pengaturan yang komprehensif mengenai perkara praperadilan, meskipun PERMA No. 4 Tahun 2016 telah hadir, namun belum mampu menutup banyak kesenjangan yang masih ada.
Terdapat permasalahan jangka waktu dan permasalahan hukum acara dalam perkara praperadilan yang tidak jelas dan abu-abu antara perdata dan pidana yang tentu saja menimbulkan situasi ketidakpastian hukum, dan masih banyak permasalahan lainnya.
Berdasarkan hal tersebut, ICJR meminta pemerintah segera mengatasi situasi ini dengan mengambil langkah cepat dan responsif, salah satunya dengan menerbitkan aturan peralihan berupa peraturan pemerintah untuk mengatur Undang-Undang Acara Praperadilan yang lebih komprehensif, ” kata ICJR. – Rappler.com