Lukisan perjuangan perempuan dalam upaya mengakhiri kutukan konflik lingkungan hidup
- keren989
- 0
Seniman dan aktivis Dewi Candraningrum menampilkan karyanya yang menggambarkan perempuan Desa Surokonto Wetan sebagai simbol perjuangan konflik pertanahan
YOGYAKARTA, Indonesia — Lima lukisan perempuan Surokonto Wetan berdiri di showroom Kopi Uwong, Yogyakarta. Lukisan tersebut menggambarkan kegigihan perjuangan perempuan di Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, dalam mempertahankan lahan pertaniannya akibat konflik pertanian dengan investor dan pemerintah daerah di Kendal, Jawa Tengah.
Sejumlah seniman dan aktivis perempuan berpesan agar ada kearifan lokal dalam diri perempuan dan komunitas lokal untuk mengelola sumber daya alam tanpa menuai konflik.
“Wanita menanamkan mortir di dalam rahimnya. “Itu metafora untuk menunjukkan bahwa (peran) perempuan penting bagi ketahanan pangan,” kata seniman Dewi Candraningrum kepada Rappler, Senin, 13 Maret.
Selain 5 lukisan di ruang utama, pelukis yang juga aktivis perempuan ini memamerkan 5 lukisan lainnya di Kopi Uwong dalam pameran yang berlangsung hingga 16 Maret mendatang.
Dalam karyanya, Dewi menggambarkan perempuan asal Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, yang kehilangan lahan garapannya akibat konflik lahan dengan Perum Perhutani. Warga desa setempat dilaporkan kehilangan lahan akibat pertukaran pembangunan pabrik dan penambangan batu kapur oleh PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah.
“Wanita menanamkan mortir di dalam rahimnya. Ini adalah metafora untuk menunjukkan pentingnya (peran) perempuan bagi ketahanan pangan.”
Konflik di Kendal merupakan sebagian kecil dari konflik-konflik lain yang menempatkan perempuan sebagai korban dan simbol perjuangan masyarakat setempat dalam mempertahankan tanahnya, seperti perempuan di Pegunungan Kendeng.
“Perempuan adalah penggarap tanah, pertanian. Jika faktor-faktor produksinya dihilangkan, apa yang tersisa?” kata Dewi. “Sementara perempuan menggarap lahan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan tanpa eksploitasi.”
Selain lukisan perempuan petani, Dewi juga memamerkan lukisan pejuang konflik lingkungan dari masyarakat sekitar lokasi tambang, seperti aktivis Salim Kancil yang tewas dalam pusaran konflik penambangan pasir pantai melawan otoritas setempat di Lumajang.
Ada pula pengacara Atma Khikmi, advokat hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, yang mendampingi perempuan Surokonto Wetan dan Kendeng Kartini. Ada juga lukisan Gunretno, aktivis lingkungan hidup asal Kabupaten Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.
Kearifan lokal mencegah terjadinya konflik
Pipin Jamson dari Komite Perjuangan Perempuan (KPP) mengatakan banyak hikmah dari perempuan dan kearifan lokal untuk mencegah konflik. Peneliti lembaga penelitian Pusat Penelitian Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (PolGov UGM) ini mengatakan, kearifan lokal mengelola sumber daya alam dengan mempertimbangkan keberlangsungan hidup manusia dan alam dalam jangka panjang.
“Dari penelitian bersama PolGov UGM, kami menemukan bahwa kearifan lokal memiliki banyak jawaban terhadap konflik sumber daya alam, dan perempuan berperan besar di dalamnya,” kata Pinpin.
Menurutnya, PolGov UGM melakukan penelitian di 4 wilayah sepanjang tahun 2016 untuk menggali kearifan lokal dan manfaatnya bagi pengelolaan sumber daya lokal. Daerah yang diteliti antara lain Banyuwangi, Jawa Timur; Manggarai dan Belu di Nusa Tenggara Timur; dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Banyuwangi kaya akan emas, Tanah Bumbu kaya akan batu bara, sedangkan Manggarai dan Belu kaya akan mangan. Keempatnya terdapat konflik terkait pengelolaan sumber daya alam. Konflik muncul karena pemerintah tidak melibatkan pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Ada keterputusan antara pembuat kebijakan dan masyarakat lokal. Misalnya saja, ada hutan adat di masyarakat Manggarai. Mereka menjelajahi wilayah-wilayah yang ditentukan oleh filsafat Gendangn Satu Lingko Peangn (“Desa di dalam, taman bundar di luar”),” kata Pinpin.
“Hutan yang ada dilestarikan untuk diwariskan kepada cucu-cucu mereka di masa depan.”
Selain itu, konflik muncul ketika pemerintah mengabaikan pengetahuan lokal dan menerapkan kebijakan yang berasal dari atas. Komunitas lokal yang hidup dan mendukung alam menjadi korban kebijakan yang merenggut penghidupan mereka.
“Kearifan lokal dinilai tidak ilmiah dan tidak bisa dijadikan bukti dalam perumusan kebijakan pertambangan,” ujarnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perumusan kebijakan untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Kami mendokumentasikan kearifan lokal yang disebarkan untuk menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan partisipatif. “Agar kekayaan sumber daya alam tidak lagi menjadi kutukan yang menimbulkan konflik,” ujarnya. —Rappler.com