Melarikan diri dari perang adalah dosa besar
keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia – Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Harsoyo, mengundurkan diri pekan lalu, Kamis 26 Januari.
Harsoyo mengatakan pengunduran dirinya merupakan bentuk “tanggung jawab moral” atas bencana yang terjadi di bawah kepemimpinannya.
Sebelumnya, tiga mahasiswa UII tewas usai mengikuti pendidikan dasar (diksar) Mapala di kawasan hutan Tlogodringo di Desa Gondosuli, Tawangmangu, Karangnyar.
Ketiga santri yang meninggal tersebut adalah Syaits Asyam (19 tahun), Muhammad Fadli (20) dan Ilham Nurpadmi Listia Adi (20).
Harsoyo di hadapan wartawan dan seluruh mahasiswa serta dosen UII mengutarakan alasan dirinya memilih mundur. Konon meninggalnya tiga orang pelajar merupakan dosa yang sangat besar.
“Saya dimarahi karena salah satu dosa terbesar adalah meninggalkan perang. “Kabur dari perang,” kata Harsoyo yang mengibaratkan jabatan rektor seperti medan perang.
Opsi ini dimulai pada tanggal 23 Januari hingga 26 Januari 2017, dan puncaknya pada tanggal 27 Januari 2017 ketika Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi M Nasir mengadakan pertemuan singkat di kampus UII.
“Saya dimarahi karena salah satu dosa terbesar adalah meninggalkan perang. Larilah dari perang.”
“Oleh karena itu, ketika Pak Menteri menanyakan apa tanggung jawab bapak sebagai pimpinan universitas, saya bilang, saya siap mundur. “Sekali lagi Pak Menteri tidak memberikan tekanan kepada kami,” kata Harsoyo kepada media, Minggu 29 Januari.
Usai keputusan itu diambil, Harsoyo mengaku takut menonton televisi dan membaca media massa atau media on line. Harsoyo tak berani membaca, mendengarkan atau melihat berbagai hinaan dan dampak negatif yang mungkin dialami UII akibat tragedi tersebut.
Ia khawatir masa depan kampus pertama yang dibangun oleh ulama di Indonesia ini akan terpuruk.
“Ada yang diberhentikan, tidak boleh menerima mahasiswa selama dua tahun. Kami mohon kepada bapak/ibu, saya yakin bapak/ibu tidak ingin UII terpuruk. “Saya mengundurkan diri bukan karena ingin melepaskan tanggung jawab, tapi sebagai tanggung jawab moral,” ujarnya.
Harsoyo juga meminta agar tidak muncul lagi petisi yang membela dirinya, agar ia tetap menjadi rektor. Menurutnya, ada 14 guru besar dan 157 doktor di UII yang mampu menjadi rektor lebih baik darinya.
(BACA: Ribuan orang menandatangani petisi penolakan Rektor UII Harsoyo)
Ia juga meminta agar tidak ada wakil rektor lain yang mengikuti jejaknya untuk mengundurkan diri, setelah Wakil Rektor III Abdul Jamil mengajukan pengunduran diri dengan alasan serupa, sehari setelah Harsoyo mengajukan pengunduran diri.
“Saya lebih takut tanggung jawab di akhirat dibandingkan tanggung jawab di dunia. Anda tidak perlu khawatir tentang pergantian kepemimpinan. “Mohon doanya agar prosesnya bisa terlaksana dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Harsoyo memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Sleman sebelum melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan melanjutkan ke SMAN 3 Yogyakarta. Sebelum menjadi rektor, Harsoyo juga aktif di Badan Wakaf UII dan mengelola yayasan yang membawahi kampus Islam tertua di Indonesia.
Harsoyo di mata alumni dan mahasiswa UII
Sejumlah mahasiswa dan alumni UII menyayangkan kemunduran rektor berusia 63 tahun itu. Pria kelahiran Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini dikenal sebagai pemimpin yang tidak menjaga jarak dan dekat dengan pelajar.
Bachtiar Nur Rachman, mahasiswa jurusan Teknik Sipil angkatan 1987 UII, masih mengingat jelas hal itu di benak Bachtiar Nur Rachman. Saat itu, sekitar 30 tahun lalu, kenang Bachtiar, Harsoyo menjabat sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan.
Senior Mapala UII Great Camping (GC) 13 ini mengatakan, Harsoyo lebih dikenal sebagai sosok yang membina dan mendukung kegiatan kemahasiswaan.
“Bagi saya dia lebih dari seorang pemimpin, dia adalah seorang kyai. “Dukungannya terhadap mahasiswa sangat baik,” kata Bachtiar kepada Rappler.
“Rektor di UII banyak, tapi kenapa musibah ini harus terjadi kalau dipimpin oleh orang yang bersih?”
Harsoyo juga dikenal sebagai pemimpin jujur yang bebas dari berbagai intrik politik dan permainan kotor di perguruan tinggi. Bachtiar pun menyayangkan musibah ini harus muncul ketika UII dipimpin oleh sosok yang bersih dan baik seperti Harsoyo.
“Rektor di UII banyak, tapi kenapa kalau dipimpin oleh orang-orang bersih, bencana ini harus terjadi,” ujarnya.
Kesan serupa juga datang dari mahasiswa UII. Harsoyo, lulusan Teknik Sipil, dinilai sebagai pemimpin yang rendah hati.
Hal itu terlihat saat keluarga mendiang Ilham Nurfadmi Listia Adi hendak mengambil jenazah dari Rumah Duka RS Bethesda Yogyakarta pada Selasa, 24 Januari.
Harsoyo terlihat dari pagi hingga sore hari menunggu kedatangan orang tua Ilham, berbaur dengan pelajar dan pengunjung lainnya di Rumah Duka. Tidak ada protokol atau asisten yang mendekatinya.
“Sebenarnya kami tidak terima kalau rektor mundur. “Masalah ini bukan hanya masalah rektor saja, tapi masalah kita bersama,” kata salah satu peserta diksar GC, Muhammad Fahrul Abdullah di hadapan wartawan, Jumat 27 Januari.
Fahrul menjadi salah satu mahasiswa yang harus menjalani rawat inap usai mengikuti diksar GC.
Sepeninggal Fahrul dari rumah sakit, Fahrul dan sejumlah temannya langsung ingin menemui Harsoyo untuk memberikan dukungan moril dan semangat kepada rektor.
“Setelah saya berangkat, saya akan membersihkan diri dan segera menemuinya,” kata Fahrul yang diperbolehkan menjalani rawat jalan pada Jumat pekan lalu.—Rappler.com