Mari nikmati coklat, makanan dan minuman para dewa
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Rehat kopi atau fraksi kopi, yang kita kenal dan jalani, terutama ketika kita berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Mengapa tidak mencoba melakukannya istirahat coklat, alias istirahat coklat? Bukankah meminum coklat memberikan efek hangat dan menyegarkan untuk memulai atau bahkan melanjutkan aktivitas sehari-hari?
Mari kita renungkan hal ini saat kita memperingati Hari Cokelat Sedunia yang jatuh setiap tanggal 7 Juli. Tahun ini juga menandai 467 tahun coklat yang bahan dasarnya adalah biji kakao masuk ke benua Eropa.
Dari beberapa referensi kandungan coklat polifenol yang efektif mencegah risiko penyakit jantung koroner dan kanker, serta menurunkan tekanan darah. Isi feniletilamina Cokelat memberikan perasaan tenang dan nyaman. Kita kerap disarankan untuk meminum segelas coklat panas sebelum tidur, agar pikiran tenang dan tidur lebih nyenyak.
Coklat atau coklat bisa dikatakan sebagai camilan terlezat di muka bumi. Teksturnya yang padat dan lumer di lidah saat dikonsumsi, menawarkan sensasi pahit-manis, serta aroma yang khas, sulit dikalahkan.
Nama ilmiah coklat atau kakao adalah “teobroma”, yang artinya “makanan para dewa”. Suku Aztec menyebutnya “xoocoati” yang artinya minuman pahit.
Menurut catatan sejarah yang dimuat di berbagai sumber, suku-suku yang mendiami Mesoamerika-Amerika Tengah hingga benua bagian utara telah mengonsumsi coklat sejak 1000 SM. Mereka mengolah buah kakao menjadi bubuk dan menyeduhnya menjadi minuman seperti yang kita lakukan saat ini. Bedanya dulu mereka menambahkan bumbu-bumbu seperti kayu manis, vanila, bubuk cabai dan lain-lain.
Pada tahun 1400-an, ketika suku Aztec mengambil alih sebagian besar Mesoamerika, mereka memasukkan coklat ke dalam budaya suku mereka. Cokelat dipersembahkan sebagai makanan dan minuman kepada para dewa. Cokelat juga dianggap berkerabat dekat dengan Xochiquetzal, Dewi Kehamilan, yang dianggap sebagai tempat memohon kesuburan.
Hernanco Cortez membawa biji kakao ke Spanyol antara tahun 1502-1528. Orang Spanyol mencampur coklat dengan pemanis, jadi rasanya lebih enak. Coenraad van Houten menemukan cara memisahkan bubuk kakao dan minyak dari campuran biji kakao bubuk. Inilah awal penemuan berikutnya yang memungkinkan coklat dicampur dengan minyak dan gula.
Permintaan coklat dengan rasa tinggi meningkat dengan ditemukannya mesin pengolah coklat pada masa revolusi industri. Pada abad ke-19, coklat yang terasa lembut di lidah mulai diproduksi di Swiss. Proses”haluskan dan tekan”, merupakan bagian penting, saat biji kakao digiling menjadi bubuk coklat.
Masuknya coklat di Indonesia
Cokelat yang diperkenalkan di Sulawesi Utara pada tahun 1560 berasal dari Filipina. Varietas pertama yang ditanam adalah criollo, yang didapat orang Spanyol dari Venezuela. Produksi coklat ini relatif rendah dan sensitif terhadap serangan hama dan penyakit, namun rasanya enak.
Pada tahun 1806, upaya ekspansi coklat dimulai kembali di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penanaman dilakukan di pinggir areal penanaman kopi. Pada tahun-tahun berikutnya diperkenalkan jenis coklat lain dengan mempertimbangkan kelemahan coklat jenis Criollo.
Dr. CJJ Van Hall, MacGilvray, Van Der Knaap merupakan peneliti yang aktif melakukan seleksi untuk mendapatkan bahan tanaman unggul dan klon induk pada awal penanaman kakao di Indonesia.
Industri kakao di Indonesia
Lebih dari 90% perkebunan kakao di Indonesia dimiliki oleh petani perorangan dan sisanya dikelola oleh PTPN milik negara dan perkebunan swasta. Tidak kurang dari 1,5 juta petani menggantungkan penghidupan mereka pada perkebunan kakao.
Media Rekayasa, yang diterbitkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII), menulis bahwa Indonesia merupakan penghasil biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Total luas perkebunan kakao mencapai 1,6 juta hektar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Menurut Ketua Persatuan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi, Indonesia menghadapi permasalahan produktivitas di tingkat pertanian dalam hal produksi biji kakao. di pertanian tergolong rendah, sekitar 1.000 kilogram per hektar.
Bandingkan dengan produktivitas kakao yang dihasilkan Pantai Gading dan Ghana yang berkisar 1.500-2.000 kilogram per hektar. “Penyebabnya adalah kualitas benih yang buruk, tantangan peremajaan pohon kakao yang sudah tua, serangan hama serangga, serta permasalahan fermentasi dan non fermentasi,” kata Bayu.
Begitu pula dengan para pelaku usaha yang semakin menyadari bahwa kakao Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. “Hasil akhir kakao, baik berupa minuman coklat maupun produk makanan, hampir selalu merupakan campuran berbagai jenis biji kakao dengan komposisi tertentu dari daerah-daerah di Indonesia maupun negara lain,” kata Bayu yang juga mantan wakil menteri. pertanian kepada Rappler, Kamis 6 Juli 2017.
Menurut Bayu, agribisnis kakao kini berkembang ke dua arah. Pertama, industri besar berupaya menjadi produsen produk setengah jadi (intermediat), berupa mentega kakao, bubuk kakao, dan pasta coklat yang berorientasi ekspor dan dalam negeri. Kedua, tumbuhnya industri lokal dan artisan yang menampilkan ciri khas coklat seperti Pipiltin Cocoa, Cokodot, Monggo, Inyong dan berbagai merek lokal lainnya.
(BACA JUGA: Nikmati coklat asli Indonesia di Pipiltin Cocoa)
Menurut Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda, kebutuhan kakao Indonesia terus meningkat. Terutama dalam bentuk mentega kakao dan biji kakao mentah. “Sejak tahun 2012 hingga 2016, tren ekspor kakao meningkat rata-rata sebesar 5,8%. “Nilainya mencapai lebih dari USD 311 juta dolar pada tahun 2016,” kata Arlinda kepada Rappler melalui keterangan tertulis, 6 Juli 2017.
Pada periode Januari hingga April 2017, tercatat ekspor kakao senilai sekitar USD 326 juta. Pada periode 2102-2016, Malaysia dan kemudian Amerika menjadi negara tujuan ekspor kakao terbesar Indonesia. Tahun ini, Perancis menjadi tujuan ekspor kakao Indonesia.
Lokasi Kemenperin.go.id menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per tahun. Data dari International Cocoa Organization (ICCO) menyebutkan permintaan meningkat rata-rata 5 persen per tahun selama lima tahun terakhir.
Komoditas kakao ini masih memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dimana tingkat konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India dan China yang jumlah penduduknya mencapai 2,7 miliar jiwa masih sangat rendah yaitu hanya sekitar 0,25 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan tingkat konsumsi di Eropa yang mencapai 10 kg per kapita per tahun.
Jadi, jika kita melihat manfaatnya yang besar bagi kesehatan, kenapa kita tidak mulai istirahat dari minum coklat istirahat coklat sebagai kebiasaan sehari-hari?
—Rappler.com