• May 8, 2025

Laporan tindakan intoleransi beragama dan beragama meningkat pada tahun 2016

Baru kali ini Jakarta menjadi provinsi yang intoleran.

JAKARTA, Indonesia — Jumlah tindakan intoleransi di Indonesia meningkat pada tahun 2016. Hasil survei Setara Institute pada tahun lalu mencatat 208 peristiwa kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, disertai 270 tindakan.

Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2015 yang tercatat 197 kejadian dan 236 aksi. “Meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu,” kata Peneliti Kebebasan Beragama Setara Institute, Halili, di Jakarta, Minggu, 29 Januari 2017.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masuknya Jakarta sebagai salah satu daerah dengan kejadian intoleransi terbanyak. Sebelumnya, Jakarta belum pernah masuk sepuluh besar. Namun tahun ini ia berada di posisi kedua dengan 31 item.

Jawa Barat masih menduduki peringkat pertama dengan 41 event, dan peringkat ketiga ditempati Jawa Timur dengan 22 event. Peneliti Setara Institute Sudarto mengatakan masuknya Jakarta karena isu agama yang dipolitisasi.

“Pilkada atau politik yang mengeksploitasi isu agama,” ujarnya. Yang dia maksud adalah peristiwa penodaan agama yang melibatkan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Tuduhan ini memicu protes besar-besaran yang menuntut Ahok dipenjara.

Pemerintah lemah

Sudarto dan Halili menilai peran pemerintah masih minim. Akibatnya, tingkat represi terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas masih tinggi.

“Katalis umum terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok minoritas adalah menguatnya kelompok intoleran dan lemahnya kebijakan dan peraturan pemerintah,” kata Halili.

Ia menilai selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, belum ada kemajuan berarti dalam hal kebebasan beragama. Saat ini, lanjut Halili, fokus pemerintah masih pada kebijakan terkait pembangunan dibandingkan hak beragama.

“Mungkin bagi mereka persoalan ini biasa saja, jadi kesampingkan saja,” ucapnya.

Namun belakangan muncul beberapa kepala daerah yang berani melawan perilaku intoleransi. Seperti Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung yang menentang ormas penentang KKR di Sabuga ITB; atau Bupati Bantul Suharsono yang menolak memecat camat non-Muslim karena desakan masyarakat.

Lantas, bukankah ini berarti terjadi perubahan signifikan di Indonesia? “Ada, tapi jumlahnya sangat kecil. “Selain mereka, masih banyak bupati dan wali kota yang lemah wawasan keberagamannya, bahkan mereka bangga jika melakukan tindakan diskriminatif seperti yang dilakukan Bupati Bangka terhadap jemaah Ahmadiyah di sana,” kata Direktur Setara Institute tersebut. Hendardi, kata Rappler. pada hari Senin tanggal 30 Januari 2017.

Masih banyak tugas yang harus diselesaikan, seperti mengawasi peraturan daerah yang menimbulkan tindakan intoleransi; hingga politisasi masalah agama.

Data Setara menyebutkan, tindakan diskriminatif tidak hanya sekedar kebijakan, tapi juga berupa pernyataan yang mengandung provokasi. Juga tindakan pembiaran yang masih sering terjadi.

Hasil survei menunjukkan pelaku tindakan diskriminatif terbesar adalah PNS yakni sebanyak 140 tindakan. Sedangkan 42 aksi dilakukan warga dan 30 ormas.

Kebanyakan tindakan diskriminatif yang dilakukan pejabat pemerintah adalah kelalaian. Seringkali mereka diam ketika kelompok intoleran menekan atau melarang kelompok minoritas melakukan aktivitas.

“Itulah sebabnya Polri sering menjadi institusi yang terkena tuduhan kelalaian. “Sebagai isu keamanan hilir, hal ini tidak bisa dihindari,” ujarnya.

Meski demikian, diakui Hendardi, perubahan terlihat sejak awal Januari 2017. Sejumlah kepala daerah, institusi Polri, dan institusi kepresidenan mulai menunjukkan sikap tegas dalam membela pluralisme.

Jokowi berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional, meski hal ini masih kontroversial. Sementara itu, Polri melalui sejumlah Kapolda telah menunjukkan langkah memulihkan supremasi hukum dan konstitusi dengan komitmen menegakkan hukum terhadap kelompok intoleran.

Dukungan Kapolri kepada Polda menjadi momentum bagi masyarakat sipil untuk juga memberikan dukungan terbuka kepada Instansi Polri, pemerintah daerah, pemerintah pusat untuk terus menjaga momentum ini guna memperkuat keberagaman, ujarnya.

Sebagai catatan, pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun 2016 paling banyak menimpa kelompok organisasi keagamaan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), yakni sebanyak 36 peristiwa; peringkat kedua adalah perorangan warga negara dengan 33 kejadian; Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebanyak 27 kali; dan acara Syiah 23.

Laporan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan ini merupakan laporan ke-10 Setara Institute. Pemantauan dan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, analisis dokumen, FGD, dll daftar periksa.—Rappler.com

uni togel