• November 25, 2024

Membangkitkan semangat belajar di tengah kekacauan

BEKASI, Jawa Barat — Muhartatik baru saja selesai mengajar di Kelas I SDN Sumur Batu 02. Suhu panas terik di sekolah yang berada di dekat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang di Bekasi.

Terik matahari bercampur bau tak sedap tak menyurutkan semangat puluhan siswa yang sedang bermain sepak bola di halaman sekolah yang bersebelahan dengan TPA. Setiap harinya, TPA tersebut menerima 7.000 ton sampah dari Provinsi DKI Jakarta dan Kota Bekasi.

“Di bidang olah raga, siswa kita lumayan. Masuk lima besar di lingkungan SD se-kecamatan, kata Ny Tatik, salah satu guru SDN Sumur Batu 02, kepada Rappler saat ditemui di sekolah tersebut, Kamis, 4 Mei.

“Mungkin karena siswa di sini terlatih secara fisik. Berjalan ke sekolah, hidup juga sulit. Kalau di bidang akademis, kita masih tertinggal jauh.”

Sejak lulus Sekolah Pelatihan Guru (SPG), Tatik langsung ditempatkan di SDN Sumur Batu 02. Praktis, dia sudah mengajar di sini selama 35 tahun—menjadi guru paling senior.

Sekolah tersebut kini memiliki 549 siswa yang ditangani oleh 20 guru.

“Banyak pelajar di sini, orang tuanya adalah pemulung. Mereka tinggal di tenda atau rumah yang dibangun di atas tumpukan puing. Ketika mereka pulang sekolah, mereka membantu orang tuanya memungut sampah. Kapan kamu akan belajar?”

“Kalau jumlah ruang kelasnya lumayan lah. Namun fasilitas pengajaran di sini masih terbatas. “Kemampuan mengajar guru masih perlu ditingkatkan,” kata Tatik. Setelah menyelesaikan SPG, ibu dua anak ini melanjutkan studi D2 di Universitas Terbuka pada tahun 1995.

Rappler bertemu Tatik setelah menerima informasi tentang program Bantuan Guru Pelajari Lebih Lanjut yang diposting di situs crowdfunding kitabisa.com.

“Bagi saya sebagai seorang pendidik, saya mempunyai banyak kekurangan. “Saya masih harus sekolah, saya masih perlu menanamkan kecerdasan, saya masih perlu lebih banyak ilmu, kita bisa menyerap lebih banyak untuk diwariskan kepada siswa kita,” kata Tatik dalam video singkat yang ditautkan di laman kitabisa.com tersebut.

(BACA: Yuk bantu guru belajar lagi)

Rudi Hartono, guru SDN Sumur Batu 02, mendampingi Tatik saat wawancara dengan Rappler.

“Memang ada beberapa siswa yang datang ke sini. Mereka mengatakan akan membantu dengan program Bantuan Guru Belajar Lagi. “Mereka sempat mengadakan acara musyawarah di sini,” kata Rudi.

Ia mengatakan, salah satunya bernama Farlianto yang namanya tercantum pada informasi di laman crowdfunding. Menurut Rudi, usai pertemuan yang berlangsung pada Sabtu, 4 Maret 2017, tidak ada kontak dari mahasiswa.

Pencemaran sampah mengganggu konsentrasi belajar

Bagi Tatik dan Rudi, janji bantuan yang disampaikan penggagas program Batu Guru Belajar Lagi membawa secercah harapan. Tidak banyak kesempatan untuk mendapatkan pelatihan mengajar. Tahun lalu ada guru yang mengikuti pelatihan penggunaan media.

“Kami, benar, masuk Program Sekolah Garis Depan diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada guru yang mengikuti pelatihan. Namun setelah pelatihan, bagaimana Anda ingin mempraktikkannya? Di sekolah kami, kami tidak memiliki laptop. Tidak ada internet,” kata Tatik.

Dapatkan akses ke pelatihan satu pertanyaan. Menerapkan hasil pelatihan adalah hal lain yang menyebabkan sakit kepala.

“Kalau saya sudah besar, ya, lebih sulit menerima materi pelatihan. Penggunaan media. Menggunakan fokus fokus. Boro-boro, saya menggunakan ponsel saya untuk menelepon dan SMS hanya,” kata Tatik.

Ia menyemangati rekan-rekan guru mudanya untuk terus belajar. “Katanya betul, kita diminta mengajar menggunakan film, gambar, jadi tidak hanya di papan tulis,” kata Tatik.

Permasalahan lain yang dialami sekolah ini adalah relatif rendahnya kondisi sosial ekonomi siswa dan orang tua. Polusi udara yang berbau busuk jelas mengganggu kesehatan dan konsentrasi belajar.

“Banyak pelajar di sini, orang tuanya adalah pemulung. Mereka tinggal di tenda atau rumah yang dibangun di atas tumpukan puing. Ketika mereka pulang sekolah, mereka membantu orang tuanya memungut sampah. Kapan kamu akan belajar?” kata Tatik.

Rudi menggambarkan kunjungannya ke “rumah” salah satu siswa; sebuah bangunan berukuran 3×4 persegi yang dikelilingi tumpukan puing. Siswa tinggal bersama orang tuanya, bergerombol di tenda-tenda darurat yang difungsikan sebagai rumah.

“Di sebelahnya ada kandang kambing. “Sulit membayangkan mereka bisa belajar dengan baik,” kata Rudi.

Pernah ada 20 siswa yang mengalami sesak nafas akibat menghirup asap pembakaran sampah. Belum lagi sanitasi dan air bersih.

Rappler mengunjungi “kumpulan” beberapa tenda darurat di kawasan TPA Sumur Batu. Air yang mengalir di selokan berwarna hitam dan kotor. Baunya? Bahkan memakai masker pun sulit bertahan selama beberapa menit.

Namun mereka sudah terbiasa dengan kehidupan yang sulit. 24 jam setiap hari. Nampaknya mereka sudah kebal terhadap polusi udara dan buruknya sanitasi di kawasan tersebut.

Yolanda Ryan Arminya dari program Bantuan Guru Belajar Lagi akhirnya menghubungi Rappler pada Kamis malam. Melalui pesan WhatsApp, Yolanda mengatakan, program Bantuan Guru Mengajar Lagi ini terbentuk setelah beberapa bulan ia dan teman-temannya membantu pengajaran ekstrakurikuler setiap hari Sabtu bagi siswa di SDN Sumur Batu 01.

“Kami melihat saat ini adik-adik ini sedikit tertinggal wawasannya dibandingkan adik-adik lainnya,” kata Yolanda.

Menurutnya, mereka membandingkannya dengan sekolah lain di wilayah Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi, karena sebagian mengajar melalui program Kelas Inspirasi.

“Kemudian kami juga mengamati guru-guru di sana dan melihat bahwa pelatihan guru yang sebenarnya merupakan hak guru untuk memperbaiki metode mengajarnya tidak diterima,” kata Yolanda.

Singkat cerita, Yolanda dan teman-temannya berencana memberikan hadiah kepada guru berupa pelatihan. Mereka bekerja satu balok dengan pengawas dari pemerintah daerah. Tiga SD yaitu SDN Sumur Batu 01, SDN Sumur Batu 02, dan SDN Sumur Batu 04 terpilih mengikuti program ini.

Ia membenarkan, ada acara musyawarah di SDN Sumur Batu 02 pada 4 Maret 2017.

“Ini adalah sebuah acara bertukar pikiran guru agar kita bisa mencatatnya harapan Dan kekhawatiran,Ucap Yolanda yang mengaku sebagai pegawai swasta.

Menurut dia, saat acara musyawarah, ia menjelaskan kepada para guru bahwa pihaknya belum menjanjikan kepastian tanggal dan bentuk pelatihan. “Karena kami sadar butuh dana untuk melakukan semua ini,” kata Yolanda.

Selain membuka laman crowdfunding kitabisa.com, penggagas Bantuan Guru Belajar Kembali berkolaborasi dengan Komunitas Guru Cikal membuat metode pelatihan bagi guru di tiga SD sekitar TPA Sumur Batu. Menurut Yolanda, jika dana terkumpul, pihaknya akan menyiapkan rencana pelatihan.

Sehingga pelatihan bisa dilaksanakan pada bulan Juli, saat tahun ajaran baru,” ujarnya. Saat artikel ini ditulis, Rappler mengecek halaman program Bantuan Guru Belajar Lebih Lanjut, dana yang terkumpul lebih dari Rp 24 dari target Rp 200 juta.

Pendidikan tidak hanya membutuhkan infrastruktur

Najeela Shihab, pendiri Kampus Guru Cikal membenarkan, pihaknya diajak berkolaborasi untuk program Bantu Guru Belajar Lagi.

“Jadi ide yang hebat“Saya dan teman-teman ingin mendorong masyarakat agar lebih semangat memberikan kontribusi terhadap pendidikan yang tidak bersifat infrastruktur,” kata Najeela saat dihubungi Rappler. Salah satu yang mulai menggalang dana masyarakat adalah program Bantuan Guru Belajar Kembali.

Menurut Najeela, kalau bicara pendidikan, masyarakat selalu turut andil dalam pembongkaran sekolah, pembelian buku, dan lain sebagainya.

“Itu penting, tapi tidak cukup,” katanya. Menurut penggagas Festival Pendidikan (Pekan) ini, program peningkatan kapasitas lebih sulit mendapat dukungan di dunia pendidikan.

Dalam acara pesta pendidikan yang berlangsung pada tanggal 2 Mei, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Najeela mengajak komunitas dan organisasi yang ada untuk bekerja sama.

Selain tokoh masyarakat yang peduli, kami juga berupaya membuat berbagai kampanye penggalangan dana, kata Najeela.

Puncak Festival Pendidikan diadakan pada tanggal 21 Mei. “Akan ada penggalangan dana dan sumber daya lagi dari berbagai pemangku kepentingan,” kata Najeela.

Para siswa kelas 6 serempak berkata: “Mau… Kami ingin komputer. Mau laptop?” tanya guru Tatik.

“Karena di sini ada beberapa perumahan, ada mahasiswa yang punya laptop di rumah. “Tetapi kebanyakan dari mereka tidak memilikinya karena orang tuanya tidak mampu,” kata Tatik.

Fasilitas fisik yang dijanjikan program Frontline Schools belum juga tiba. Tatik dan para guru di sekolah ini harus bersabar menunggu bantuan pelatihan guru agar guru dan siswa menjadi lebih pintar.

“Selama saya mengajar di sini, setahu saya hanya dua orang alumni yang berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Putra kepala desa. Beda ya, dia punya kemampuan lebih dari siswa lainnya. “Kami berharap siswa kami dapat meningkatkan kemampuan akademiknya,” kata Tatik.

Sebuah harapan sederhana dari seorang guru menjelang usia pensiun yang masih memiliki semangat untuk belajar lebih banyak. Maukah kamu mewujudkan keinginan Bu Tatik? —Rappler.com

judi bola online