• September 10, 2025
Mediasi Pemkab Tangerang dengan warga Dadap berakhir menemui jalan buntu

Mediasi Pemkab Tangerang dengan warga Dadap berakhir menemui jalan buntu

JAKARTA, Indonesia – Teriakan Isnawati terdengar jelas dari ruang rapat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lantai 3. Perempuan berjilbab biru itu bergegas keluar kamar disusul warga Kampung Baru Dadap lainnya.

“Saya tidak mau mediasi ini kalau mereka ada di sana,” ujarnya. Pada Senin, 27 Juni 2016, mereka akan bertemu dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang untuk membicarakan pemukiman kembali desanya.

Rapat dimulai pukul 10.00, hadir 10 warga Kampung Baru Dadap yang akan direlokasi, didampingi kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum Yunita; Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang Iskandar Mirzad; dan Komisaris Roichatul Aswidah.

Awalnya tidak ada kendala berarti karena warga sudah lama ingin bertatap muka dengan pemerintah. Namun keadaan berubah ketika Iskandar menyatakan akan mendatangkan warga yang pro relokasi.

“Silakan minta izin, ada warga yang setuju. Bolehkah aku ikut?” ucapnya seraya membawa seorang pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Maksum.

Bukan warga yang melakukan relokasi

Setelah Maksum muncul, warga Kampung Baru Dadap langsung meminta penolakan. Di antara yang berteriak lantang adalah Isnawati dan Dede Sulaiman.

Tak terpengaruh dengan kegaduhan yang ditimbulkannya, Maksum mengatakan: “Sebagai warga negara yang netral, saya ingin menyampaikan pandangan agar ada sinergi dengan program pemerintah dan saling menguntungkan,” dia berkata.

Isnawati membantah komentar tersebut dan mengatakan bahwa agenda hari ini adalah “mediasi antara pemerintah kabupaten dan warga yang menolak pemukiman kembali.” Oleh karena itu, keberadaan Maksum tidak penting.

Emosi memuncak karena Iskandar tetap bertekad mengurung Maksum, hingga akhirnya Isnawati dan Dede mengajak warga lain untuk keluar. Saat mereka turun, mereka menjelaskan tindakan mereka.

“Saya tidak terima, karena ada masyarakat yang tidak berminat hadir,” kata Dede. Ia bahkan menyebut Maksum sebagai ‘massa bawaan’ pemkab.

Warga lainnya, Muhammad Alwi, mengatakan pemerintah kabupaten sengaja mendatangkan warga yang tidak terdampak relokasi. “Mereka bukan dari desa yang digusur,” ujarnya.

Persyaratan mediasi

Iskandar membantah dirinya sengaja mendatangkan pihak tak diundang. Dia mengklaim, keberadaan warga yang pro relokasi merupakan kesepakatan awal.

“Saat kita temui di pendopo Mei lalu, saya tanyakan kepada warga yang datang dari 3 kubu: pro, netral, dan kontra,” ujarnya. Persyaratan ini juga diketahui Komnas HAM.

Ia menambahkan, jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Pemkot Tangerang yang akan meninggalkan tempat mediasi. Keberagaman suara ini dinilai penting agar hasil yang diputuskan dalam mediasi dapat memuaskan semua pihak.

Tindakan melangkah keluar Warga Dadap mengira itu hanya upaya melarikan diri. Pemkab, kata dia, siap menemui warga kapan pun mereka mau.

Iskandar mengusulkan agar mediasi dilanjutkan pada Rabu 29 Juni. Jika tidak, terpaksa ditunda hingga setelah Idul Fitri.

Namun Yunita membantah kesepakatan tersebut. Menurut dia, tidak pernah ada persyaratan seperti yang dipatok Iskandar.

“Kami tidak mempermasalahkan siapa pun yang datang, asalkan berasal dari wilayah penggusuran,” ujarnya.

Setuju dengan mediasi kedua

Warga yang berkumpul di LBH sebenarnya menyetujui mediasi kedua. Namun, mereka menetapkan sejumlah persyaratan.

Asalkan situasi lebih kondusif, seperti warga yang diundang, semuanya dari Rukun Warga (RW) 1, 2, 3 yang dimukimkan kembali, ujarnya. Jangan seperti Maksum yang ternyata warga RW jauh.

Selain itu, ada juga sejumlah ‘warga’ lain yang tampaknya berasal dari Kosambi. Mereka mengaku datang hanya karena penasaran. Namun, dia terlihat berbincang ramah dengan pejabat pemerintah.

Iskandar pun mengamini hal tersebut. Dia membenarkan warga yang datang, khususnya warga pro rakyat, memang dibawa dari daerah konflik.

“Saya sudah serahkan nama mereka ke Komnas HAM, tapi tidak bisa dipublikasikan karena alasan keamanan. “Karena Anda bisa terintimidasi,” katanya.

Pencegahan prostitusi dan gelombang pasang

Iskandar mengatakan, penataan kawasan Dadap sendiri sudah direncanakan sejak lama. Padahal, anggaran tersebut masuk dalam APBN 2016. Penyebabnya adalah maraknya prostitusi. Sebanyak 3 dari 13 RW di sana akan direlokasi.

“Selain itu, ada gelombang pasang yang sering melanda. “Coba ke sana, tempatnya bau busuk,” kata Slamet Isbianto, Kepala Humas dan Informasi Pemkot Tangerang. Menurut dia, kawasan tersebut sebenarnya tidak layak huni.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Kota Tangerang berencana menatanya kembali agar lebih layak. Seperti membangun apartemen, riding city, serta masjid dan Islamic center.

“Perlindungan terhadap banjir rob sendiri juga akan ditangani pada saat pembangunan apartemen, seperti pembangunan tanggul dan lain sebagainya,” ujarnya. Dana yang diberikan mencapai Rp 10 miliar. – Rappler.com

BACA JUGA:

Hongkong Pools