Lima alasan mengapa seseorang menjadi teroris
- keren989
- 0
Mantan narapidana teroris yang pernah menjadi ideolog perampokan Bank CIMB Niaga di Medan ini menceritakan alasannya menjadi teroris.
MEDAN, Sumatera Utara – Apakah ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan ekonomi politik, dan aspek psikologis menjadikan seseorang menjadi teroris? Khoirul Ghozali menjawab: “Ya. Semua faktor tersebut dapat menjadi alasan yang mendorong terjadinya tindakan radikal dan kekerasan. “Agama membenarkan tindakan kekerasan,” kata pendiri Pondok Pesantren Al Hidayah ini, Rabu 22 Maret 2017, di hadapan ratusan generasi muda dari berbagai universitas dan karang taruna di Medan.
Di pesantrennya yang terletak di kawasan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, bapak 10 anak ini bernama Ustad. Siang itu, ia didaulat menjadi pembicara dalam acara bertajuk “Dialog Keterlibatan Mahasiswa dan Birokrasi dalam Upaya Membangun Sinergi Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Perguruan Tinggi”. Khoirul menjawab pertanyaan salah satu mahasiswa yang sempat ragu akan kelayakan dirinya menjadi narasumber pada acara tersebut, mengingat statusnya sebagai mantan narapidana.
Sebelum sesi tanya jawab, Khoirul menjelaskan alasannya, saat masih menjalani hukuman di penjara, ia bertaubat dan mempunyai ide untuk mendirikan pesantren khusus anak-anak eks narapidana teroris. “Kalau dihitung, dari seluruh narapidana kasus teror, baik yang masih menjalani hukuman maupun yang sudah kembali ke masyarakat, ada 1.800 anak-anak. “Jika negara tidak memberikan perhatian, mereka berpotensi mewarisi semangat jihad yang salah, seperti yang dilakukan ayah mereka,” kata Khoirul. Katanya, itu mengacu pada pengalaman hidup.
Khoirul divonis enam tahun penjara atas kasus perampokan Bank CIMB Niaga. Uang Rp 400 juta yang disita komplotannya yang melibatkan 16 orang itu akan digunakan untuk mendukung aksi teroris. Amaliyah. Khoriul menjalani hukuman empat tahun dua bulan setelah diberikan pembebasan bersyarat, pengurangan masa hukuman penjara.
Setelah dibebaskan, ia mengikuti program deradikalisasi yang dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pesantren Al-Hidayah merupakan pesantren pertama dan satu-satunya di Indonesia yang fokus mendidik anak-anak mantan teroris. Di kediaman Islam yang berdiri di atas lahan seluas 30 hektar itu, Khoirul juga melakukan kegiatan pelatihan kemandirian ekonomi antara lain bertani, pertukangan, dan beternak.
(BA: Pekerjaan Rumah Deradikalisasi Narapidana Terorisme)
Kepada generasi muda yang mengikuti seminar tersebut, Khoirul menjelaskan ada lima penyebab seseorang menjadi pelaku kejahatan kekerasan terorisme. “Ini adalah pengalaman pribadi saya,” katanya.
Pertama, keberanian menafsirkan Alquran dan hadis berdasarkan pemikiran sendiri. “Kami menafsirkannya sendiri karena kami telah didoktrin untuk berani menafsirkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan perut kami sendiri. Itu diajarkan oleh senior, dan senior diajar oleh lebih senior lagi. Silakan,” kata Khoirul.
Kedua, seseorang menjadi teroris karena paham takfiri. Mudahnya mengkafirkan orang lain, tidak hanya non-Muslim, tapi juga Muslim yang berada di luar kelompoknya.
Ketiga, karena sesuai dengan yurisprudensi, artinya mudah menuduh, mudah menghakimi. “Polisi, tentara, sedang dipertimbangkan toghut (berhala). Jadi, pemerintah, termasuk PNS, termasuk polisi, termasuk TNI, dianggap tidak menerapkan syariat Islam toghut Pemerintahan ini dianggap pemerintahan ilegal, ilegal.
Keempat, tafsir jihad filsabilillah artinya harus dengan kekerasan. Cara perang. Intinya, semua ayat kitab suci yang relevan dengan jihad dimaknai membolehkan perang. “Anak-anak mudah menerima konsep kekerasan, oleh karena itu kekerasan sering dilakukan oleh generasi muda,” kata Khoirul.
(BA: FAKTA Pelaku tindak pidana terorisme masih berusia muda)
Kelima, perlawanan terhadap pemerintah. “Pemerintah yang tidak menerapkan syariat Islam harus ditentang,” kata Khoriul. Menurutnya, lima hal di atas harus dicegah, khususnya di kalangan generasi muda, karena mereka salah paham terhadap Al-Qur’an dan hadis.
Suhardi Alius, Kepala BNPT, dalam wawancara khusus dengan Rappler mengatakan, pihaknya fokus menangani permasalahan sosial keluarga dan anak agar tidak tergoda mengikuti jejak ayahnya dan tidak menjadi teroris. Suhardi mengatakan, anak-anak teroris tidak boleh dipinggirkan.
BNPT tidak bisa menangani permasalahan sosial ini sendirian. BNPT kemudian mengoordinasikan 17 kementerian dan lembaga untuk terlibat aktif. “Kita harus tangani dari hulu. Mulai dari penyebabnya, hingga kapan napi kembali ke masyarakat, kata Suhardi. Ia menggarisbawahi bahwa pendekatan lunak adalah kunci untuk mencegah tindakan lebih lanjut. Mengurangi keinginan masyarakat untuk bergabung dengan organisasi teroris. “Anak-anak narapidana teroris tidak boleh dipinggirkan. Kita harus menerimanya. Jadikan anak angkat. “Keluarga diberikan penghidupan yang layak,” kata Suhardi.
Saat ini BNPT melaksanakan dua kegiatan sekaligus di wilayah Sumut. Di Pondok Pesantren Al-Hidayah, sekitar 40 santri dari berbagai sekolah di Medan dan sekitarnya bergabung dengan para santri untuk mengikuti pelatihan video pendek guna mempersiapkan festival video pendek yang diselenggarakan oleh BNPT. Aktor film Mathias Muchus juga turut terlibat memberikan materi pentingnya menjaga rumah besar Indonesia. “Ini adalah rumah yang kita bangun bersama, untuk seluruh warga negara Indonesia,” kata Mathias Muchus – Rappler.com