
Kronologi batalnya pembahasan tragedi 1965 di Festival Penulis dan Pembaca Ubud
keren989
- 0
UBUD, Indonesia – Hari ini, Kamis 29 Oktober, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) kembali digelar. Festival tahunan penulis dan pembaca buku ini telah diselenggarakan sebanyak 12 kali. Namun, tahun ini ada sejumlah pembatalan dan pertanyaan.
Seminggu sebelum pelaksanaan UWRF, panitia membatalkan rencana diskusi, pemutaran film dan bedah buku terkait peristiwa 1965. Penyelenggara UWRF mengumumkan pembatalan tersebut melalui situs resminya pada Jumat lalu. Beberapa isinya seperti di bawah ini.
“Hari ini, Jumat 23 Oktober 2015, dengan berat hati Ubud Writers & Readers Festival secara resmi mengumumkan bahwa beberapa sesi telah dibatalkan.
Tiga diskusi panel terkait Rekonsiliasi dan Pemulihan, pemutaran film Tampilan Keheningan karya Joshua Oppenheimer, dan pameran serta peluncuran buku Hukum Kehidupan tidak dapat dilaksanakan. Karena alasan tertentu, program ini harus dibatalkan.”
Namun panitia tidak menjelaskan secara jelas alasan pembatalan tersebut. Mereka hanya berkata, “Untuk beberapa alasan, pertunjukan ini harus dibatalkan.”
Belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai alasan dan bagaimana cerita dibalik pembatalan tersebut.
Jadi seperti apa sebenarnya ceritanya? Kata Manajer Program UWRF Indonesia I Wayan Juniarta kepada Rappler.
‘Tidak perlu subjek komunisme atau 1965’
Tanda-tanda akan dibatalkannya berbagai kegiatan sudah muncul sejak 8 Oktober lalu. Petugas camat dan polisi sektor setempat mengunjungi kantor UWRF di Ubud, Gianyar. Mereka menanyakan apakah memang akan ada acara tentang tragedi 1965 di UWRF kali ini.
Tema UWRF tahun ini adalah “17.000 pulau kaya imajinasi”. Hal ini mencakup rencana beberapa program besar mengenai rekonsiliasi dan restorasi setelah tahun 1965. Misalnya, pemutaran film dokumenter Tampilan Keheningan karya Joshua Oppenheimer dan pameran serta peluncuran buku Hukum Kehidupan tentang ibu-ibu yang selamat dari kekerasan tahun 1965.
Pihak kepolisian kecamatan dan setempat yang juga bertugas memberikan rekomendasi izin pelaksanaan UWRF meminta penyelenggara fokus pada tujuan awal UWRF sebagai media promosi pariwisata. Tidak boleh ada topik tentang komunisme, Partai Komunis Indonesia (PKI) atau peristiwa 1965, tanya mereka.
“Kalau masih ada pembahasan soal 1965, mereka tidak akan membuat rekomendasi izin,” kata Juniarta.
Sejak 8 Oktober lalu, telah terjadi pembicaraan intensif antara pihak kepolisian, kecamatan, TNI dan pihak penyelenggara.
Menurut Juniarta, polisi melanggar landasan hukum keputusan MPRS Nomor. XXV Tahun 1966. Ketetapan MPRS yang disahkan pada tanggal 5 Juli 1966 membubarkan PKI, menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang, dan melarang kegiatan yang menyebarkan ideologi atau doktrin Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk menyebar atau berkembang. .
Suka atau tidak suka, aturan tersebut tetap ada dan berlaku, kata Juniarta.
Aturan larangan diskusi atau kegiatan menyebarkan ideologi komunisme digunakan polisi meski tidak dituangkan di atas kertas. Juniarta menambahkan, izin kegiatan harus diperoleh dari Mabes Polri karena UWRF merupakan kegiatan berskala internasional.
‘Tragedi 1965 tidak ada hubungannya dengan promosi pariwisata’
Setelah mendapat nasehat pertama, Jun menghubungi Janet DeNeefe dan Ketut Suardana. Janet adalah penggagas dan direktur UWRF. Sedangkan Ketut merupakan pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati selaku penyelenggara peristiwa UWRF setiap tahunnya. Karena keduanya masih berada di Jerman untuk menghadiri Pameran Buku Frankfurt, mereka belum bisa mengambil keputusan.
Kamis pekan lalu, penyelenggara UWRF mengadakan rapat koordinasi. Selain pendirian, turut hadir Kapolsek Ubud, Lurah Ubud, dan Wakil Komandan Koramil (Wadanramil) Ubud. Dalam pertemuan tersebut, polisi kembali menyampaikan imbauan kepada penyelenggara festival untuk fokus pada tujuan festival, promosi pariwisata, dan budaya.
Pembahasan peristiwa 1965 tidak dianggap berkaitan dengan pariwisata dan promosi budaya, kata Juniarta.
Sehari setelah rapat koordinasi di kantor UWRF Ubud, penyelenggara UWRF diundang untuk rapat lagi di Mapolres Gianyar. Kali ini bersama anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Fokorpimda) Kabupaten Gianyar. Pimpinan daerah yang hadir antara lain Kapolda Gianyar, Kepala Kejaksaan Gianyar, dan Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam pertemuan tersebut, menurut Juniarta, polisi kembali menyampaikan imbauan kepada UWRF agar tidak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan komunisme dan 1965. Ketut Suardana selaku Ketua Yayasan Mudra Saraswati pun menerima imbauan tersebut. Mereka pun sepakat untuk membatalkan berbagai agenda yang berkaitan dengan PKI, komunisme, atau peristiwa 1965.
“Kita harus memikirkan dampak yang lebih besar jika tidak mendapat izin untuk menyelenggarakan Ubud Writers and Readers Festival,” kata Juniarta. Selain itu, tambahnya, Ketut juga menegaskan bahwa UWRF berada di wilayah Indonesia sehingga harus mematuhi hukum Indonesia.
Setelah pihak penyelenggara sepakat untuk membatalkan segala kegiatan yang berkaitan dengan tahun 1965, keluarlah izin dari Mabes Polri. Persetujuan untuk UWRF memang merupakan kegiatan konservasi, pengembangan dan pertukaran lintas budaya internasional.
Izinnya sendiri dikeluarkan pada 20 Oktober 2015 di Jakarta dengan tanda tangan Kepala Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri. Namun, surat izin tersebut disertai dengan empat poin ilmu. Penanggung jawab kegiatan antara lain wajib mencegah terjadinya penyimpangan terhadap tujuan kegiatan.
Poin lainnya, jika terjadi kejanggalan, pihak kepolisian dan/atau pihak keamanan bisa merinci kegiatannya.
Bukan hitam-putih kalau polisi melarang pembahasan terkait peristiwa 1965. Kapolres Gianyar AKBP Farman juga mengatakan tidak ada intervensi atau pelarangan terhadap UWRF. “Program (1965) yang dibatalkan panitia, bukan polisi,” kata Farman.
‘Skenario besar membungkam kebenaran tahun 1965’
Berdasarkan informasi di website, setidaknya ada tujuh kegiatan terkait peristiwa 1965 yang dibatalkan. Selain pemutaran film Tampilan Keheningan dan peluncuran buku Hukum Kehidupanrencana diskusi tentang proyek musik Lagu penjaraadalah lagu-lagu para penyintas peristiwa 1965 yang dibatalkan.
Roro Sawita, aktivis komunitas Bali ’65 yang mendampingi penyintas peristiwa 1965, menyayangkan pembatalan tersebut meski tak terlalu terkejut.
“Sudah diprediksi akan ada pembatalan. “Ini hanyalah salah satu bagian dari skenario besar yang membungkam pengungkapan kebenaran peristiwa 1965,” ujar alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini.
Ia mengatakan, contoh pelarangan Tom Iljas di Sumatera dan pelarangan Majalah Lentera di Salatiga membuktikan pemerintah masih alergi dengan pembahasan peristiwa 1965.
Roro rencananya akan tetap mengikuti sesi tersebut Lagu penjarasebuah proyek untuk merekam lagu-lagu dari para penyintas tahun 1965. Pada Jumat, 30 Oktober 2015, Roro seharusnya berbincang dengan Made Mawut dan Nyoman Angga, musisi yang terlibat dalam proyek tersebut.
Namun panitia kemudian membatalkan sesi serta rencana kegiatan lain di festival buku terbesar se-Asia Tenggara itu. —Rappler.com
BACA JUGA: