• September 29, 2024

Makan buah memerlukan revolusi spiritual

JAKARTA, Indonesia – Tahun ini pemerintah fokus pada peningkatan padi, jagung, dan kedelai (Pajale). Namun fokus tersebut akan ditambah dengan memperbanyak buah-buahan lokal.

Hal ini menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Festival Bunga dan Buah Nusantara, 27 – 29 November 2015 di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Presiden Jokowi mengakui pemerintah akan memperhatikan produksi buah lokal.

Bagaimana pola konsumsi buah masyarakat?

Konsumsi buah sehat per tahun di dunia adalah 65-70 kg untuk satu orang. Namun masyarakat Indonesia hanya mengkonsumsi setengah dari jumlah tersebut. Namun sebenarnya bukan karena tidak ada buahnya, melainkan karena daya beli masyarakat yang rendah.

Namun, dengan perekonomian Indonesia yang terus tumbuh dari tahun ke tahun – terutama di bawah kepemimpinan Jokowi #eaaa #bullies – konsumsi buah diyakini akan terus meningkat.

Namun yang menjadi pertanyaan, ketika era itu tiba, apakah buah-buahan lokal akan menjadi tuan rumah atau tergerus oleh buah-buahan impor? Mari berhitung!

Nilai buah-buahan nasional ditekan oleh buah-buahan impor

Pertumbuhan konsumsi buah nasional mencapai 12-15 persen per tahun. Selain itu, total impor buah ke Indonesia disebut masih sangat rendah, di bawah 5 persen. (Saya kemudian akan mempertanyakan angka ini di artikel berikutnya)

Dari angka tersebut, tidak terlalu dikhawatirkan buah-buahan nasional akan tergerus oleh buah-buahan impor. Pasalnya total produksi buah nasional mencapai 19-20 juta ton. Sedangkan impor buah-buahan ke Indonesia sekitar 500 ribu ton. Tapi tunggu dulu, kalau dilihat dari bobotnya, bagaimana dengan nilainya?

Dilihat dari nilainya, impor buah ke Indonesia mencapai Rp 8,9 triliun. Sedangkan ekspor buah Indonesia hanya sekitar 1-2 persen dari total produksi buah dalam negeri atau 37,8 ribu ton. Nilainya hanya Rp 309 miliar.

Apa artinya? Setiap ton buah impor bernilai Rp 17 juta. Sedangkan setiap ton buah ekspor Indonesia bernilai Rp8 juta. Terdapat kesenjangan harga yang sangat besar antara buah lokal kualitas ekspor dengan buah impor yang masuk ke dalam negeri.

Sayangnya, saya tidak bisa menemukan data total nilai konsumsi buah di Tanah Air. Kalau ada valuasi tentu bisa dibandingkan dengan total nilai buah yang diimpor ke Indonesia. Apakah memang di bawah 5 persen?

Apakah Anda pusing memikirkan angka-angka? Membaca ini saja sudah membuat bingung, bagaimana cara menulisnya hahaha #curcol. Yang pasti saya tidak yakin buah impor tidak mengganggu buah lokal.

Mengapa? Dari segi harga saja terlihat buah impor pertama kali masuk ke kalangan menengah atas. Namun pada titik tertentu, buah-buahan impor akan masuk ke kalangan menengah ke bawah.

Bagaimana fenomena jeruk Shantang asal China bisa hadir dengan harga murah di pinggir jalan? puncak gunung es yang akan dihadapi dunia buah-buahan nasional di masa depan.

Revolusi spiritual konsumsi buah nasional

Konsumsi buah tertinggi di Indonesia merupakan konsumsi rumah tangga. Sekitar 35 – 40 persen konsumsi buah nasional diekspor oleh rumah tangga. Biasa disebut buah meja.

Empat buah meja yang paling populer adalah apel, jeruk, pir, pisang. Indonesia merupakan satu-satunya negara penghasil pisang yang masuk dalam 10 besar negara penghasil pisang. Untuk apel, jeruk, dan pir, Indonesia tertinggal jauh.

Rasanya perlu ada gejolak spiritual dalam budaya buah, khususnya buah meja. Banyak sekali buah-buahan lokal yang bisa dikupas tanpa menggunakan pisau untuk memakannya.

Jeruk lokal, pisang, dan salak bisa jadi pilihan. Jeruk lokal seperti Medan, Siam (Jawa) dan Pontianak tak kalah nikmat baik rasa maupun harganya dibandingkan jeruk impor.

Satu-satunya masalah adalah buah ini memiliki kulit dan ukuran yang tidak standar – masalah terbesar di dunia buah nasional. Saya membaca di berita, impor jeruk menyumbang 30 persen dari total impor buah nasional.

Buah-buahan musiman atau sepanjang tahun juga harus tunduk pada kampanye khusus. Misalnya kedondong, sawo, rambutan, dan lain-lain. Hal ini juga harus diperjuangkan.

Tidak perlu menggunakan iklan dengan artis mahal. Apalagi menayangkan secara besar-besaran dengan APBN, mubazir, dan hasilnya tidak terukur. Presiden, wakil presiden, dan menteri lainnya cukup memamerkan foto makan buah-buahan musiman lokal melalui media sosial.

Kemudian Kementerian Pertanian berkolaborasi dengan ahli gizi untuk menjelaskan kandungan buah tersebut. Kemudian terhubung kultus putih tentang kisah petani buah yang dimaksud, tentang cara menanam, merawat, memanen, dan cara memilih buah yang paling enak. Hanya melalui media sosial. Mudah, murah dan akan diikuti banyak orang.

Setelah konsumsi buah meja, konsumsi terbesar kedua adalah buah-buahan untuk industri. Produknya bisa berupa jus, buah kering atau kalengan. Ada banyak jenis.

Hal ini yang disinggung Presiden Jokowi, agar produksi buah-buahan harus diindustrialisasi. Mungkin bisa dimulai dengan produk unggulan RI yang masuk 10 besar dunia, seperti pisang, mangga, jambu biji, nanas, dan rambutan. Nanas merupakan produk ekspor unggulan Indonesia dalam bentuk olahan.

Selain buah-buahan yang sudah terbukti produktivitasnya, pemerintah juga harus mulai mempersiapkan komoditas-komoditas baru yang mulai bermunculan. Misalnya buah naga.

BUAH IMPOR.  Ilustrasi.  Buah-buahan impor beredar di pasaran.  Foto oleh Foto ANTARA.

Mendorong persaingan buah naga di pasar internasional

Di ASEAN, hanya Vietnam yang berhasil memiliki perkebunan buah naga dalam skala besar. Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya. Pasarnya juga besar.

Tiongkok banyak mengimpor pisang, buah naga, dan durian. Pisang menyumbang 22 persen dari total impor buah Tiongkok. Buah tarragon 16 persen, dan Durian sekitar 10 persen.

Meski Indonesia termasuk dalam 10 besar produsen pisang, namun dari segi volume panen tahunan, india tertinggal jauh dari India, bahkan China.

Namun untuk buah naga, Indonesia masih memiliki peluang yang besar. Begitu pula dengan Durian. Pada produk segar dan olahan, komoditas tersebut mampu diserap pasar dunia. Perlu industrialisasi untuk mendukungnya.

Hotel bisa memberdayakan buah nasional

Segmen konsumsi besar berikutnya adalah hotel dan katering. Biasanya didominasi oleh semangka, melon, nanas, pepaya. Ada baiknya hotel bintang empat atau lima mulai memperkenalkan buah-buahan eksotik dari Indonesia.

Mereka tidak boleh makan buah-buahan yang enak dan unik seperti Ciplukan, Jamblang/Juwet, Langsep, Kecapi, Kenitu/Melkappel/Sawo Duren, Gandaria, Rukem, Kawis/Kinco, Cerme dan sebagainya.

Tamu hotel bahkan tamu negara bisa diajak ‘menguji keberanian’ menyantap buah unik ini. Jika memungkinkan, maskapai luar negeri juga menyediakan buah-buahan eksotik tersebut sambil mempromosikan bahwa Indonesia adalah surganya buah-buahan eksotik.

Tampaknya upaya menarik investor untuk berinvestasi langsung pada industri pengolahan buah lokal masih menemui banyak tantangan. Masalah infrastruktur, perizinan dan keamanan pasokan.

Sementara pemerintah sedang menyelesaikan pembangunan infrastruktur, ada baiknya jika pemerintah fokus pada perubahan kebiasaan konsumsi buah-buahan bagi rumah tangga, hotel, katering, dan pesawat terbang. Hal ini lebih mudah dilakukan.

Apel IMPOR.  Apel impor dijual di supermarket.  Foto oleh ANTAR Foto

Pentingnya data

Hingga saat ini permasalahan data dan informasi mengenai buah-buahan masih sangat sulit dipercaya. Pemerintah sebaiknya lebih fokus menyediakan data yang lebih sesuai dengan keadaan agar kebijakan terkait buah-buahan nasional tidak salah karena menggunakan database yang salah.

Misalnya, buah luar negeri hanya menyumbang 3-5 persen dari total pasokan buah nasional. Tampaknya ini dihitung berdasarkan berat, bukan nilai per ton. Bukan karena buah impor mendominasi konsumsi buah meja nasional.

Ya, ini data di Indonesia. Sangat sulit dipercaya. Dan negara ini harus membuat kebijakan berdasarkan angka yang salah. Hal ini sudah dirasakan tahun ini pada padi dan jagung.

Akibat yang ditimbulkan cukup besar. Perkiraan yang terlalu optimis membuat Indonesia tidak membuat perjanjian pembelian beras jangka panjang. Alhasil, ketika persediaan di gudang Bulog terbatas, membeli beras dengan kontrak mendadak berarti harganya jelas lebih mahal.

Kesalahan membaca data menyebabkan kerugian

Begitu pula dengan prediksi produksi jagung yang dikatakan melimpah, yang kemudian disusul dengan kebijakan nasionalisme buta yang disebut pembekuan impor jagung. Alhasil, harga jagung pakan meroket menjadi Rp4000-5000/kg dari Rp3000.

Petani jagung memperoleh banyak keuntungan, namun pendapatan petani dataran rendah hancur. Biaya pakan ayam petelur sebesar 50-60 persen dari total biaya produksi.

Dengan tingginya peningkatan produksi jagung untuk pakan ternak, para petani merugi. Harga eceran telur per kilogram saat ini mencapai Rp 20-21 ribu. Jika terus naik maka yang mengalami beban terberat adalah masyarakat menengah ke bawah karena lauk utamanya adalah tahu, tempe, dan telur.

Jangan biarkan data yang salah ditemukan pada buah-buahan dan dijadikan dasar kebijakan. Hal ini dapat menyesatkan.

Kebijakan harus didasarkan pada data yang dapat diandalkan. Juga termasuk buah-buahan. Semoga buah lokal bisa terus sukses dan petani sejahtera.—Rappler.com

Baca juga:

Keluaran Sidney