
Masyarakat Papua telah membicarakan ‘genosida’ di negaranya sejak tahun 1969 melalui laporan Brisbane
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia— Marthen Goo mengenang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura pada tahun 1960-an. Rumah sakit ini telah menjadi rujukan kesehatan di kawasan Asia-Pasifik.
“Orang-orang dari seluruh Asia yang sakit dibawa ke rumah sakit ini,” ujarnya kepada Rappler, Selasa sore, 3 Mei. Rumah sakit tersebut kemudian menjadi simbol kemajuan ‘peradaban’ di Jayapura.
“Masyarakat Papua dulu juga lebih pintar dibandingkan sekarang,” imbuhnya.
Dalam catatan jurnalis tabloidjubi.com Julian Howay, saat Belanda masih menguasai wilayah tersebut Nugini Belanda (sekarang Papua), sejumlah rumah sakit dan klinik kesehatan dibangun. Salah satunya di wilayah Belanda (sekarang Jayapura)
Pembangunan tersebut dilengkapi dengan fasilitas penunjang dan tenaga medis yang profesional.
Awalnya, klinik tersebut hanya melayani pengobatan malaria dan pasien bersalin. Namun dalam perkembangan selanjutnya klinik tersebut berkembang menjadi RS Holandia Binnen, kini RSUD Abepura yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua.
Setelah beberapa tahun, badan Misi Protestan dan Misi Katolik Belanda mengusulkan untuk membangun rumah sakit baru dengan kualitas yang jauh lebih baik.
Terakhir, pembangunan Rumah Sakit Zending di Belanda, sekarang RSUD Dok II Jayapura, dimulai pada tahun 1956.
Baca lebih lanjut tentang sejarah rumah sakit yang ditulis oleh Julian Di Sini.
Kini, setelah kemerdekaan, kata Marthen, setiap hari ia mendengar cerita masyarakat Papua berjuang mendapatkan layanan kesehatan.
Ia berbagi pengalamannya sendiri, pengalaman keluarga dan tetangganya. “Kalau berobat ke RSUD Nabire, jauh dari rumah warga,” ujarnya. Sementara biaya transportasinya mahal.
“Terkadang masyarakat harus memilih, apakah uang yang didapat untuk transportasi atau pengobatan?” ucap Marthen seolah ingin menunjukkan betapa rendahnya kemampuan perekonomian masyarakat di kampung halamannya.
Sesampainya di rumah sakit, warga tidak mendapatkan pelayanan yang memenuhi standar karena fasilitas yang tidak mendukung. Akibatnya banyak warga yang meninggal karena berbagai penyakit.
Persoalan lainnya, kata Marthen, adalah fenomena “kepunahan” marga di suku-suku Papua.
Di wilayah adat Meepago terdapat 300 suku. “Dari dua suku saja, ada 32 suku yang sudah tidak ada lagi di kedua suku tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, warga Papua di kedua suku tersebut meninggal karena dua hal, yakni sakit atau ditembak mati aparat. “Sejak tahun 1962, banyak warga yang meninggal karena tertembak,” ujarnya.
Lainnya, kata dia, meninggal di hutan. Hal ini terjadi ketika ada permasalahan terkait operasional yang dilakukan pihak berwenang. Kemudian warga akan berbondong-bondong mengungsi ke hutan.
“Karena mereka tahu pihak berwenang akan melakukan pendekatan kekerasan,” ujarnya.
Di dalam hutan, warga yang mengungsi kehujanan, kelaparan bahkan digigit nyamuk hingga membuat menggigil.
Laporan ‘Aib’ di Brisbane
Peristiwa penembakan warga sipil di Papua bukanlah sebuah rekayasa. Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Integritas Ciptaan (JPIC) di Keuskupan Brisbane, Australia berjudul Kita Akan Kehilangan Segalanya mengangkat isu kekerasan dan marginalisasi di Papua sejak tahun 1960an.
Laporan tersebut akhirnya dirilis karena pemerintah Indonesia menolak menerima usulan dari para pemimpin tertinggi Forum Kepulauan Pasifik pada bulan September 2015.
Komisi KPKC Keuskupan Brisbane kemudian mengirimkan tim kecil dalam misi pencarian fakta mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Papua pada bulan Februari 2016.
Seluruh kekerasan dan pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih, menurut laporan tersebut, berasal dari keterlibatan kekuatan internasional yang membiarkan pemerintah Indonesia menguasai Papua pada tahun 1960an tanpa persetujuan bebas dari masyarakat Papua.
Peristiwa politik Penentuan Pendapat Rakyat, yaitu referendum yang diadakan di Papua Barat pada tahun 1969 untuk menentukan status Pulau Papua bagian barat, apakah milik Belanda atau Indonesia, ditolak oleh sejumlah masyarakat Papua, sehingga diyakini hingga saat ini telah menyebabkan beberapa tindakan kekerasan sistematis.
Kekerasan tersebut berupa intimidasi, berupa penahanan, pemukulan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga Papua yang sedang melakukan demonstrasi damai untuk menunjukkan perlawanan terhadap Jakarta dan tuntutan diakhirinya kekerasan aparat keamanan.
Kemudian terjadi serangkaian peristiwa kekerasan di Papua, antara lain:
- Pengeboman oleh pesawat ‘Bronco’ di Pegunungan Tengah pada tahun 1977.
- Pengeboman pada tahun 1977 di Pegunungan Tengah menghancurkan kebun dan hewan yang mengakibatkan kelaparan dan kematian banyak penduduk desa.
- Pembantaian perempuan dan laki-laki di Biak 1998.
- Penganiayaan terhadap dua Pendeta Gereja Kingmi 2010.
- Pembunuhan tokoh Papua, Arnod Ap (1984), Dokter Thomas Wanggai (1996), Theis Eluay (2001), Kelly Kwalik (2010).
Laporan Komisi Brisbane juga mencakup data mengenai kekerasan selama satu dekade terakhir.
Antara lain:
- Penahanan dan pembunuhan yang terjadi setelah Kongres Papua ke-3 pada tahun 2011.
- Kekerasan, penahanan dan pengeroyokan terhadap anggota kelompok KNPB (Komite Nasional Papua Bersatu) yang melakukan demonstrasi damai dan doa menunjukkan sikap politiknya terhadap Papua.
- Penembakan 22 warga Papua dalam kasus Paniai berlangsung berdarah, 4 diantaranya tewas ditembak di lokasi kejadian pada 8 Desember 2014.
Terkait hal tersebut, Direktur Utama LBH Jakarta Al Ghifari Aqsa yang khusus mendalami data tersebut mengaku tak heran.
Ribuan aktivis ditangkap
Laporan Brisbane ini membenarkan data badan tersebut mengenai kondisi di Papua. Bahkan LBH mengirimkan mantan direkturnya, Bambang Widjojanto, untuk tinggal di Papua dan melakukan penelitian pada tahun 1993.
“Saya pribadi melihat ada kondisi pelanggaran HAM yang tidak bisa berdiri sendiri, ada pola kekerasan yang kronis. “Kami tinggal menunggu waktu terjadinya kekerasan lagi,” ujarnya.
Kekerasan biasanya terjadi karena persoalan mendasar, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Seperti yang terjadi beberapa hari terakhir, yakni ditangkapnya 1.724 aktivis yang melakukan aksi damai serentak di Jayapura, Sorong, Merauke, Fakfak, Wamena, Semarang, dan Makassar.
Tindakan dilakukan untuk mendukung Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) menjadi anggota penuh Kelompok Ujung Tombak Melanesia (MSG), sebuah forum diplomatik di Pasifik Selatan. Organisasi inilah yang mengajukan pengaduan ke Komisi Gereja Katolik Brisbane pada awal Januari tahun ini.
Beberapa hari sebelumnya, kata Algif, sebelum aksi juga diamankan 52 aktivis.
Selain itu, aksi tersebut dilakukan dalam rangka memperingati tanggal 1 Mei 1963, hari Papua bergabung dengan Indonesia, dan mendukung pertemuan tersebut. Anggota Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) yang digelar di London hari ini, Rabu, 3 Mei.
Salah satu agenda pertemuan di London adalah membahas referendum Papua.
Sedangkan pada bulan April masih terdapat tambahan data penangkapan aktivis di Merauke, Jayapura, dan Wamena.
“Sebanyak 1.839 warga Papua yang ditangkap sejak April 2016 hingga saat ini,” ujarnya.
Lalu apakah datanya diteruskan ke pemerintah?
Algif mengatakan, data tersebut telah dilaporkan ke Komnas HAM. Komnas HAM-lah yang menyampaikannya kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Jokowi Pernah Bahas Kekerasan di Papua?
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai membenarkan pihaknya melaporkan dugaan pelanggaran HAM berat ini kepada Presiden. Termasuk dugaan genosida di Papua.
Laporan akhir disampaikan kepada presiden oleh Komnas HAM melalui rekomendasi pada 10 Desember 2014.
Jadi apa hasilnya?
Bukannya merespon, “Presiden sampai saat ini tidak pernah merespon permasalahan HAM di Papua,” ujarnya.
Padahal, kata Pigai, laporan tersebut mendesak karena kondisi penduduk Papua semakin memprihatinkan. Seperti yang dikatakan Marthen, terjadi penembakan terhadap warga sipil dan permasalahan kemiskinan.
Faktanya, ada beberapa suku di Papua yang punah, tidak hanya di Papua, tapi hampir di seluruh Papua, ujarnya.
Menurut Pigai, hal itu disebabkan penetrasi kekerasan yang sudah berlangsung selama 40 tahun.
Pendekatan yang dilakukan negara dikatakan salah. Setelah pendekatan keamanan, negara lebih memilih mengambil pendekatan infrastruktur, seperti membangun gedung di tanah Papua.
Meskipun jumlah orang yang meninggal karena ditembak dan disiksa oleh pihak berwenang, serta karena penyakit, terus menurun.
Akses terhadap layanan kesehatan juga berada pada level berbahaya, akibat cepatnya penyebaran virus HIV dan AIDS.
Pada tahun 2010 terdapat 5.000 penderita HIV dan AIDS, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 19.202 orang.
Selebihnya, kata Pigai, merupakan warga yang tidak mampu bertahan hidup karena kemiskinan.
Apa yang salah?
Pigai menuding ada kebijakan struktural yang membiarkan diskriminasi ini terus berlanjut di Papua.
Mirip dengan yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar Selatan, suku Aborigin di Australia, dan suku Indian di benua Amerika.
Kelompok migran dan pendatang, dalam hal ini pemerintah Indonesia, mengkondisikan masyarakat Papua menjadi minoritas di negaranya sendiri.
“Proses genosida ini bukanlah hal baru. Dulu George Junus Aditjondro mengatakan hal itu. “Fenomena ini pernah terjadi pada tahun 1980-an-90an,” ujarnya.
George Junus Aditjondro adalah seorang penulis buku Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Kebudayaan, Ekonomi dan Hak Asasi Manusia. Salah satu tulisannya banyak membahas tentang Papua.
Alhasil, kata Pigai, laporan Komnas HAM dan Komisi Brisbane sudah cukup bagi pemerintah untuk mengambil langkah memutus rantai kejahatan HAM, khususnya genosida di Papua.
Marthen menambahkan pernyataan Pigai bahwa kekerasan harus dihentikan karena masyarakat Papua sudah lelah.
Oleh karena itu, dia tidak heran jika ada pembicaraan Papua merdeka. “Jika masyarakat di Pulau Jawa berulang kali mengalami kekerasan seperti yang kami alami di Papua, kami akan berpikir pada akhirnya, lebih baik kami mandiri,” ujarnya.
Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini?
Kepada Rappler Ursula Florene, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mengatakan akan menyelidiki temuan tersebut. “Kalau ada bukti awal akan kami proses secara terbuka,” ujarnya.
Sementara Istana Negara belum memberikan pernyataan. Juru bicara Presiden Jokowi, Johan Budi SP, menjanjikan jawaban dari orang nomor satu itu kepada Rappler pada Rabu depan. —Rappler.com