• September 24, 2024
Lubang buaya dan pola pemerkosaan massal yang berulang di Indonesia

Lubang buaya dan pola pemerkosaan massal yang berulang di Indonesia

DEN HAAG, Belanda — Pada sore hari kedua, Rabu, 13 November, Pengadilan Rakyat Internasional tahun 1965, ruang sidang hening. Yang terdengar hanyalah suara Tintin Rahayu yang berbicara lalu isak tangisnya. Wanita tersebut mengabaikan pertanyaan jaksa jika ingin berhenti sejenak dan melanjutkan kesaksiannya.

Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke meja.

“Jangan akui kamu melakukan tindakan politik?”

Tidak, saya tidak bisa mengaku.

Mereka menutupi tubuh saya dengan puntung rokok.

Rambut kemaluan dan rambut saya terbakar.

Saya hanya bisa berkata: ‘Yesus, Yesus…’

Mereka semakin marah. “Kamu atheis, kenapa kamu memanggil Yesus, Yesus!”

Kuifie adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang ditangkap dengan tuduhan menjadi anggota Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) pasca peristiwa 1965. Selama 11 tahun ditahan ia harus mengalami kekerasan seksual berulang kali.

Ada banyak momen ketika dia merasa hidupnya telah berakhir.

“Sudah berapa lama Anda terlibat dalam gerakan politik? Berapa banyak orang disana?”

Saya menjawab: ‘Saya tidak akan datang. Saya sudah menjalani kehidupan mapan sebagai siswa dan guru.’

Saya kemudian ditendang dan ditelanjangi.

Saya disuruh mencium alat kelamin mereka.

Setelah semuanya selesai disana, saya ditanya hal yang sama lagi.

Saya dikutuk mengapa saya diam.

Aku dipaksa telungkup, diinjak-injak, rambutku dicukur habis.

Setelah itu saya tidak ingat lagi. Semuanya gelap.

Lima puluh tahun berlalu, namun Tintin ingat dengan jelas penyebab penderitaannya.

“Yang menangkap saya adalah CPM (Korps Polisi Militer) dan TNI. Orang yang paling menyiksaku dengan kejam. Bolehkah saya menyebutkan namanya?”

Hening sejenak. Sebelum Tintin melanjutkan, “Lukman Sutrisna.”

Lukman adalah mendiang guru besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Tintin akhirnya mengetahui bahwa dirinya tidak sendirian setelah dipindahkan ke Plantungan. Di Rutan Khusus Wanita, ia banyak bertemu dengan perempuan yang bernasib serupa.

Pertanyaan mereka serupa: Mengapa mereka harus mengalami perlakuan seperti itu?

Kesaksian Tintin dan para perempuan penyintas tahun 1965 adalah kesaksian para perempuan yang selamat. Sedangkan yang sudah meninggal tidak bisa bersaksi.

“Kami tidak bisa lagi mengumpulkan suara mereka,” kata Saskia Wieringa, antropolog Universitas Amsterdam yang menjadi saksi ahli atas tuduhan kekerasan seksual di Pengadilan Rakyat Internasional (IPT), 1965.

Wieringa mengatakan kuburan massal terbesar ditemukan di Purwodadi yang berisi 700 orang. Akibat longsor, beberapa jenazah tertimbun.

“Salah satunya adalah seorang wanita. Dia diperkosa dengan tongkat. “Tulang panggul dan kemaluannya patah,” ujarnya.

“Kita belum tahu berapa banyak lagi perempuan Indonesia yang meninggal dan mengalami kekerasan seksual seperti ini,” ujarnya.

Yang diketahui masyarakat adalah bagaimana Orde Baru menampilkan Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) dalam film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI.

Di Lubang Buaya, lagu Gendjer-Gendjer dimainkan Wanita Gerwani menarikan tari Bunga Wangi sambil telanjang. Mereka ikut menyiksa para jenderal, memperkosa bahkan memotong penis para jenderal.

“Perempuan gerwani itu pelacur, penjahat, hiperseksual. Jalang. “Propaganda ini sudah menyebar luas di masyarakat,” kata Wieringa.

Peneliti yang meneliti Gerwani mengatakan, brand Gerwani seperti ini sangat melekat. Dampaknya, perempuan yang menjadi tersangka Gerwani akan mengalami kekerasan seksual berat ketika ditahan.

Saat ditangkap, mereka diperiksa dengan melepas seluruh pakaian dari pinggang ke bawah. Lalu mereka dibelai dengan alasan mencari segel Gerwani di tubuh mereka.

Selama masa operasi penumpasan PKI, kata Wieringa, terjadi beberapa kekerasan seksual. Mulai dari pemerkosaan vagina, pemerkosaan oral, pemerkosaan berkelompok, perbudakan seks, pelecehan, sengatan listrik pada puting dan alat kelamin, hingga mutilasi payudara.

Pemerkosaan massal dimulai pada tahun 1965

Sepanjang penelitian Wieringa, perempuan penyintas sering kali melaporkan bahwa pemerkosaan telah terjadi, namun tidak kepada mereka. “Ada rasa malu dan bersalah. Ketika pemerkosaan massal kembali terjadi di Jakarta, lalu di Timor Timur, pada Mei 1998, ada korban selamat yang akhirnya pertahanannya runtuh. Dia berkata, ini aku. “Ini persis seperti yang saya alami,” katanya.

Wieringa melihat pola pemerkosaan massal ini berakar pada peristiwa tahun 1965 atau berasal dari mitos Lubang Buaya.

Seperti pola militer. Stripping, pemerkosaan massal, pemerkosaan dengan memasukkan benda atau botol ke dalam vagina. Mirip dengan yang terjadi setelah tahun 1965. Saya tidak tahu mengapa itu terjadi dan terjadi lagi, katanya.

Propaganda terhadap Gerwani berujung pada penilaian moral. Padahal, lanjutnya, banyak gerakan Gerwani yang menarik. Gerwani menjangkau perempuan miskin dan petani. Mereka melawan kekerasan dalam rumah tangga, menuntut hak-hak perempuan, menentang pekerja anak dan kerja paksa, serta anti poligami.

Jika stigma terhadap Gerwani terus berlanjut, ia menilai kisah kekerasan seksual tahun 1965 akan terus berlanjut. Ibarat api yang disimpan di bawah tanah gambut. —Rappler.com

BACA JUGA:

Keluaran Sidney