
Lima Tuntutan Aktivis Perempuan di RUU PKS
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Kaukus aktivis perempuan Indonesia menyepakati lima poin penting dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) usai berdiskusi di Komisi Nasional Perempuan pada Jumat, 24 Juni.
Apa saja lima poin tersebut? Perwakilan Komnas Perempuan dari Departemen Reformasi Hukum dan Kebijakan Sri Nurherwati menjelaskan:
Pertama, RUU PKS diharapkan dapat mengubah hukum dan memberikan akses keadilan bagi korban.
Kedua, RUU PKS diharapkan memberikan hak reparasi kepada korban dan keluarganya.
Ketiga, RUU PKS diharapkan dapat menindak pelanggar dan mengakhiri impunitas. Agar pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Sri.
Keempat, RUU ini diharapkan dapat merumuskan secara rinci tindakan pencegahan yang harus dilakukan oleh berbagai pihak terkait pencegahan kekerasan seksual. Baik di lingkungan pendidikan, fasilitas umum, berkaitan dengan kerentanan perempuan yang mengalami kekerasan seksual, ujarnya.
Kelima berkaitan dengan bukti. “Kami membuat rumusan terkait pengalaman korban, bagaimana mengakses keadilan,” ujarnya.
RUU PKS sudah ada di tangan anggota DPR dan masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2016. Artinya, DPR berencana membahas dan mengesahkan RUU tersebut pada tahun 2016.
Menurut Sri, penanganan kasus kekerasan seksual selama ini menggunakan undang-undang atau hukum acara pidana lain sehingga kurang maksimal karena tidak mengakomodasi kepentingan korban. Undang-undang lain hanya mengakomodir hak tersangka dan terdakwa, tidak ada korban, ujarnya.
Sementara itu, kata Sri, korban kekerasan seksual mempunyai dampak jangka panjang yang cukup parah sehingga perlu adanya penegasan hukum untuk pemulihannya.
Secara konsisten menentang pengebirian dan hukuman mati
Selain lima poin di atas, kaukus aktivis perempuan juga dengan tegas menolak hukuman mati dan kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, meski berarti tidak sependapat dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) dan Kementerian. Bidang Sosial, bahkan dengan pemerintah pusat.
Sebelumnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Perppu yang diserahkan ke DPR, pelaku kejahatan seksual terhadap anak bisa terancam hukuman mati dan kebiri sebagai hukuman tambahan.
Jokowi mengatakan, Perppu tersebut diterbitkan untuk mengatasi tindak kekerasan seksual terhadap anak yang belakangan ini jumlahnya semakin meningkat.
“Saya menetapkan kekerasan terhadap anak sebagai kejadian luar biasa karena dapat merusak kepribadian serta tumbuh kembang anak. Selain itu, juga mengganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat sehingga perlu tindakan yang luar biasa, kata Jokowi saat mengumumkan Perppu tersebut, Rabu, 25 Mei di Istana Negara.
Dalam Perppu tersebut terdapat tambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pelaku pencabulan.
Menteri PPA Yohana Yambise juga mengatakan pemerintah mendukung hukuman mati bagi pemerkosa.
Menteri Yohana bahkan menyarankan agar pasal hukuman mati dimasukkan dalam rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (PSK). Penambahan pasal ini, kata Yohana, didasarkan pada keluhan masyarakat yang disampaikan kepadanya.
Namun, Yohana mencatat, hukuman mati diterapkan pada kasus korban meninggal dunia, seperti kasus YY, gadis 14 tahun yang diperkosa oleh 14 pria, termasuk 7 anak, hingga meninggal dunia.
Apa yang akan dilakukan oleh kaukus aktivis perempuan mengenai perbedaan pendapat dengan pemerintah?
Sri mengatakan, kaukus akan terus menggunakan alasan kemanusiaan untuk menolak kedua bentuk hukuman tersebut.
Prinsip utama dalam RUU ini adalah memandang pelaku dan korban sebagai manusia yang bermartabat, ujarnya.
Selain itu, kaukus akan menggunakan pendekatan anggaran. “Kebiri dan hukuman mati anggarannya cukup besar,” ujarnya.
Apa yang ditawarkan kaukus selain kedua bentuk hukuman mati tersebut?
“Kenapa akses keadilan bagi korban tidak dimanfaatkan, misalnya anggaran visum, misalnya hukuman mati, kenapa harus ditembak, selama pelaku masih bisa memenuhi tanggung jawab restitusi kepada korban.
Sri menambahkan, bukan sekadar perbedaan pendapat dengan pemerintah, namun kaukus sudah menyiapkan skenario menghadapi penolakan masyarakat.
Menurut dia, penolakan masyarakat terjadi karena minimnya informasi mengenai kekerasan seksual tersebut. “Sebenarnya kekerasan seksual tidak hanya mengenai alat kelamin saja, tetapi juga mengenai cara berpikir, berperilaku dan kewajiban negara memberikan informasi,” ujarnya.
Selanjutnya Komnas Perempuan sebagai perwakilan resmi kaukus perempuan akan membawa usulan tersebut ke anggota DPR untuk dibahas, dan jika memungkinkan RUU PKS akan disahkan dalam waktu dekat. —Rappler.com
BACA JUGA: