Masyarakat sipil berperan dalam pencegahan terorisme
- keren989
- 0
Pesan tersebut tertuang dalam buku ‘Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme’
JAKARTA, Indonesia – Buku tersebut diberi judul Membingkai Ulang Doktrin Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme resmi diluncurkan 16 Maret 2017. Acara peluncurannya bertepatan dengan acara bedah buku di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah.
Acara dibuka dengan menyanyikan sebuah lagu Indonesia Raya Acara tersebut dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Kabintelkam Polri Komjen Lutfi Lubihanto yang mewakili Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.
“Buku ini merupakan hasil simposium nasional yang dipresentasikan oleh ulama Muhammadiyah dan saat itu ditulis oleh Bapak. Luhut membuka. Sebelumnya beliau menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, kata Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz, dalam sambutan pengantar acara tersebut.
Upaya pencegahan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme tidak dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri. Oleh karena itu, buku yang menghadirkan 21 penulis kontributor ini merupakan kontribusi dari organisasi masyarakat sipil.
Maarif Institute juga mempunyai kekhawatiran yang sama dengan pemerintah. “Ini (pencegahan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme) merupakan tugas sulit yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendirian,” tambah Abudllah.
Belum lama ini, Maarif Institute melakukan penelitian di 7 kota. Terakhir, sarana radikalisasi menjadi semakin canggih. Selain menyampaikan ideologi, infrastruktur disediakan untuk menarik perhatian warga.
Di salah satu desa di Sukabumi, misalnya, ditemukan kontrol terhadap masjid dan sekolah. Warga diberikan akses air bersih dengan syarat mengizinkan kedua tempat tersebut dikuasai kelompok radikal.
Arti Jihad dan Khilafah
Mereka yang berpandangan radikal menafsirkan ayat dan hadis secara sempit. Interpretasi sempit ini membuat mereka berbeda dengan Muslim moderat. Dengan demikian, buku terbitan Mizan ini merupakan kontra-narasi atas tafsir dan doktrin yang dianut kaum radikal.
“Jihad tidak boleh diartikan dengan Qital. Qital adalah bagian kecil dari jihad. Jihad memperluas maknanya. Misalnya kita harus berjihad dalam membangun sekolah, menjalankan rumah sakit,” kata Izza Rohman, salah satu penulis yang berkontribusi. Ia menambahkan perlunya memperluas makna jihad dan terus berlanjut hingga menyentuh akar rumput.
Lebih “KhalifahKata Abdul Mu’ti Sekjen PP Muhammadiyah, salah satu tujuan muhammadiyah adalah menjadikan Indonesia negara islam, bukan negara islam. bertentangan dengan agama Islam.“Indonesia adalah rumah amal melalui berbagai perjuangan, untuk menjadi pionir kemajuan bangsa dan negara,” tegasnya.
Ahmad Syafii Maarif, pendiri Maarif Institute dan mantan Ketua PP Muhammadiyah, menegaskan Islam tidak mengajarkan kekerasan. “Menurut saya, tenda besar Islam adalah ayat Al-Anbiya’ 107, ‘Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam’,” jelasnya. “Rahmat dan belas kasihan, untuk seluruh alam. “Sifat manusia, tumbuhan, hewan,” lanjutnya.
Menurut Izza, hendaknya Al-Qur’an dibaca secara komprehensif dan holistik, bukan parsial. Selain itu, harus disesuaikan dengan konteksnya
Upaya penjangkauan sosial
Abdul bercerita sedikit tentang apa yang dibacanya dari buku tersebut Mati untuk menang oleh Robert Pape. “Dijelaskan bahwa seseorang tidak menjadi teroris karena membaca teks agama. Namun, ia memiliki pengalaman hidup yang sangat pahit. “Perasaan disakiti, dipinggirkan, tertindas, dan frustasi kemudian menjadi pendorong mereka memilih cara tersebut,” jelasnya.
Syafii Maarif mengatakan kesenjangan sosial menjadi akar utama munculnya radikalisme dan ekstremisme. “Ketimpangan sosial kita sangat tajam. Sila kelima Pancasila adalah asas yatim piatu sejak awal, ujarnya.
Oleh karena itu, memberantas atau mengurangi terorisme tidak selalu melibatkan pendekatan militer.
“Kehadiran buku ini menjadi penawarnya. Proses deradikalisasi bukanlah proses yang bisa terjadi dalam semalam atau dalam waktu singkat. Artinya mengadopsi pemahaman yang tidak menertibkan kekerasan sosial masyarakat perubahan “Prosesnya panjang atau bertahap,” dikutip dari keterangan tertulis Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang dibacakan Kabaintelkam Polri Komjen Lutfi Lubihanto.
Ali Fauzi, mantan anggota Jemaah Islamiyah yang kini membantu deradikalisasi mantan narapidana teroris di Lamongan, Jawa Timur, menegaskan perlu waktu untuk mengubah pola pikir radikal. “Untuk mengganti sikap seseorang tidak semudah itu, butuh waktu. Dari pengalaman saya, saya cukup terlibat dengan (kelompok teroris). “Saya besar di sebuah institut di Johor Baru, Malaysia bersama Dokter Azahari dan Nurdin M. Top,” jelasnya.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat menghindarkan masyarakat dari menerima ajaran radikal. Buku ini tidak ditulis dalam bahasa populer, oleh karena itu diperlukan upaya lebih untuk membuat masyarakat akar rumput memahaminya. Maarif Institute akan berkunjung ke institusi pendidikan untuk mengadakan diskusi buku.
“Sejak tahun 2009, Maarif Institute melakukan advokasi terhadap guru di sekolah, PAI (Pendidikan Agama Islam) dan siswa di Rohis (Rohani Islam). “Dengan buku ini, kami memiliki materi baru untuk diterjemahkan ke tingkat yang lebih kecil,” kata Direktur Riset Marif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais. -Rappler.com