Makna filosofis di balik halal bi halal
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Halal bi halal adalah bid’ah dan istilah ini tidak dikenal dalam bahasa Arab. Namun halal bi halal merupakan syarat untuk kembali ke fitrah manusia
Hari pertama saya masuk kantor adalah Senin tanggal 3 Juli 2017, setelah libur panjang Idul Fitri, saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan hikmah Idul Fitri dan halal bi halal di kantor pusat Universitas Terbuka Jakarta yang dihadiri sekitar 800 orang. akademisi. anggota komunitas.
Istilah ‘halal bi halal’ merupakan ciri khas budaya Indonesia dalam kemasan kegiatan keagamaan. Tradisi dan isinya sebenarnya sudah ada sebelum kemerdekaan, yaitu tradisi sungkeman dan silaturrahim yang kemudian dibuat oleh KGPAA Mangkunegara I atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, dalam acara bersama di Istana.
Pada tahun 1948, awal kemerdekaan di Indonesia, banyak terjadi polemik dan perbedaan pandangan di kalangan tokoh bangsa. Kemudian Presiden Sukarno ingin melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi nasional dan meminta pendapat Kiai Wahhab Hasbullah.
Kiai Wahhab menyarankan diadakannya pertemuan. Namun istilah ini ditolak karena Presiden Soekarno menginginkan istilah baru yang lebih spesifik. Kiai Wahhab mengusulkan nama halal bi halal.
Filosofinya adalah orang-orang yang berbuat zalim dan bermusuhan melakukan apa yang haram terhadap orang lain, sehingga harus dilegalkan dan saling sah antar anak bangsa agar tidak terjadi haram atau dosa di antara mereka dan terjadilah kembalinya keharmonisan tersebut. dan kesatuan.
Memang istilah halal bi halal tidak dikenal dalam bahasa Arab dan tidak lazim dalam bahasa Arab. Namun jika kita membuka hadis sejarah umat Islam, kita akan menemukan makna halal sebagai ampunan. Rasulullah SAW bersabda: “Aku tidak bisa tersenyum di wajahku” (Siapa pun yang melakukan ketidakadilan harus dimaafkan/diizinkan). Halalnya dibolehkan, halalnya bagi orang lain.
Halal bi halal merupakan syarat kembalinya fitrah manusia. Karena alam kembali ke asal mula kejadian dan kesuciannya. Selagi masih ada yang haram bagi orang lain dan belum dihalalkan, maka tidak seharusnya sampai pada fitrahnya.
Dosa terhadap orang lain tidak cukup hanya sekedar meminta maaf dan bertaubat kepada Allah SWT, namun juga perlu ampunan/halal dari orang yang disakiti atau dianiaya.
Halal bi halal adalah bid’ah (sesuatu yang baru) secara syi’ar tapi mansushah (perintah teks agama) intinya. Ini adalah kombinasi kreativitas dan bimbingan agama. Karena halal bi halal memang merupakan model kreatif baru yang isinya adalah memaafkan dan silaturahmi secara langsung.
Al Qur’an Al Karim menjelaskan bahwa orang yang memaafkan orang lain merupakan ciri-ciri orang yang bertakwa, dan hal ini sejalan dengan tujuan puasa yaitu untuk mencapai ketakwaan.
Memaafkan jauh lebih merendahkan daripada meminta maaf. Jadi, momentum Idul Fitri dan Idul Fitri merupakan salah satu cara untuk saling meminta maaf dan memaafkan.
Silaturahmi yang dikemas dalam acara halal bi halal ini juga merupakan perintah Nabi sebagai implementasi keimanan jika ingin hidup bahagia, mudah penghidupan dan panjang umur.
Halal bi halal merupakan implementasi keimanan dan wujud pelaksanaan syariat Islam yang dikemas dengan budaya dan tradisi, serta sebagai cara membangun kedekatan dan persatuan melalui kegiatan saat telasan. Bahwa semua kesalahan dan kesalahan diperhitungkan layar (TIDAK). Semoga dosa-dosa kita dihapuskan dan kita kembali pada fitrah kita. —Rappler.com
KH. M. Cholil Nafis, Lc., Ph.D. adalah Pembina Yayasan Investa Scholar Amanah