• September 25, 2024
Masalah keuangan yang menjadi penyebab pasangan bercerai

Masalah keuangan yang menjadi penyebab pasangan bercerai

Waspadai permasalahan berikut yang bisa menjadi penyebab pasangan bercerai

Satu dari 10 pernikahan di Indonesia berakhir dengan perceraian, setidaknya berdasarkan data Kementerian Agama pada tahun 2014.

Data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA) menyebutkan, dari 285.184 kasus perceraian, sebanyak 67.891 kasus (24%) disebabkan oleh masalah ekonomi, disusul masalah perselingkuhan sebanyak 20.199 kasus (7%), dan 2.191 kasus ( 3%) karena kekerasan dalam rumah tangga.

Karena masalah utamanya adalah soal uang, maka waspadai masalah-masalah berikut yang bisa menjadi penyebab pasangan bercerai:

‘Uangmu adalah uangku’

Perilaku ini mungkin tidak menjadi masalah saat Anda masih lajang, namun jika dua orang sudah menikah, berpotensi merusak suatu hubungan.

Yeni (37 tahun), ibu satu anak, nyaris mengakhiri pernikahannya karena masalah kemandirian tersebut.

“Dari pacaran hingga menikah dengan 3 anak, saya dan suami berpisah secara finansial. “Dia tidak pernah memberi saya gajinya, dan saya tidak pernah meminta uang kepadanya karena dia punya penghasilan sendiri,” kata Yeni.

“Akibatnya, kami mengalihkan tanggung jawab pengeluaran besar keluarga seperti servis mobil, biaya sekolah anak, dan sebagainya. Alhasil, kami saling menyalahkan dan akhirnya saya hampir mengajukan gugatan cerai karena masalahnya semakin besar, ujarnya.

Ia dan suaminya saat ini sedang menjalani mediasi dan mencari cara terbaik untuk mempertahankan pernikahan mereka.

Memikirkan keuangan rumah tangga sebagai “uang bersama” adalah awal yang baik untuk mencapai target keuangan keluarga.

Tidak ada transparansi

Widyanto (49) sudah hampir 15 tahun menikah dan mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya kepada istrinya. Meskipun istrinya bekerja paruh waktu, dia tidak tahu berapa penghasilannya dan tidak pernah bertanya. Menurutnya, sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk menafkahi istri dan anaknya.

Namun tak jarang ia merasa jengkel jika istrinya mengeluh kekurangan uang, padahal tunjangan yang diberikan sang istri setiap bulan dari gajinya sebagai manajer di sebuah hotel berbintang tidaklah sedikit. Gaya hidupnya juga sederhana, dengan rumah di pinggiran Jakarta, mobil standar kelas menengah, dan sedikit bepergian.

“Kalau saya hitung di atas kertas, minimal harus ada 20%-30% yang tersisa untuk diinvestasikan. Tapi kalau kita mengacaukan investasi, kita malah tidak punya dana darurat. Setiap kali dia mengeluh tidak punya cukup uang, saya selalu minta dibuktikan dengan laporan keuangan. “Tapi dia selalu mengelak dengan alasan tidak punya waktu, atau malah mundur, saya tuduh, tidak percaya, dan sebagainya,” keluh Widyanto.

Bersikap transparan mengenai pemasukan dan pengeluaran akan membangun kepercayaan dalam suatu hubungan. Laporan keuangan sederhana untuk pasangan sebenarnya sudah cukup – berisi jumlah total pendapatan bulanan dikurangi pengeluaran.

Perbedaan tujuan keuangan

Alin (33) dan Ino (35) sangat bertolak belakang. Lakukan hobi bepergian, sedangkan Ino adalah anak rumahan. Sebenarnya hal itu tidak menjadi masalah hingga suatu saat Ino marah besar karena uang bonus yang seharusnya merenovasi rumah habis digunakan oleh Alin untuk membeli tiket liburan keluarga ke luar negeri.

“Itu berarti mendesah Saya ingin memberikannya kejutan untuk ulang tahunnya, tapi rupanya dia sedang marah,” kata Alin mengenang kejadian yang terjadi 5 tahun lalu.

Menurut Ino, dirinya marah karena saat itu ada keperluan yang lebih mendesak untuk renovasi rumah, namun uang mereka malah digunakan untuk hal lain yang kurang diperlukan. Setelah itu, ketegangan terjadi di antara mereka selama beberapa minggu.

Cerita lainnya adalah Intan (30), yang begitu ambisius dalam merencanakan masa depan hingga porsi investasinya mencapai 60% dari total pendapatannya. Prinsip “sakit dulu, nikmati nanti” yang ia terapkan secara berlebihan hingga suaminya tak tega mengikutinya.

“Oke, kalau kita sejahtera, pendapatan 40 persen cukup untuk biaya hidup sehari-hari. “Tapi kami masih kelas menengah yang berjuang untuk meningkatkan taraf hidup kami,” keluh pegawai sektor swasta berusia 34 tahun itu.

Setelah menyadari bahwa mereka selalu bertengkar sengit soal uang, 1,5 tahun yang lalu mereka memutuskan untuk menggunakan jasa perencana keuangan independen, yang ternyata cukup efektif dalam menyelaraskan tujuan keuangan mereka yang berbeda. —Rappler.com

Teks di atas berasal dari Zaitun Langsungsebuah website yang membekali perempuan Indonesia dengan pengelolaan keuangan pribadi.

BACA JUGA:

Sidney prize