• February 22, 2025

Logo palu arit: Beda generasi, beda persepsi

Setelah Simposium Nasional 1965 digelar pada April lalu, palu arit tiba-tiba menjadi isu hangat. Yang disebut-sebut sebagai lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) ini tidak hanya menjadi bahan perbincangan media dan perbincangan di media sosial, tetapi juga melibatkan pihak kepolisian dan TNI.

Kasus terbaru adalah pemeriksaan polisi terhadap IM, pemilik toko di Blok M yang menjual pakaian bergambar palu arit. Dia menjual kaos tersebut selama tiga bulan, namun baru Minggu, 8 Mei dia dibawa ke Polsek Metro Kebayoran Baru. Dia bukan satu-satunya selama seminggu terakhir ini.

Tiga hari sebelumnya di Sulawesi Selatan terjadi kejadian serupa. Muhammad Agus Faisal tidak sadar sedang diikuti oleh Sersan Utama Ryckye dan Serka Syamsuddin. Pemuda itu dikejar karena mengenakan kaos merah bergambar palu arit.

Agus akhirnya diberhentikan di RSUD Padjonga Dg. Ngalle, Takalar, Sulawesi Selatan. Pada hari yang sama, Kamis, 5 Mei, Agus dibawa ke ruang intelijen Kodim 1426/Takalar dan belum ada informasi lebih lanjut mengenai motivasinya mengenakan kaos berlambang PKI.

Penindakan aparat juga dilakukan pada November 2015. Petugas TNI menyita mainan tentara berbendera palu arit buatan Tiongkok di Yogyakarta. Penjualnya mengaku tidak mengetahui itu simbol PKI.

Tak hanya TNI dan Polri, aksi mengadili palu arit ini juga dilakukan di jalanan oleh pengguna media sosial dan anggota LSM.

Puteri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri dikecam karena mengunggah foto dirinya mengenakan kaos merah bergambar palu arit. Anindya membantah mendukung komunisme karena kaos tersebut diberikan kepada kontestan Miss Universe asal Vietnam saat melakukan kegiatan penanaman pohon bersama di negara tersebut.

“Selama kegiatan ini saya sering bertukar barang kaos dengan 130 negara lainnya. “Saya kasih kaos bergambar Garuda, masing-masing mereka kasih lambang negara,” kata Anindya.

Lalu sebagian besar virus adalah video seorang pemuda yang tidak jelas identitasnya dipukuli oleh seorang pria paruh baya di jalan raya karena memakai “PIN PKI”. Tidak jelas kapan hal ini terjadi. Tidak jelas di mana hal ini terjadi. Belum diketahui identitas pemuda tersebut.

Pengendara sepeda motor yang memakai PIN itu sekilas terlihat masih muda, sedangkan pelaku pengeroyokan berusia cukup tua. Dari video tersebut terlihat mereka berniat mengejar pemuda tersebut dengan mobil dan menghentikannya.

Pelaku pengeroyokan yang mengaku anak tentara itu berkata: “Dari mana asalmu?” Tanyanya sambil mengambil PIN berwarna oranye berlogo palu arit dari dada pemuda itu. “Kenapa pakai PIN PKI?”

“Saya bukan PKI!” jawab pemuda itu.

“Kalau bukan PKI, buat apa pakai?”

“Saya tidak tahu, Tuan. Saya tidak melakukannya dengan sengaja. Demi Tuhan, tidak. Maaf.”

Pelaku pun mengancam akan “menghabisi pemuda tersebut” karena tidak menghargai perjuangan para pendahulunya. Mereka juga memaksanya bernyanyi Indonesia Raya dan bertanya tentang sila kedua Pancasila.

Secepat reaksi media menyebarkan berita tanpa klarifikasi lebih lanjut, video ini pun viral di internet. Ada yang mengkritisi aksi main hakim sendiri yang tidak langsung dihentikan polisi, namun ada juga yang merestui pengeroyokan tersebut. Ikut menghakimi dengan menyalahkan pemuda yang memakai PIN palu arit.

Bahkan, ada yang mengunggah ulang video tersebut di YouTube dengan komentar seperti di bawah ini:

Ada juga yang mempertanyakan kejujuran pemuda itu dan mengatakan dia tidak tahu. Tahukah kamu itu PIN PKI?”

Lantas benarkah para penjual mainan di Yogyakarta tidak mengetahui kalau barangnya berlambang PKI? Atau kenapa Anindya tidak langsung menolak saat dihadiahi kaos berlogo palu arit?

Beda generasi, beda persepsi

Yang tidak dipahami banyak pihak, termasuk “pemuda pin PKI” adalah bahwa setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda dalam menafsirkan suatu hal. tanda atau tanda tangan. Menurut filsuf Edmund Husserl, tanda menunjukkan sesuatu yang lain. Asap menandakan adanya api. Lalu apakah palu arit itu menunjuk pada komunisme?

Bagi mereka yang cukup umur untuk memahami peristiwa tahun 1965, mereka mungkin langsung mengaitkan tanda palu arit dengan komunisme. Bagi anak-anak yang mengalami langsung peristiwa tersebut mungkin hanya mengetahui, namun tidak memiliki ingatan langsung terhadap peristiwa tersebut.

Bagi mereka yang lahir pada tahun 1980-an, generasi ketiga yang mengalami peristiwa tersebut secara langsung, tanda ini mungkin tidak ada artinya. Bahkan mungkin dianggap sesuatu yang “keren”.

Mengapa demikian? Dalam kerangka berpikir Husserl, menghubungkan suatu tanda dengan apa yang dimaknainya (yang ditandakan) memerlukan seseorang yang mempunyai pemahaman terlebih dahulu.

Sesederhana ini. Orang yang mengaku pernah mengalami penyiksaan PKI mungkin tidak hanya mengasosiasikan palu arit dengan PKI, tapi juga dengan rasa sakit karena kehilangan keluarga. Generasi di antara mereka mungkin akan mengasosiasikan palu arit dengan PKI dan mengingat bahwa keluarganya pernah memiliki pengalaman buruk dengan PKI.

Generasi dibawahnya mungkin bukan hanya tidak ingat, tapi mungkin juga tidak tahu bahwa palu arit di kepala sebagian orang adalah pertanda PKI. Bagi mereka, apalagi di tengah kesimpangsiuran pelajaran sejarah yang tidak konsisten, PKI tidak ada hubungannya.

Mari kita kembali ke kejadian pemukulan. Pelaku mengaku sebagai anak seorang tentara, dan mengaku banyak “saudara laki-lakinya” yang menjadi korban Operasi Seroja, operasi tentara Indonesia melawan kubu sayap kiri Fretilin.

Baginya, jika pernyataan tersebut benar, maka palu arit bisa diartikan sebagai pengorbanan besar-besaran orang-orang terdekatnya. Oleh karena itu, penggunaan tanda ini oleh remaja putra mungkin merupakan simbol penolakan terhadap pengorbanan.

Sementara itu, pemuda itu terus mengaku tidak tahu. “SAYA bukan tahu, demi Allah.” Anda dan saya tidak bisa memaksa dia untuk mengakui bahwa dia tahu. Bisa jadi dia tahu, atau mungkin dia tidak tahu. Mungkin dia terputus dari sejarah atau mengalami kesimpangsiuran sejarah bangsa.

Jadi bagaimana Anda menghadapinya? Jika pelaku memang berniat mencegah berkembangnya ideologi komunis, ia bisa melakukannya dengan gaya komunikasi yang disesuaikan dengan generasi yang dibidiknya.

Komunikasi harus dilakukan dengan baik, terutama untuk menyampaikan maksud mengapa ia perlu mengetahui dan peduli. Seperti yang dibawakan dengan cara dipukul, dipaksa menyanyikan lagu Indonesia RayaDipaksa Mengucapkan Pancasila, Akankah Dia Mengerti?

Jika semua orang di media sosial mengkritik pemuda atau pengguna simbol palu arit lainnya, apakah tiba-tiba mereka setuju dengan maksud menyatakan komunisme tidak boleh ada di Indonesia? Tidak, dia tetap terlepas dari sejarah yang masih memerlukan klarifikasi hingga saat ini.

Jangankan pengertian, dia bisa jadi semakin antipati. Jangan salahkan dia, maukah Anda menelan kata-kata orang yang ngobrol tentang bahaya komunisme sambil memukuli dan mengancam akan menjatuhkan Anda?

Daripada menangkap, memukuli, pahami dulu bahwa persepsi terhadap sesuatu bisa berbeda-beda. Memaksa dan mengkritik mereka dengan kekerasan hanya berpotensi membuat mereka semakin antipati. —Rappler.com

Camelia Pasandaran adalah dosen komunikasi dan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara. Sebelumnya, ia bekerja sebagai jurnalis dan fokus pada isu keberagaman dan toleransi.

BACA JUGA:

Angka Keluar Hk