Membahas bagian keenam paket kebijakan ekonomi
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Apakah langkah pemerintah pada paket keenam ini sudah tepat? Hal ini sudah kami diskusikan dengan INDEF
JAKARTA, Indonesia – Pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi keenam pada Kamis, 5 November. Anda dapat membaca lebih lanjut tentang berbagai kebijakan yang terkandung di dalamnya di sini.
Apakah langkah pemerintah pada paket keenam ini sudah tepat? Kami mendiskusikannya dengan para ekonom Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), Dzulfian Syafrian.
Pembangunan CHP harus didukung oleh ketersediaan infrastruktur energi
Pemerintah telah menetapkan delapan wilayah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Investasi di bidang-bidang ini akan dihargai dengan sejumlah insentif, termasuk pengurangan pajak.
Menurut Dzulfian, pengembangan KEK merupakan sebuah gagasan yang patut disambut baik sebagai upaya mendongkrak pertumbuhan industri. Apalagi kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menunjukkan tren menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Namun Dzulfian mengingatkan, diperlukan infrastruktur energi yang memadai di KEK untuk mencapai tujuan pembangunan.
“Investor akan mempertimbangkan dua hal dalam memilih lokasi investasi, yaitu jarak ke pasar dan sumber daya. KEK ini jauh dari pasar karena relatif terpencil sehingga ketersediaan sumber daya harus terjamin.
Sumber daya tersebut termasuk energi yang sangat penting bagi proses produksi. Tidak ada gunanya ada insentif pajak, kalau biaya untuk memperoleh energi tinggi, sama saja. “Infrastruktur energi harus memadai,” kata Dzulfian kepada Rappler, Jumat, 6 November.
Pengelolaan sumber daya air tidak boleh dimonopoli oleh negara
Pada paket keenam ini, pemerintah berencana membuat dua peraturan pemerintah (PP) untuk menyikapi keputusan tersebut Mahkamah Konstitusi (MC). membatalkan validitasnya UU (UU) No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA).
Salah satu dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah pihak swasta tidak bisa mengontrol pengelolaan sumber daya alam. Sebab, sesuai amanat UUD 1945, air sebagai sumber daya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Menanggapi kontroversi ini, Dzulfian berpendapat bahwa meskipun penguasaan sumber daya alam seharusnya berada di bawah negara, namun pengelolaannya harus terbuka untuk dilimpahkan kepada pihak swasta. Hal ini untuk menghindari inefisiensi.
“Memang (penguasaan sumber daya alam oleh negara) merupakan tafsir dari UUD 1945. Tapi kita harus melihat kembali apa yang dimaksud dengan penguasaan itu, apakah benar-benar harus memiliki dan mengelolanya?
Jika benar seluruhnya dimiliki dan dikelola oleh negara maka akan terjadi monopoli. Hal ini berpotensi menimbulkan inefisiensi. “Sebaiknya dikuasai negara, tapi pengelolaannya bisa dilimpahkan ke swasta,” kata Dzulfian.
Dalam menyederhanakan perizinan di Badan Pengawas Obat dan Makanan, implementasi adalah kuncinya
Untuk mempermudah dan efisien proses pengurusan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), pemerintah menerapkan tiga kebijakan, yaitu:
- Penghapusan izin impor transaksional, diganti dengan izin berkala
- Penerapan manajemen risiko berdasarkan data kepatuhan dari portal Indonesia National Single Window (INSW).
- Penerapan sistem pembayaran elektronik
Dzulfian skeptis dengan kebijakan ini. Menurutnya, kebijakan seperti ini tidak akan efektif jika tidak ditindaklanjuti dengan proses implementasi yang baik. Ia merefleksikan sejumlah kebijakan serupa pada paket sebelumnya yang belum jelas aturan pelaksanaannya.
“Misalnya pada paket sebelumnya ada insentif pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi eksportir Indonesia yang menyimpan dananya di bank lokal.
Saya berdiskusi dengan Mas Mirza (Wakil Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara) bilang sampai saat ini belum ada aturannya,” kata Dzulfian. — Rappler.com
BACA JUGA: